Peresume: M. Izzul Arobi*
Penulis : H. Abdul Mun’im DZ
Penerbit :PBNU & Langgar Swadaya
Cetakan : ke dua ( Maret 2014 )
Tebal : xvi + 239 Halaman ; 14×21 cm
Membaca sejarah secara tidak utuh akan melahirkan suatu pemahaman yang menyimpang. Maka diperlukan referensi yang memadai sebelum menjustifikasi tentang kejadian masa lalu, hal ini dikarenakan tidak semua yang tertera di buku maupun referensi mempunyai ke-absahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sejarah ditulis berdasarkan kemana angin meniup sang penulis. Bisa jadi fakta sejarah dikaburkan karena penulis berpihak kepada salah satu pelaku dan menuliskan sesuatu yang menguntungkan pihak tersebut.
Buku Benturan NU & PKI tahun 1948 – 1965 yang ditulis oleh Abdul Mun’im menjawab tentang isu santer yang beredar bahwa pada era 1948 – 1965 NU dan TNI melakukan pembantaian besar besaran terhadap kaum PKI. Isu ini cukup meresahkan warga NU dan TNI, terdapat oknum oknum yang berusaha untuk memutar balikkan sejarah tentang salah satu peristiwa kelam yang mewarnai sejarah Republik Indonesia, bahkan eks PKI (dan oknum pendukung) menuduh NU dan TNI sebagai penjagal dan menuntut meminta maaf serta mengajukan ke Pengadilan Internasional. (Spektrum perkembangan PKI terdapat pada hal 113 –114). Maka mutlak bagi warga Indonesia khususnya Jamiyyah Nahdlatul Ulama’ mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
PKI merupakan organisasi yang berfaham komunis dan mengusung ide ide Karl Mark dalam menjalakan roda pemerintahan dan tidak segan untuk menggunakan cara keji untuk mencapai tujuannya. PKI melalukan pemberontkan kepada pemerintahan sebanyak 3 kali, tahun1926, 1948 dan 1965. Alhamdulillah dapat dipadamkan meskipun dibayar dengan harga yang mahal dengan gugurnya ratusan santri, para Kyai dan TNI.
Pemberontakan PKI tahun 1948 yang berpusat di Madiun telah merenggut nyawa raden Soerjo ( Gubenur Jawa timur ), KH. Muhammad Nur, KH Imam Mursyid ( Pengasuh ponpes Sabilil Muttaqin ), Ustadz Ahmad Baidlawi, Kyai Malik, Kyai Dimyati dan beberapa pim pinan daerah karesidenan Madiun serta banyak lagi santri dan kyai yang disiksa dan dibunuh secara keji. ( hal 47 – 70 ), tertulis ribuan orang menjadi korban kebiadapan PKI kala itu. Ketika melancarkan aksinya, PKI mempunyai slogan Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!!. PKI dan komplotannya berhasil dipukul mundur dan pimpinannya (Amir Syarifuudin, Muso dll ) ditanggap serta dihukum mati berkat bersatunya kekuatan NU, Rakyat dan TNI. Meskipun telaj melakukan aksi keji, PKI tidak dibubarkan dan berhasil menggalang dukungan kembali sampai terlahir tragedy 1965.
(baca juga: Sisi Lain KH. Hasyim Asy’ari, Bukan Sekadar Pendiri NU)
Anehnya, peristiwa 1948 yang mendudukkan PKI sebagai pelaku kejahatan berusaha untuk dimanipulasi oleh Suripno dalam bukunya konfrontasi peristiwa Madiun dan digunakan oleh Dipa Nusantara Aidit ( DN Aidit / gembong PKI ) dan komplotannya untuk menyerang Mohammad Hatta dan menuduh hatta sebagai orang dibalik tragedy 1948. Hal ini terjadi pada tahun 1957 saat PKI mempunyai anggota kurang lebih 6 juta orang. Sungguh tuduhan keji yang tidak mendasar. (hal 70 – 71)
Pada tahun 1950 – 1965, PKI dibawah komando DN Aidit dan Nyoto berhasil menggalang masa yang cukup banyak yang menjadikannya berani untuk melakukan kudeta berdarah pada para pimpinan Angkatan Darat serta para Kyai. Periode 1950 – 1965 mengisahkan gesekan gesekan antara NU dan PKI dalam berbagai lini, mulai dari sabotase tanah, provokasi provokasi yang tidak pantas, penculikan kyai, adu politik hingga PKI melalui Lekra menampilkan lakon Gusti Allah Kawin yang menyinggung umat islam.
Puncak pemberontakan PKI terjadi pada 30 September 1965 dengan menculik dan membunuh para perwira tinggi angakatan Darat dan para Kyai NU. Dikisahkan kondisi yang terjadi sangat mencekam dan penuh ketidakpastian. PKI juga berhasil menguasai RRI dan beberapa fasilitas Publik, namun dengan kesigapan TNI AD melalui RPKAD dan Banser NU, PKI dapat ditumpas hingga ke daerah daerah. Pada saat itu terjadi tragedy berdarah saling membunuh sesama anak bangsa. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak tidak terelakkan. Sejarawan berbeda pandangan tentang jumlah korban yang jatuh dari Pihak PKI, tetapi banya sejarawan yang bersikap tidak obyektif dan cenderung menyalahan NU dalam tragedy pembantaian massal PKI dengan menyebut angka angka kematian yang tidak wajar dan menafikan korban dari pihak NU serta menuduh NU sebagai alat TNI dan menuduh NU sebagai pelaku pembantaian. Dalam kenyataanya, NU adalah pihak yang dirugikan oleh tindakan PKI yang telah membunuh para Kyai dan Santri tanpa alasan yang dibenarkan.
Kejadian tentang PKI adalah masa kelam Republik Indonesia yang harus menjadi pelajaran supaya tidak terulang. Tentu konflik antara NU dan PKI tidak sesederhana tulisan ini, membaca buku secara keseluruhan akan menambah cakrawala pengetahun tentang gesekan NU dan PKI. Peristiwa ini merupakan salah satu fragmen besar bahwa NU selalu setia kepada Republik Indonesia dan siap sedia menjaga keutuhan NKRI dari pihak manapun yang merobgrong. Semoga dapat diambil hikmahnya dan jangan sampai kulit pisang menjadikan tergelincir dua kali.
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris lulusan tahun 2017, saat ini sedang melanjutkan studi sarjana di Polije