Judul Buku : Nukilan Sastra di Karya Santri
Judul Karya : Iringan Rindu
Penulis : Alia Risky Fauziah
Penerbit : AE Publishing
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Maret 2021
Halaman Karya : 8 halaman
ISBN : 978-623-306-530-6
Peresensi : Putri Utami Octaviya, S.Pd
Sinopsis:
Siapa sangka, di bangku kelas VIII dirinya telah berhasil mencetak sebuah karya dalam cerita pendek berjudul Iringan Rindu. Hasil karya perdananya ini diangkat berdasarkan kisah nyata pengalaman hidup selama menempuh pendidikan. Gadis mungil ini bernama Alia Risky Fauziah. Ia bersekolah di SMP Nuris Jember. Suatu kebanggaan untuk dirinya bisa berpartisipasi dalam pembuatan antologi cerpen karya SMP Nuris Jember. Karyanya bersanding dengan 25 karya siswa-siswi lainnya. Tentunya semua karya memiliki daya tarik yang berbeda.
Kisah ini berawal dari suatu hari. Minggu, adalah hari yang dinantikan para santri Nuris Jember untuk bertemu dengan orang tua mereka masing-masing saat pengiriman. Khususnya santri Pondok Putri Pusat Dalbar. Nama mereka akan dipanggil satu persatu ketika wali telah datang untuk mengirim. Keluarga mereka selalu datang dengan membawa buah tangan. Entah makanan kesukaan atau bahkan barang-barang yang telah direques sebelumnya. Momen ini merupakan salah satu cara untuk mengobati rasa rindu pada sanak keluarga.
Semua santri telah menunggu agar namanya dipanggil oleh ustadzah. Tak terkecuali Lia dan teman-teman kamarnya. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya namanya dipanggil. Ayah dan Ibunya telah menanti di ruang tamu. Mereka melambaikan tangan ketika melihat buah hatinya muncul tak jauh dari hadapannya. Senyuman lebar dari bibir Lia menyambut kehadiran kedua orang tuanya. Dengan berlari perlahan ia menghampiri ayah dan ibu. Dilanjutkan dengan duduk bersama di teras ruang tamu.
(Baca juga: Resensi Karya Sastra SMP Nuris Jember: Nukilan Sastra di Karya Santri)
Perbincangan dimulai, ibunya datang dengan membawa makanan kesukaan Lia. Ia tampak lahap memakan suap demi suap makanan itu. Hingga tak terasa waktu telah pukul 14.00 WIB. Menandakan waktunya orang tua Lia pulang. Raut sedih mulai terlihat di wajahnya, tetapi orang tuanya berjanji akan kembali dua minggu lagi. Lia lega mendengar hal itu. Ia kembali ke kamar dengan hati sedih dan gembira yang bercampur menjadi satu.
Salah satu teman Lia yang telah lama pulang akhirnya kembali ke pondok. Ia melihat sosok Gita sedang menata baju di lemarinya. Sungguh senang hati Lia melihat kehadiran Gita. Mereka berbincang ceria dengan bercerita satu sama lain. Gita memberikan secuil informasi penting kepada Lia. Bahwa di Indonesia telah genting tentang virus corona yang mulai memasuki Indonesia. Bahkan di negara tetangga telah banyak korban jiwa yang disebabkan oleh virus ini. Para santri lainnya yang mendengar hal ini pada heboh. Mereka terus menanyakan perkembangan virus ini kepada ustadzah.
Sehabis diniah malam Ustadzah Didi mengumpulkan seluruh santri di musholah dan mulai menyampaikan pengumuman penting. Bahwa pesantren mempunyai kebijakan baru. Kebijakan ini dikeluarkan untuk meminimalisir penyebaran covid. Bahwa para santri tidak diperkenankan bertemu orang tua atau wali selama masa pandemi. Peraturan ini berlaku sampai Indonesia dalam zona hijau yang artinya sudah mulai aman dari virus covid. Para santri diperbolehkan menghubungi orang tua melalui hanphone ustadzah pondok. Hal itu guna untuk melepas kerinduan kepada keluarga. Tentunya juga dengan waktu yang telah ditentukan yaitu cukup 3 menit dalam sekali telepon.
Beberapa hari berjalan, kabar tak sedap sedang menimpa keluarga Mia. Teman baik dari Lia. Pihak pondok baru saja mendapat kabar bahwa ibu Mia telah meninggal dunia. Mirisnya lagi Mia tidak diperkenankan pulang karena harus mengikuti peraturan pondok untuk tetap dipondok. Untungnya ustazah mampu menenangkan Mia dan memberinya pengertian. Mia pun mulai tenang dan bergegas melaksanakan sholat serta mengirimkan do’a untuk mendiang ibunya.
Pandemi belum berakhir, peran santri adalah menjaga agar tidak ada yang menularkan virus pada sesama. Namun sebaliknya, jika salah satu santri terkena maka seluruh warga pesantren akan tertular. Santri harus tetap menjaga kebersihan dan kesehatan serta menahan rindu sejenak kepada keluarga dengan tetap berada di pondok. Ikhtiar dan berdo’a pasti semua ini akan berlalu.
Kelebihan:
Cerpen ini mencerminkan kondisi sosial yang dialami oleh banyak orang selama pandemi, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Hal ini memungkinkan pembaca untuk lebih memahami kehidupan santri, serta tantangan yang mereka hadapi selama masa sulit ini. Selain itu cerpen ini dapat meningkatkan empati pembaca terhadap santri yang jauh dari keluarga, dan bagaimana mereka berusaha untuk tetap kuat meski dalam keterbatasan selama pandemi. Pembaca dapat lebih menghargai perjuangan mereka dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.
Kekurangan:
Jika cerita terlalu berfokus pada pengalaman satu santri atau kelompok tertentu saja, pembaca mungkin kehilangan gambaran yang lebih luas mengenai berbagai dinamika kehidupan santri, atau bagaimana mereka beradaptasi dalam menghadapi pandemi secara kolektif. Untuk memperkaya isi cerpen ini, penulis bisa menambahkan elemen-elemen seperti hubungan yang tumbuh di antara santri, konflik batin mereka, atau refleksi pribadi mengenai ketabahan di tengah kesulitan. Dengan begitu, cerpen ini tidak hanya berbicara tentang kerinduan, tetapi juga tentang perkembangan karakter dan pembelajaran hidup yang lebih dalam.