Pensil Ajaib Zaki

Penulis : Febby

Di halaman Madrasah Ibtidaiyah Al-Hidayah, Zaki duduk termenung di bawah pohon mangga. Teman-temannya, Farhan dan Dira, sedang asyik berlari-larian sambil tertawa. Tapi Zaki tidak ikut bermain. Wajahnya sedikit cemberut.

“Kenapa, Zaki?” tanya Ustadz Ridwan yang kebetulan lewat dan melihat muridnya itu murung.

Zaki menunjukkan pensilnya yang tinggal sejengkal jari kelingking. Sudah sangat pendek dan sulit untuk dipegang.

“Pensil Zaki sudah mau habis, Ustadz. Padahal, Zaki suka sekali menggambar masjid dan kaligrafi,” adunya dengan polos.

Ustadz Ridwan tersenyum lembut. “Sabar ya, Zaki. Nanti kalau ada rezeki, bisa beli yang baru. Pensil yang pendek kalau dipakai dengan semangat, gambarnya tetap bisa jadi bagus kok. Yang penting niatnya,” hibur Ustadz Ridwan sambil menepuk pundak Zaki.

Zaki mengangguk, meskipun hatinya masih sedikit sedih.

Waktu sholat Dhuha tiba. Semua murid berbaris rapi di masjid pesantren yang sejuk. Setelah selesai sholat dan berdoa, saat Zaki hendak melipat sajadahnya, matanya menangkap sesuatu yang berkilau di atas karpet hijau.

Sebuah pensil!

Bukan sembarang pensil. Itu adalah pensil mekanik berwarna biru terang. Di bagian atasnya ada empat tombol warna-warni. Merah, hitam, biru, dan hijau. Zaki pernah melihat pensil seperti itu di toko. Kelihatannya keren sekali!

Hati Zaki berdebar-debar. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Masjid sudah mulai sepi. Tanpa pikir panjang, Zaki memungut pensil itu dan cepat-cepat memasukkannya ke dalam saku bajunya.

“Asyiiik! Aku punya pensil baru! Pensil ajaib!” bisiknya dalam hati. Rasanya seperti mendapatkan harta karun.

Kembali ke kelas, Zaki tidak sabar ingin mencoba pensil barunya. Saat pelajaran menggambar, ia mengeluarkan pensil itu diam-diam. Ketika tombol merah ditekan, keluarlah isi pensil berwarna merah. Wah, hebat! Ia mulai menggambar kubah masjid dengan warna biru, dan menulis lafaz “Allah” dengan warna hijau. Gambarnya jadi lebih indah dari biasanya.

Tapi anehnya, hati Zaki tidak merasa senang. Setiap kali ada teman yang melirik ke arahnya, ia cepat-cepat menyembunyikan pensil itu. Jantungnya berdebar, takut ketahuan. Pensil yang terasa “ajaib” itu kini malah terasa panas di tangannya.

Saat istirahat, ia melihat teman sekelasnya, Fauzan, sedang mencari-cari sesuatu di bawah mejanya dengan wajah sedih.

“Kamu cari apa, Zan?” tanya Dira.

“Pensilku hilang. Pensil mekanik warna biru, hadiah dari Ayahku,” jawab Fauzan dengan suara bergetar menahan tangis.

Deg!
Hati Zaki serasa berhenti berdetak. Jadi, pensil itu milik Fauzan. Wajah Fauzan yang sedih terus terbayang-bayang di pikiran Zaki. Gambar indah yang ia buat tadi tiba-tiba terasa jelek. Rasa bersalah mulai menyelimuti hatinya.

Zaki teringat pesan Ustadz Ridwan di kelas tadi pagi. Ustadz bercerita tentang gelar Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Amin, yang artinya dapat dipercaya.

“Anak-anak,” ucap Ustadz Ridwan, “kalau kita menemukan barang yang bukan milik kita, itu namanya barang temuan atau luqathah. Kewajiban kita adalah menjaganya dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Itu tandanya kita anak yang amanah, anak yang bisa dipercaya.”

Pesan itu terngiang-ngiang di telinga Zaki. Pensil di sakunya terasa semakin berat dan panas.

Dengan langkah ragu, Zaki memberanikan diri. Ia berjalan menghampiri Fauzan yang masih murung.

“Fauzan,” panggil Zaki pelan.

Fauzan menoleh.

Dengan tangan sedikit gemetar, Zaki mengeluarkan pensil mekanik biru itu dari sakunya. “Maaf ya, ini pensilmu, kan? Tadi aku menemukannya di masjid.”

Mata Fauzan langsung berbinar. Wajahnya yang sedih berubah menjadi senyum lebar. “Alhamdulillah! Iya, ini pensilku! Terima kasih banyak ya, Zaki! Kamu jujur sekali!” ucap Fauzan dengan gembira.

Fauzan mengambil pensilnya, lalu berkata, “Sebagai tanda terima kasih, kamu boleh pinjam pensil ini kapan saja kamu mau menggambar.”

Hati Zaki terasa sangat lega. Rasa panas dan berat di dadanya hilang seketika, digantikan oleh perasaan ringan dan bahagia. Jauh lebih bahagia daripada saat ia menggambar dengan pensil curian tadi.

Zaki kembali ke mejanya dan mengambil pensilnya yang pendek. Ia memandangi pensil itu sambil tersenyum. Ternyata, kebahagiaan itu bukan datang dari memiliki pensil yang bagus, tapi dari hati yang jujur dan amanah. Pensil pendek miliknya kini terasa jauh lebih “ajaib” daripada pensil mana pun di dunia, karena Zaki mengerti, gambar terindah tidak dilukis dengan pensil terbaik, tetapi dengan hati yang paling bersih.

TAMAT.

 Penulis merupakan Pustakawan MI Unggulan Nuris Jember

Related Post