Penulis : Aura Irda Irwanto
Pagi itu suatu keluarga kecil tengah bersama melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Keluarga dengan marga Mahesa yang terdiri dari bunda, ayah, dan Misel. Misel adalah anak tunggal yang membuatnya dimanja oleh kedua orang tuanya. Misel adalah mahasiswa baru di Universitas Cakrawala di Bandung yang membuatnya harus pindah asrama karena jarak dari Jakarta ke Bandung lumayan jauh. Misel dipindahkan menuju kamar C.085. Di sana terdiri dari 4 orang, memang terlihat sederhana namun terlihat megah dengan fasilitas yang tidak perlu diragukan lagi.
” Hari ini kamu pindah ke asrama ya, Misel ” tutur bundanya lembut.
” Iya Bun ”
” Inget pesan Ayah, jangan sampai kamu sombong dengan apa yang kamu punya ” jelas ayahnya.
” Iya, iya Yah ” jawabnya malas, bundanya hanya menggeleng melihat tingkah putri satu-satunya itu.
” Habis ini kamu siap-siap jam 1 kita berangkat ”
Misel sudah sampai di depan pintu kamar asramanya, dua koper berwarna pink itu dibawakan oleh pengawalnya.
” Kalian tunggu di sini saja,” pintanya pada pengawalnya.
“Baik, Non.” Saat Misel masuk ke dalam kamar, semua perhatian tertuju pada dirinya.
“Lo anak baru ya,” tanya Moza.
“Kenalin gue Miselia Amortin Mahesa,” ucapnya dengan sombong.
“Lo dari keluarga Mahesa?” tanya Asa sembari merapikan satu alisnya.
“Iya, gue mau mulai hari ini kalian ikutin semua yang gue inginin. Kamar harus bersih, nggak boleh berantakan, dan lampu harus udah mati jam 10 malam!” Ucapannya membuat yang berada di sana memeluk lututnya tak percaya.
“Ya, gak bis.. bisa” ucapan Asa terpotong saat tiba-tiba Misel menaruh 3 bingkisan besar di atas meja.
Melihat hal itu, Moza dan Dira langsung menghampirinya.
“Wah, barang mahal semua,” ucap Dira kagum.
“Iya, itu buat kalian semua sebagai tanda perkenalan,”
serunya membuat Dira dan Moza yang berada di sana langsung mengambil bingkisan besar itu.
Asa yang melihat itu menatap tajam ke arah Misel kemudian kembali ke ranjang miliknya.
“Lo nggak mau?” tawar Misel.
“Nggak perlu,” jawab Asa lekas.
“Biarin dia, emang sombong,” sindir Moza sedang sang empu hanya diam sembari memeluk miliknya, sedangkan Dira dan Moza hanya melirik sinis ke arahnya.
Asa bersikap tak acuh dengan perlakuan teman sekamarnya itu, yang hanya ingin berteman karena hartanya saja. Kemudian Moza dan Dira mengajak Misel untuk berkeliling asrama. Dasar manusia bertopeng gumamnya. Asa saat ketiga teman sekamarnya keluar dari kamarnya.
Seorang dosen kini tengah mengajar, menerangkan tiap-tiap materi dengan rinci.
“Baik, anak-anak, sampai sini dulu pelajaran kita. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya.” Kemudian dosen itu keluar, menyisakan para mahasiswa.
“Kalian pada mau ke kantin nggak?” tanya Misel pada yang lain.
“Kalo mau gue traktir deh,” serunya lagi yang langsung mendapat sorakan seisi kelas.
“Lo emang the best sih,” teriak salah satu mahasiswa.
“Buang-buang uang aja,” gumam Asa tapi masih bisa didengar oleh yang lain. Kemudian keluar dari kelas.
“dia kenapa sih!” sinis Misel.
“Asa emang gitu orangnya, nggak usah diladenin dia,” jelas Moza yang dijawab anggukan oleh Misel.
Di taman belakang fakultas, Misel melihat Asa yang tengah mengerjakan skripsi seorang diri di salah satu meja yang berada di sana. Misel memutuskan untuk menghampirinya.
“Lo ngapain di situ?” tanya Misel.
Kemudian duduk di salah satu kursi yang berada di sebelah Asa.
“Bukan urusan lo,” ketus Asa.
Mendengar jawaban Asa membuat Misel kesal.
”Lo kenapa sih ngeselin banget?” Asa hanya melirik sekilas ke arah Misel.
“Lo nggak usah temenan sama mereka.”
“Kenapa? Mereka baik, ramah, nggak kayak lo.”
“Mereka itu cuma pake topeng depan lo doang.”
Misel menaikkan satu alisnya, bingung. Setelah mengucapkan itu, Asa segera merapikan barang-barangnya.
“Percuma ngomong sama lo, nggak ada gunanya, nggak kira didengerin,” Asa segera pergi meninggalkan Misel sendiri di sana.
“Bertopeng?”
Di sebuah mal yang berada di pusat kota, Misel, Moza, dan Dira tengah berbelanja mencari aksesoris, sementara Asa pergi mencari buku-buku untuk dibaca.
“Kalian mau beli apa?” tanya Misel.
“Di sini mahal-mahal, duit kita mana cukup, sel, iyakan Dir,” terang Moza yang dijawab anggukan dari Dira.
“Gue bayarin, gimana?” tawar Misel.
Moza dan Dira yang mendengar tawaran itu lantas segera memilih barang yang ingin kita beli.
Drr… Drr… Drr…
Suara dering ponsel itu mengalihkan perhatian mereka.
“Tunggu bentar, gue ngangkat telepon dulu,” pamit Misel yang diangguki oleh yang lain. Kemudian Misel pergi ke tempat yang lebih sepi.
“Hallo, kenapa sih, Pa, nelpon?”
“Misel, perusahaan Papa hampir bangkrut.”
Mendengar itu, Misel membulatkan matanya, sempurna.
“Apa? Bangkrut!! Terus gimana nasib Misel, Pa?”
“Maafin Papa, Misel. Papa bakal berusaha buat perusahaan kita bangkit lagi. Jadi tolong doanya, ya, sayang. Dan buat bulan ini, kayaknya Papa nggak bisa tranfer uang jajanmu, kamu dulu. Kemarin Papa kan udah titip 10 juta, itu cukup, kan sayang?” jelas Papanya panjang lebar.
Misel meremas roknya dengan erat dan langsung mematikan panggilan. Misel melangkah kesal lewat pandangan sepintas.
“Guys, Papa gue bangkrut,” mukanya memelas, pundaknya meremas.
Dira berhara… jika teman-temannya akan membantu dan menyemangati.
“Hah? Apa? Lo bangkrut!!” teriak keduanya bersamaan.
“ga jadi dong lo bayarin belanjaan kita,” sinis Moza.
“Ya iyalah, Za, orang Papa dia udah bangkrut. Eh, gimana kalau dia minta bayarin belanjaannya?” sindir Dira. Misel yang mendengar hal itu sangat terkejut.
“Kok kalian gitu sih?”
Mendengar itu, Moza dan Dira tertawa.
“Ya iyalah, kita kan cuman butuh uang lo,” final Moza sebelum dirinya pergi meninggalkan Misel bersama Dira di sana.
“Tungguin gue, Za!”
Taman belakang Universitas Cakrawala, 08.25 WIB.
Misel tengah duduk termenung, meratapi nasibnya dan orang tuanya yang sudah bangkrut itu, hingga akhirnya seseorang menepuk pundaknya.
“Lo kenapa?” tanya Asa.
“Orang tua gue bangkrut, Sa.” Misel menduk. Malu, takut akan mengejeknya seperti Moza dan Dira.
“yang sabar, ada gue kok di sini,” ujarnya sambil tersenyum hangat.
“Lo nggak benci ke gue?”
“Enggak, buat apa.”
Mendengar itu, Misel segera menatap Asa dengan erat.
“Makasih, Sa. Lo baik dan tulus temenan sama gue gak kayak mereka.”
“udah gue bilang di aitu Cuma pake topeng di depan lo”
“Lo serius mau temenan sama Misel, Za?” tanya Dira.
“Ya, enggak lah. Gue cuma butuh duitnya doang. Nanti kalau dia udah bangkrut, gue bakal tinggalin, deh.”
“Parah lo, Za.”
Semenjak saat itu Asa dan Misel menjadi seorang sahabat. Asa mengajarkan Misel banyak hal, mulai dari pelajaran menghemat, menabung, bahkan Asa mengajaknya untuk bekerja saat sedang ada waktu luang. Hingga akhirnya orang tua Misel berhasil menjayakan perusahaannya lagi.
“Asa, gue ada hadiah buat lo.”teriak Misel saat sudah berada di dalam kamar asrama.
Misel saat itu sudah berada di dalam kamar asrama.
“Halah, paling murahan tuh hadiah, atau ngutang,” sindir Dira.
“Diem lo,” sinis Asa.
“Hehh, perusahaan Papa gue udah maju, Asa, lo tau?” Kemudian mengeluarkan handphone dari dalam tasnya.
“Ini buat lo,” seru Misel pada Asa.
“Inikan keluaran terbaru, Sel,” Asa menatap tak percaya ke arah Misel.
“Lo nggak beliin buat gue, El?” seru Moza.
“Iya, kita kan temen baik lo,” ucap Dira.
“Temen baik yang cuma butuh duit doang, dasar munafik,” cerca Misel, membuat Moza dan Dira mendengus kesal lalu keluar dari dalam kamar.
“Lo beneran, Sel, keluarga lo udah nggak bangkrut lagi?”
“Enggak.”
“Tapi lo tetep harus hemat dan jangan sampai salah pilih temen,” nasehat Asa.
“Iya, iya, bawel banget lo. Perasaan dulu lo irit banget ngomong, sekarang malah bawel banget,” Asa mendengus kesal mendengar jawaban Misel, tapi di balik itu ada rasa syukur dan senang karena keluarga Misel sudah berhasil berjaya lagi seperti dulu.
Semua ini mengajari misel agar tidak menjadi orang yang sombong dan menghambur-hamburkan uang seperti dulu lagi dan bahwa memilih teman itu juga penting.
Tamat [SM.Red]
TAMAT.
Nama Penulis : Aura Irda Irwanto
Kelas : IX E
Lembaga : MTs Unggulan Nuris Jember