Penulis: Achmad Faizal*
Setangkai Resensi Novel Titip Rindu ke Tanah Suci
Betapa rindu menjelma candu, seperti tak ada rindu yang lebih tabah selain dilayangkannya pada tanah suci penenang kalbu.
Sepintas tak ada yang menarik dari wajah sampul tiga warna pada sejudul Novel Titip Rindu Ke Tanah Suci. Namun, jika kita luangkan sepuing waktu berpikir, warna gelap dan satu pesawat kertas seolah membuka tabir jingga, menampilkan separuh definisi kegagahan Ka`bah, membawa kita membayangkan kisah penuh makna yang ditulis oleh Aguk Irawan, pria asal lamongan kelahiran 1979, alumni Al-Alzhar.
Makkah, dengan semesta pesona, mengikat manusia dengan kekuatan magisnya, seperti Suita William, wanita India pertama pergi ke bulan pada 9 Juli 2011, menuang fakta, dari bulan segala tampak hitam-gelap kecuali dua tempat, salah satunya Makkah, membuat relung Mak Siti terikat pada cinta berbalut rindu pada tanah suci. Ketakmampuannya diikat erat oleh rindu, keringat ia peras dengan menjual nasi Megono di stasiun sejak 10 tahun silam, mengalirkan receh harap yang ditabung dalam ember sebagai ketabahan merontokkan rindu menuju tanah suci.
(baca juga: Resensi Novel Negeri Para Bedebah)
Novel yang diganjar nominasi novel islami terbaik versi Islamic Book Fair Jakarta 2017, menyajikan berbagai potret manusia Indonesia: Rizal, sosok sampah masyarakat yang jatuh cinta pada Intan, Anak Mak Siti, bertepuk sebelah tangan ketika Mas Zul menikahinya, gunjingan tetangga pada kemustahilan harapan Mak Siti sampai lelaku generasi milenial dengan teknologi, mewarnai perjalanan keluarga Mak Siti yang tak henti-hentinya mendapatkan ujian.
Kekuatan rindu tanah suci telah melebur dalam kalbu. Lewat Rizal, Tuhan satukan sujud Mak Siti dengan tanah suci. Untaian kisah romantika masa kini dibalut berbagai problema kehidupan, serta nilai religi yang turut merasuk dalam kisah yang dirangkai.
Bahasa figuratif ringan yang menguatkan kesederhanaan, ritme alur yang tenang sekaligus mendebarkan, sampai pada pendalaman religiusitas yang ampuh ditulis meskipun pada beberapa fragmen menunjukkan ke-klise-an dan sedikit ke-detail-an deskripsi setting. Tapi, kesemuanya tak menghilangkan semesta rindu pada tanah suci, penenang kalbu. Coba dengarkan dan ketuk hati kalian! Pesan saya, sebagaimana kali pertama Tuhan menurunkan ayat pada Nabi Muhammad lewat Jibril: Iqra, buku ini![]
*Peresensi adalah guru bahasa Indonesia MA Unggulan Nuris