Penulis: Ayu Novita Sari*
Rimbun bergelut dengan senyum
Mata terhempas, pojok dunia
Tik-tak jam tak bernyawa
Lamunan awan, menutup senja
Teringat. Ku lemparkan tubuhku tepat di atas kasur lantai kamarku. Kurasakan angin yang berusaha keluar dari kisi-kisi baling kipas angin yang mengguyur tubuhku secara lesu. Ku sempatkan menoleh ke jendela, tampaknya rembulan ingin mengobrol sebentar denganku. Dedaunan menggenggam cahaya bulan seakan tak ingin melepasnya. Terdengar nyanyian sendu yang menusuk kalbu. Nihil. Seseorang menyerangku, tapi ku tak bisa melihatnya akibat kemunafikan digunakannya sebagai topeng.
Ia menghempas kasar tubuhku ke kasur lantaiku. Aku mencoba memberontak tetapi, ia menindihi tubuh lemahku. Jangankan melawan dirinya mengucapkan kata tolongpun aku tak sanggup. Ku lihat ibu panik melihat buah hatinya diperlakukan seperti jaranan.
Orang itu tetap saja menindihiku hingga aku terperosok masuk ke dalam lantai. Sempat ku lihat ibu berhasil mengusir orang bercadar kemunafikan itu. Tetapi terlambat orang itu sudah berhasilkan memasukkanku ke balik lantai kamarku.
Aku melihat dari balik lantai Ibu memelukku tubuhku, kemudian Ayah menggotong tubuhku entah kemana. Adikku meraba-raba lantai ku coba ketuk lantai dikembalikan. Berhasil, adikku Shifa yang berumur empat tahun melihatku, tetapi memandang heran. Lantas ia pergi meninggalkanku.
Tidak lama aku bertahan, badanku tertarik jauh dari peganganku. Semakin jauh aku meninggalkan lantai rumah. Akupun tak ingat semuanya. Waktu itu, ku buka perlahan mata sipitku. Terasa geli bagian kakiku, ku meluhat ikan kecil menciumi kakiku. Ku selidiki sekitar ini dasar laut. Teriak sekuat tenaga yang masih tersisa. Heran, mengapa aku tidak merasakan sesak. Padahal aku tidak bisa berenang, ku kayuh sendiri badanku sebisaku seperti menciptakan gaya berenang terbaru. Ku kira aku sudah cukup jauh mengayuh tubuhku. Kehidupan bawah laut yang amat damai. Tidak seburuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk yang pernah ku lihat di salah satu stasiun TV kesukaanku. Ikan bersahabat menyatu dengan alam jauh berbeda dengan kehidupan yang bernama baratan. Disana ku merasa bising, banyak pertengkaran degan alam yang membuat alam memberontak. Ketika alam memberontak melawan, tetap saja manusia menyalahkannya. Aneh.
(baca juga: Mahabah Bianglala, Kisah Tentang Cinta Kasih Keluarga)
Ku lihat selembar cahaya putih yang cukup membuat mataku silau. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya ku coba menggapai cahaya itu. Siapa tahu itu lampu matahari yang mencariku atau lampu nelayan yang sedang melaut. Nihil. Bukan cahaya matahari dan juga bukan cahaya lampu nelayan. Melainkan cahaya lampu rumah sakit yang tembus melewati pelataran lantai. Ternyata aku masih di balik lantai. Ku gedor-gedor lantai yang dipijak ibuku tapi, ia tak menghiraukan. Ia sibuk berbicara dengan dokter, entah apa yang mereka perbincangkan, aku tidak mendengar di balik sini.
Ku perhatikan Shifa menangis. Apakah ia meminta untuk dibelikan es krim. Ternyata bukan, ia menangisi tubuhku yang tergeletak lemah disalah satu ruangan. Betapa kagetnya ketika aku tahu itu adalah ruangan operasi. Padahal aku baik-baik saja disini. Aku tidak bias mendengar apa-apa, hanya suara debur ombak yang aku dengar. Ku tinggalkan kesibukan di ruang itu. Ku coba melihat ke tempat lain. Orang-orang tidak menyadari kedatanganku mereka sibuk mengurusi dunia mereka. Satu per satu ku coba mengedor lantai dari keterbalikan, tak ada satupun orang yang membalas bahkan menoleh ke bawahpun tidak ada.
Tidak ada yang aku kenal di lautan bawah lantai ini. Rinduku tak rontok-rontok, bahkan selalu mengaung tentang masa lalu yang cukup menyenangkan di sebuah desa yang dikelilingi gunung-gunung hijau yang menjulang tinggi. Sawah segar yang menghampar luas bagaikan karpet hijau, udara segar dan sejuk, ketenangan, kedamaian, kesejahteraan penduduk.
Lamunanku bubar ketika lantai yang berada di atasku bergerak. Betapa ramainya di atas sana. Hingga lantaipun ingin memecahkan diri akibat kesukaran dunia. Inilah kehidupan desaku sekarang. Gunung hijau yang tinggi berubah menjadi gedung-gedung beton. Sawah segar berubah menjadi jalan panas ber aspal. Udara segar berubah menjadi polutan udara. Kebisingan, kesibukan, dan kesukaran terjadi.
Ku alihkan tubuhku ke tempat lain. Ku lihat ibu masih bersedih melihat tubuhku yang dipenuhi kabel medis. Ayah, ku lihat raut wajahnya, terlihat lipatan kepasrahan. Apakah dokter belum juga memberi tahu kepada keluargaku kalau aku ada disini, atau ia sengaja menyembunyikannya.Rupanya sekarang sedang angina muson timur. Gelombang laut sangat dahsyat, tubuhku terombang ambing. Sekuat sisa tenagaku aku bertahan demi melihat ibu. Nihil. Aku terhempas jauh, terbesit dalam otakku jika di atas sana terjadi gempa yang dahsyat dan akan membelah lantai, lantas keluargaku mencari tubuhku yang mungkin sudah menyatu dengan banyaknya ikan di laut bahkan menempel di sela-sela terumbu karang lautan bawah lantai ini.
Jika itu semua tidak terjadi maka aku akan beringkarnasi menjadi cacing laut yang bersembunyi di lautan bawah lantai kamarku agar terhindar dari kesibukan dan kesukaran dunia.
Jember…
Pojok ruang yang penuh
Dengan kekakuan
*Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember, Penulis Buku Antologi Cerpen Gandrung Melarung Mendung