Penulis: Lusitha P*
Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidupku. Apalagi menunggu sesuatu yang belum pasti aku dapatkan. Hugh…memang hidupku itu penuh dengan tikungan dan tanjakan. Kadang senang, sedih, duka dan sejenisnya itulah. Dan sekarang aku bertempatkan pada posisi senang. Karena aku melihat dia tersenyum kepadaku. Tepat sekali, dari bangku pojok kanan kiri bagian paling depan. Dag dig dug der dorr!!! Begitulah suara hatiku, setiap kali aku berada di dekatnya.
“Tian, Kamu kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?” Tanya Vino, teman sebangkuku.
“Emm, gak papa kok Vin, aku lagi seneng aja.” Jawabku, sambil kaget karena tepukannya pada pundakku.
“Hayo, senyum ke siapa Kamu?” Canda Vino.
“Itulah Vin, cewek yang di pojok itu senyum-senyum terus.” Jawabku.
“Loh, memangnya dia senyum ke siapa?”
“Yang pasti ke akulah Vin, ke siapa lagi? Sampai-sampai senyumannya bikin mataku gak bisa berkedip.”
“Alah, dasar Tian, lebaynya minta ampun.” Aku hanya tertawa kecil dari ucapan Vino.
Sepulang sekolah, aku berharap bisa pulang bareng sama cewek itu. Tapi, dag dig dug der dorr! Hatiku bergetar seperti itu lagi. Kenapa dengan hati ini? Ternyata, oh TIDAK!!! Aku melihat dia berbicara dengan Vino. Apa yang mereka bicarakan? Batinku.
“Hey Vin, ngapain nih? Kok belum pulang?” Sapaku.
“Emmm, gak ada, cuma ngobrol-ngobrol aja nih.” Jawab Vino.
“Ya sudah Vin, aku pulang duluan yah,” kata Rahel, cewek yang aku kagumi selama tiga tahun terakhir ini.
“Ya udah hati-hati di jalan ya Rahel,” kata Vino. Rahel pun pulang dan hanya meninggalkan bayangan dari bola mataku.
“Vin, ayo pulang! Emm, sebelum pulang kita mampir ke cafe dulu yuk!” Ajakku.
“Cafe mana Tian?”
“Cafe Bryan dekat mall.”
Sesampainya di cafe, aku dan Vino duduk di meja dekat jendela sambil menikmati minuman kesukaanku yaitu ice coffe mix.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Boleh, sesuatu apa yah?” Jawab Vino sambil menyeruput ice coffe mix-nya.
“Tadi apa saja yang Kamu bicarakan dengan Rahel?”
“Oh itu, dia hanya bertanya tentang PR yang tadi. Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku kira Kamu ada apanya sama Rahel.”
“Hmm, ceritanya Tian jealous nich?”
“Gak kok, biasa aja.” Dan pembicaraanku pun mengarah pada Rahel dan menceritakan tentangnya dari awal hingga akhir.
(Baca juga: Kamera)
Keesokan harinya, aku dan Vino berangkat sekolah bersama dan yang pasti aku bertemu dengan Rahel yang selalu buat hatiku bergetar dag did dug deg dor! Yes!! Aku berhasil memotret senyum manis di bibirnya dengan kedipan mataku.
“Hay,” sapa Rahel dengan senyum manisnya.
“Hay juga,” jawabku. Tapi entah kenapa dia malah berubah wajah. Yang awalnya tersenyum menjadi bingung.
“Maaf Tian, aku barusan nyapa Vino. Tapi, gak papa kok.” Ya Tuhan, rasanya mata, hidung dan mulutku bersembunyi di balik wajah ini dan menjadi muka rata. Gara-gara malu setengah mati dengan ucapan Rahel.
“Oh gitu, emm, aku ke kelas dulu yah.” Singkatku. Gertakan kakiku yang keras menandakan bahwa hatiku yang sedang diinjak-injak dengan gertakan kaki ini. Huff, kenapa selama tiga tahun ini selalu begini? Aku lelah dengan semua ini, selalu dibaluti rasa perih yang takkan bisa terobati.
Sesampai di kelas, aku langsung menyerbu bangku pojok paling belakang dan suara bel masuk pun berdering. Hatiku bergetar dag dig dug deg dor lagi seakan-akan Rahel akan datang. Dan itu benar! Mataku langsung tertuju pada pintu kelas dan membuka secara refleks bagaikan genderuwo yang menyerang mangsanya. Ternyata, Vino dan Rahel berjalan dengan bergandengan tangan dan berpisah di bangku masing-masing. Secara langsung Vino menghampiriku.
“Kenapa kok gak duduk di depan?” Tanya Vino.
“Males ah, pengen di belakang.” Jawabku.
“Hmmm, ya sudahlah.” Singkat Vino, aku memang sengaja duduk di bangku pojok paling belakang. Karena biar bisa ngeliat antara Vino dan Rahel. Ternyata benar, mereka saling berpandangan. Huff, lelah rasanya aku menunggu Rahel. Sedangkan hati Rahel tidak berpihak kepadaku.
Saatnya istirahat, aku hanya mematung di antara keramaian teman sekelasku. Sambil memandangi sepatu favoritku. Dan getaran itu datang lagi dag dig dug deg dor. Gak salah lagi, ini pasti Rahel.
“Tian, Kamu baik-baik aja kan?”
“Ada apa Rahel? Aku baik-baik aja kok!”
“Kalau sama Vino, Kamu baik-baik aja kan?”
“Gak papa kok, baik-baik aja.”
“Aku tau dari Vino, Kamu sebenernya suka kan sama aku?”
“Maksudmu apa?”
Ya Tuhan, ini kesempatanku untuk mengutarakan isi hatiku pada Rahel.
“I….iya, Kamu mau kan jadi pacarku?” Kataku dengan nada gugup.
“Sebelumnya aku minta maaf, bukannya aku reject Kamu. Tapi, sebenarnya udah dari dulu aku pacaran sama Vino. Jadi, sebelum perasaanmu semakin dalam ke aku, Kamu berhenti ya suka sama aku!” Rahel pun pergi dengan menyisakan luka di hati seakan-akan hancur berkeping-keping sebanyak penantianku selama ini (tiga tahun). Dan pengalaman buruk ini akan kujadikan pelajaran bagi hidupku.
‘Janganlah menunggu sesuatu yang tidak pasti kamu dapatkan’
Contohnya seperti “JODOH”, Allah akan memberikan jodoh pada setiap umatnya. Jadi, untuk apa kita menunggu jodoh??? Toh, pasti kita akan mendapatkannya. Amiiin
Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember