Gula yang Larut di Telaga Ilmu

Penulis: Febby

Langit di ufuk timur baru memamerkan semburat lembayung yang pucat ketika gema murattal yang syahdu mulai merayap, menyusup ke setiap bilik di Pondok Pesantren Nurul Qalbi. Udara dingin khas pegunungan seolah ikut berdzikir, menggetarkan jiwa-jiwa yang terbangun untuk menghadap Rabb-nya.

Di antara arus para santri yang berjalan menunduk penuh takzim menuju masjid, melangkahlah Muhammad Faris Al-Bantani.

Namanya seharum ilmunya. Di usianya yang belia, otaknya laksana permata yang terasah tajam. Lidahnya begitu fasih mengurai simpul-simpul rumit dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, seolah menari di atas untaian bait-baitnya.

Setiap kali Sang Murobbi, Kiai Abdullah Al-Hafidz, melontarkan soal untuk menguji kedalaman samudra ilmu para santrinya, maka tangan Faris-lah yang laksana anak panah melesat ke udara, siap menghujamkan jawaban yang tak terbantahkan.

Sanjungan dari santri lain pun sudah seperti melodi yang akrab di telinganya.

“Faris itu calon mutiara umat ini.” bisik seorang santri senior.

“Lihatlah, cahaya ilmu terpancar dari wajahnya.” Sahut yang lain.

Hati Faris menghangat, jiwanya berbunga. Sanjungan itu menjadi candu, menjadi bahan bakar yang memompa semangatnya untuk terus menyelami kitab-kitab, menaklukkan bab-bab yang paling sukar sekalipun.

Namun, di satu sudut kalbunya, ada sebuah ruang hampa yang dingin. Sebuah kegelisahan halus yang tak mampu ia beri nama.

Kiai Abdullah, sosok ulama kharismatik yang tatapan matanya seolah mampu menembus relung jiwa, tak pernah menghujaninya dengan pujian yang ia damba. Sebuah anggukan dan ucapan “Na’am, shahih.” Adalah apresiasi yang pernah ia terima dari sang Kiai.

Sebaliknya, tatapan teduh dan senyum penuh mahabah itu justru sering Kiai Abdullah hadiahkan kepada Rian. Ya, Rian Ziyad Al-Mubarok. Santri yang hafalannya sering tersendat, yang penjelasannya tentang i’rab terkadang masih berbelit. Faris tak habis pikir. Rahasia apa yang tersembunyi di balik kesederhanaan Rian hingga mampu menarik ridha sang guru sedemikian rupa?

Digerakkan oleh rasa penasaran yang membuncah, Faris mulai menjadi pengamat rahasia. Ia bentangkan jaring penglihatannya untuk menangkap setiap gerak-gerik Rian. Namun, yang tertangkap hanyalah amalan-amalan yang di mata Faris tampak sepele. Rian yang selalu paling akhir meninggalkan masjid, jemarinya dengan sabar menata kembali sandal-sandal para kiai dan santri yang berserakan laksana bidak catur usai pertarungan. Rian yang dengan sapu ijuk di tangan, membersihkan serpihan debu di teras aula tanpa ada satu pun perintah. Rian yang membelah sebutir telur dadarnya untuk ia berikan separuh kepada teman sekamarnya yang pucat pasi.

“Amal sekecil itu?” bisik Faris pada nuraninya. Hatinya menolak untuk percaya bahwa perbuatan-perbuatan sunyi itu bisa mengalahkan kilau ilmunya yang cemerlang.

Hingga suatu senja yang syahdu, takdir menuntun langkahnya ke ndalem Kiai Abdullah. Jantungnya berdebar, sebuah harapan membuncah. Inikah saatnya? Saat pengakuan itu akan terucap dari lisan mulia sang guru?

“Duduklah, Faris.” suara Kiai Abdullah terdengar menenangkan, laksana air zamzam yang mengalir di kerongkongan yang kering. “Tolong tuangkan teh ini, Nak.”

Dengan tangan yang sedikit gemetar karena rasa takzim, Faris menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir keramik tua. Aroma melati menguar, memenuhi ruangan yang dipenuhi wangi kitab-kitab klasik itu.

“Apa yang memberi rasa pada teh ini, Faris?” tanya Kiai Abdullah, matanya menatap Faris lekat-lekat.

“Gula, Kiai.” Jawab Faris, lugas.

Kiai Abdullah tersenyum, sebuah senyum yang menyimpan ribuan makna. “Engkau lihat gulanya? Tentu tidak. Ia telah lebur, Nak. Ia mengorbankan wujudnya, larut tanpa sisa, demi memberi manfaat pada air teh. Ia tidak berteriak, ‘Akulah yang membuatmu manis!’ Ia hanya memberi tanpa pamrih. Itulah puncak dari keikhlasan.”

Faris tertunduk. Kata-kata itu laksana anak panah spiritual yang menancap tepat di pusat hatinya yang selama ini diliputi kabut kesombongan halus.

“Anakku, Faris,” lanjut sang Kiai lembut. “Ilmumu adalah karunia agung dari Allah. Ia laksana telaga yang jernih. Namun, ilmu tanpa dilandasi ruh keikhlasan hanyalah telaga air tawar. Ia bisa memuaskan dahaga intelektual, namun kering dari barakah yang menenangkan jiwa. Aku melihatmu sebagai pemburu ilmu yang tangguh, tapi sayangnya engkau juga menjadi pemburu sanjungan manusia.”

“Penyakit paling halus yang menyerang seorang penuntut ilmu adalah ujub, rasa bangga diri, dan riya’, keinginan untuk dilihat. Penyakit itulah yang membuat telaga ilmumu keruh. Engkau bertanya-tanya tentang Rian? Pada dirinya, aku tidak melihat telaga seluas milikmu, tapi aku melihat butiran-butiran ‘gula’ yang terus menerus ia larutkan. Ia larutkan ilmunya tentang kebersihan dengan sapu ijuknya. Ia larutkan ilmunya tentang ukhuwah dengan separuh telur dadarnya. Ia tidak mencari panggung, Nak. Ia hanya merindukan tatapan ridha dari Allah.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Faris. Dinding keangkuhan dalam hatinya runtuh berkeping-keping. Selama ini ia sibuk membangun istana megah dari pasir ilmu di tepi pantai, berharap decak kagum dari setiap orang yang lewat, tanpa sadar istana itu bisa lenyap oleh satu sapuan ombak.

Sejak petang itu, lahirlah seorang Faris yang baru. Jiwanya yang dulu gersang kini mulai disirami embun ketulusan. Ia masih menjadi bintang di majelis ilmu, namun kini sinarnya ia pantulkan untuk menerangi teman-temannya yang berada dalam kegelapan. Tangannya tak hanya lincah membolak-balik halaman kitab, tapi juga ringan meraih sapu ijuk di sudut masjid.

Dan pada suatu sore, saat ia dan Rian bahu-membahu menata kitab-kitab di perpustakaan, Kiai Abdullah melintas. Sang Kiai berhenti, menatap Faris dengan senyum penuh ridha yang selama ini dirindukannya, lalu menepuk pundaknya dengan lembut.

“Teruslah menjadi gula yang larut dalam telaga ilmu, Nak. Sebab manisnya iman tidak akan pernah terasa oleh lisan yang gemar memuji diri sendiri, tetapi oleh kalbu yang ikhlas mengabdi.”

Faris tersenyum dalam tangis haru. Ia telah menemukan apa yang jauh lebih berharga dari semua sanjungan dunia: manisnya barakah ilmu yang lahir dari rahim keikhlasan.

TAMAT.

Penulis merupakan Pustakawan MI Unggulan Nuris Jember

Related Post