Satu Benang untuk Seribu Cita-Cita

Penulis: Febby

Langit di atas Desa Sinar Harapan terbentang laksana permadani biru jernih, tempat awan-awan putih berarak dengan tenang. Di bawahnya, seorang anak laki-laki bernama Ardi tengah duduk di atas pematang sawah yang kokoh. Matanya yang bening memandang hamparan padi yang mulai menguning, bergoyang ditiup angin, laksana lautan emas yang bergelombang.

Di kejauhan, ia melihat Pak Tamin, petani paling gigih di desanya. Tubuhnya yang legam dibakar surya bergerak lincah, menyemai harapan di setiap petak lumpur. Hati Ardi berdesir. Ah, betapa mulianya menjadi petani, bisiknya dalam kalbu. Memberi makan begitu banyak orang, menumbuhkan kehidupan dari rahim bumi dengan sabar. Seketika, Ardi memejamkan mata, membayangkan dirinya menjadi seorang insinyur pertanian yang hebat, yang bisa membuat panen di desanya melimpah ruah. Itulah cita-citanya.

Namun, cita-cita itu tak bertahan lama. Siangnya, saat ia melintas di depan sekolah desa, ia melihat Pak Harun sedang mengajar di kelas dengan penuh semangat. Cahaya ilmu memancar dari wajah teduh sang guru. Anak-anak menatapnya dengan pandangan penuh kekaguman, menyerap setiap kata yang terucap laksana tanah kering menyerap hujan.

Getaran lain menyentuh jiwa Ardi. Masya Allah, menjadi guru sama dengan menyalakan pelita dalam kegelapan, pikirnya. Memberi ilmu, membuka jendela dunia, membentuk akal dan budi pekerti. Saat itu juga, profesi insinyur pertanian tergantikan. Ardi kini bertekad menjadi guru, yang namanya akan selalu dikenang dalam doa murid-muridnya.

Sore harinya, saat gema azan Asar yang merdu dilantunkan oleh Mang Ujang dari menara masjid, hati Ardi kembali tersentuh. Suara itu, syahdu dan agung, seolah memiliki daya magis untuk menenangkan setiap jiwa yang mendengarnya. Mengajak manusia untuk kembali mengingat Penciptanya.

Ardi terpana. Ia membayangkan dirinya berdiri di tempat Mang Ujang, mengumandangkan panggilan suci itu ke seluruh penjuru desa. Sungguh, sebuah kehormatan menjadi penyeru kebaikan, batinnya bergetar. Cita-citanya kini beralih. Menjadi seorang muazin bersuara emas adalah impian terindahnya.

Malamnya, dengan hati yang gundah oleh cabang-cabang keinginan, Ardi duduk di beranda rumah bersama ayahnya.

“Ayah,” panggilnya lirih. “Mengapa cita-cita Ardi selalu berubah-ubah? Pagi ingin jadi petani, siang ingin jadi guru, sore ingin jadi muazin. Ardi jadi bingung.”

Ayahnya tersenyum lembut, pancaran mata beliau teduh menenangkan. “Anakku, itu bukan bingung. Itu tanda bahwa hatimu hidup dan peka terhadap kebaikan,” ujar sang Ayah sambil mengusap kepala Ardi.

“Lihatlah, Nak,” lanjut Ayahnya sambil menunjuk ke langit malam yang bertabur bintang. “Apakah petani, guru, dan muazin itu berbeda? Tidak. Mereka semua adalah hamba Allah Swt. yang berusaha menebar manfaat. Petani menebar manfaat di ladang, guru menebar manfaat di dalam kelas, muazin menebar manfaat dari menara masjid. Akarnya sama. Niat untuk berbuat baik karena Allah.”

Ardi terdiam, merenungi setiap kata ayahnya.

“Jangan pusingkan apa profesimu kelak, Nak. Tapi pusingkanlah bagaimana caramu agar bisa menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi sesama. Teruslah belajar, teruslah mengaji, penuhi hatimu dengan iman dan jiwamu dengan ilmu. Insya Allah, kelak Allah Swt. akan menunjukkan jalan terbaik di mana engkau bisa menebar manfaat paling banyak. Entah itu sebagai petani, guru, dokter, atau bahkan presiden sekalipun.”

Malam itu, Ardi tidur dengan hati yang lapang, sejuk oleh embun hikmah dari ayahnya. Kegelisahannya telah menguap sirna.

Di dalam benaknya, seribu cita-cita itu tidak lagi tampak seperti cabang-cabang pohon yang tumbuh ke segala arah tanpa tujuan. Kini, ia melihatnya laksana butiran-butiran tasbih yang indah, masing-masing dengan kilaunya sendiri. Seperti petani yang menumbuhkan kehidupan, guru yang menyalakan pelita ilmu, muazin yang menggetarkan jiwa. Semuanya berharga, semuanya mulia.

TAMAT.

Penulis merupakan Pustakawan MI Unggulan Nuris Jember

Related Post