Penulis: As’adur Rofiq*
Mega merah meninggalkanku di ufuk barat, aroma berbeda kurasakan di kala melintasi pintu gerbang, indraku menembus tebalnya kaca serta menatap ke segala arah, entah mengapa batinku berbisik ”Nyamankah aku di sini ….??? “ dengan satu pandangan nan hilang kendali.
“ROJIM, ayo turun!” Ajakan manis ayahku. Namun tak ada hirauan dariku.
“ROJIM………!!” Dengan nada kerasnya.
“Ya ya ayah,“ spontan aku kembali ke alam sadarku.
“Ayo cepat, entar kemaleman!” Seru ayahku.
“Baik ayah,” seraya turun dari mobil mengikuti ayah.
Tetesan air dedaunan, serta dinginnya malam menjadi saksi awal bagiku. Bahkan, heningnya suasana mengiringi langkah demi langkah kami menuju gubuk kecil, tepatnya di atas lebih tinggi dari bangunan di sekitarnya. Setiba di ambang pintu, ayahku berbisik “Jangan berisik!“ Aku hanya mengangguk, diam seribu bahasa. Usai sudah lama kita berdiri, setelah penghuni gubuk berperawakan tua renta namun terlihat kuat nan wibawa mengenakan pakaian putih serta berikatkan kain di kepalanya menghaturkan kami masuk.
“Assalamualaikum” lontaran salam ayahku.
“Waalaikumsalam, eatoreh longguh” dengan nada bijaksana ia lafalkan.
“Engghi,” jawaban singkat ayahku. Kami pun duduk di atas karpet berkelir hijau yang memenuhi alas ruangan.
“Badha parlo ponapah, Ajunan?” Ucap kakek itu.
“Abdhinah matoroah potrah settong,” timbal ayahku.
“Paserah asmanah?” Ucap kakek itu lagi.
“Syahrurrojim,” ayah menyebut namaku.
“Emmm,” kakek itu hanya tersenyum renyah.
(Baca juga: Waktu)
Sementara aku hanya terdiam membisu mendengar perbincangan yang tak aku mengerti apa maksutnya, hingga akhirnya indraku menatap sekeliling ruangan itu, yang begitu sempit. Tak ada sesuatu pun yang aku lihat melainkan lafaz “fabiayyiala irobbikuma tukaddziban” lurus pintu masuk. Perbincangan pun selesai, seketika itu juga ayahku mengajakku menuju sebuah ruangan yang tampak dari kejauhan bertuliskan “Al-Idarah” di atas kusen pintu, aku pun hanya turut patuh mengikuti titah beliau, sebagai seorang anak, bak pohon bergoyang menuruti titah sang angin.
Gelapnya malam mengiringi kami menuju tempat itu, sambutan manis dihaturkan kepada kami, di saat kami memasuki ambang pintu. Di situlah aku mengisi sebuah formulir sebagai persyaratan awal untuk mencapai title santri. Sementara ayah mengambil barang serta perlengkapan di mobil. Sembari menunggu sang ayah aku melengkapi formulir tersebut dengan apa adanya. Bersamaan dengan selesainya aku mengisi formulir ayah datang membawa perlengkapanku, tak lama kemudian ayah pamit.
“Jaga dirimu baik-baik, ayah pulang!” Pesan ayah.
“Pasti Ayah,” spontan aku meyakinkannya.
Entah mengapa perpisahan itu tak terselingi rasa sedih, gelisah, nan risau. Mungkin itu karena sudah terbiasa ditinggal ayah berbulan-bulan keluar kota demi bergelut dengan urusan kantornya. Aku lebih sering bersama kakek di kala ayah tak di rumah, karena ibu dan nenekku telah lama meninggalkanku, bahkan aku tak pernah tau raut wajahnya. Dua minggu sebelum aku masuk ke penjara suci kini giliran kakek meninggalkanku untuk menyusul kedua mutiaraku, maka dari itu ayah menaruhku di penjara suci. Setelah ayah pulang aku didampingi salah satu ustaz menuju kamar As-Bawaihi di situlah aku tenggelam di tengah-tengah suasana akrab dalam perkenalan, hingga akhirnya satu-persatu dari kami memasuki alam maya masing-masing.
Keesokan hari setelah pengajian umum menjelang antrean makan, tatanan sosial tercipta dalam keharmonisan antarsantri walau tak tersirat dalam undang-undang. Satu piring berdua itu salah satu bentuk keharmonisan mereka, bahkan satu talam bisa untuk beberapa orang dengan satu menu khas mereka menyebutnya “Tempe galau” walaupun begitu, nikmatnya tanpa tanding. Disela-sela antrean itulah aku bertemu kawan lamaku, Anton. Ternyata ia juga nyantri di pesantren itu setahun mendahuluiku, tak sedikit pun tergores kesungkanan, aku makan bersama dia dan kawannya, yang bernama Isrol. Setelah suapan terakhir Anton berkata:
“Jim ada yang kurang nih..”
“Kurang apa?”
“Biasa, OKER BRO, ikut gak…?”
“Sebenarnya, aku sudah lama berhenti, kamu aja Ton, aku gak ikut.”
“Ahh, payah luu, sok suci, wong agama gak ngeharamin.”
“Tapi Ton…?”
“Alahh udah sana!!”
“Ton…, ya aku ikut”
“Nah tu baru namanya SOHIB”
Karena aku tak mau ada konflik dengannya, aku pun masuk dalam bujuk rayuannya. Kami pun pergi ke kamar mandi, di sana aku menghabiskan satu batang surya, sementara Anton dan Isrol yang sangat royal, menghabiskan satu batang surya dan dua batang LA. Itu kami lakukan setiap lepas makan, terkadang di waktu senggang kami lakukan. Empat hari berselang, Anton mengajakku untuk mencicipi miras, awalnya aku menolaknya, namun lagi-lagi aku tergoda oleh bujuk rayuannya. Pesta minuman terlaknat itu terjadi di kamar mandi belakang dengan menghabiskan miras satu botol air mineral, kami sempoyongan nan hilang kendali.
Setelah terbangun aku terkejut, di hadapanku ustaz keamanan pesantren, segera mungkin aku membangunkan Anton dan Isrol yang berada di sampingku. Dengan mata kemerah-merahan, badan lemas, kami pun diinterogasi olehnya, panggilan orang tua mereka perintahkan kepada kami. Bagi Anton panggilan orang tua sudah acap kali dia terima, begitu pun Isrol, ia hanya tenang-tenang saja, namun bagi aku itu pahit sekali, karena aku sebagai santri baru pasti akan memikul rasa malu yang begitu besar. Seketika itu juga, timbul dari hati terdalamku niatan takkan mengulanginya lagi.
Bersamaan dengan ukuran bayangan yang melebihi bendanya ke arah timur, sang ayah datang memenuhi panggilan, karena sebab perbuatanku, peringatan pertama diterima ayahku. Ayahku tak dapat membendung kemarannya sehingga kemarahan itu membanjiriku, aku hanya dapat menundukkan kepala dengan penuh kekhilafan. Ayahku pulang dengan mata mendung serta wajah penuh kekecewaan. Mungkin untuk mendapatkan senyuman yang disertai lesung kedua pipinya mustahil kudapatkan, walau dengan segudang emas menebusnya. Aku tak kuasa melihtanya, pikiranku kocar-kacir dilanda badai kekacauan, aku tak dapat berbuat apa-apa. Setelah kedua mataku tak melihat Ayah, Anton mengagetkanku di saat aku termenung, Anton mencoba menenangkan pikiranku yang dipenuhi kegalauan. Azan magrib berkumandang, Anton mengajakku berzikir di masjid, menurutku itu lebih baik.
Ba’da isya bayangan Ayah kembali menghampiriku, bahkan, setelah diniah pun bayangan temaram Ayah makin menjadi, kini mengapung di lautan pikiranku. Di tengah-tengah lamunanku, Anton bersama Isrol menghampiriku.
“Jim, ini air zam-zam dari ustaz Edi.”
“Untuk aku Ton…? ”
“Ya Jim, Ustaz kasihan melihat Kamu ngelamun terus. Ia menyuruhku ngasih ini untukmu, benarkan Srol.”
“ii..ya.”
“Thank’s ya Bro.”
Setelah aku meminumnya, kepalaku pusing, di sekelilingku bergoyang laksana diterpa lindu, pandanganku semakin menipis, aku jatuh di pangkuan Anton, ia merangkulku dan membawaku ke halaman belakang pesantren. Ia mencekokiku pil koplo serta minuman keras. Isrol melihat aku tak berdaya dianiaya, ia melarikan diri, kini pandangan mata kananku tak berfungsi lagi, sesaat kemudian Isrol menampakkan kembali wajahnya diikuti Ustaz Edi di belakangnya dengan raut wajah berlumur amarah. Kini semua penglihatanku tak berfungsi lagi, kurang lebih dua hari aku tak sadarkan diri, aku dirawat di rumah sakit pesantren bersama Ustaz Edi yang setia menemaniku, dua hari kemudian, anggota badanku dapat bergerak kembali, Isrol tampak di depanku dengan raut wajah penuh harap.
“Jim , maafkan aku, sebenarnya Anton ingin membunuhmu, aku melakukan itu karena aku diancam oleh Anton.”
“Udah Srol, kamu gak salah kok, ini cobaan bagiku.”
“Emang temen terbaik lo bro, nyesel aku ngelakuin ini sama kamu.”
“Suuuutttt………. lupakan saja Srol”
Sekarang Anton dikeluarkan dari pesantren, karena sudah terlalu banyak mengoleksi poin kesalahan, bahkan melebihi batas maksimal. Setelah kejadian buruk itu menimpaku, aku selalu ber-uzlah di masjid. Kyai sepuh yang tak pernah melepas surban putih di kepalanya, selalu mengintipku dari atas gubuk, kurang lebih satu minggu, tepat ba’da salat jumat Kyai memanggilku.
“Nak, kamukah yang bernama Rojim?”
“Benar Kyai.”
“Tulislah namamu di atas kertas, kemudian Kamu lempar ke sungai belakang, setelah itu Kamu buka kain ini!”
Secepat mungkin aku melakukan perintah Kyai, hingga terakhir aku membuka kain pemberiannya, ternyata di dalam kain itu terdapat sebuah tulisan, “Nak namamu sekarang AHMAD NASUHA.” Kesenangan menyelimutiku di kala itu, karena aku mendapat julukan khusus dari Kyai sepuh. Kyai sering memanggilku “Kemari NASUHA”, “Ambilkan itu NASUHA”, “Kamu yang pimpin NASUHA”. Dengan sebutan itulah aku dikenal, dan seluruh penghuni Pesantren AL-Muttaqin memanggilku NASUHA.
Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember