Ajeng Kartika Buktikan Gak Harus Juara Lomba Buat Jadi Hebat di Kelas
Pesantren Nuris — Di tengah dinamika dunia pelajar Gen Z yang dipenuhi tantangan, distraksi, dan perjuangan akademik yang tak kenal lelah, muncul sosok inspiratif dari kelas X C MA Unggulan Nuris Jember. Dia adalah Ajeng Kartika Risda Maulidiya, atau akrab disapa Ajeng, siswi asal Jatiroto, Lumajang, yang sukses mencuri perhatian dengan meraih peringkat 2 kelas di Semester Genap Tahun Pelajaran 2024/2025.
Prestasi ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerita perjuangan, tentang bagaimana seorang remaja dengan segudang mimpi, hobi membaca, dan cinta mendalam pada keluarga, berhasil mengukir pencapaian lewat ketekunan dan ketulusan hati. Ajeng membuktikan bahwa prestasi akademik tak selalu harus datang dari kompetisi eksternal atau lomba besar. Prestasi juga bisa tumbuh dari usaha dalam sunyi, di tengah malam, ditemani buku catatan dan doa yang tak pernah putus.
Dalam wawancaranya, Ajeng menyampaikan motivasi yang sangat menyentuh hati. Bukan untuk ketenaran, bukan karena ambisi pribadi, tapi karena ia ingin melihat senyum di wajah kedua orang tuanya. Kalimatnya sederhana namun sangat dalam:
“Saya ingin membanggakan orang tua dan melihat mereka gembira saat saya mendapatkan peringkat. Meskipun bukan prestasi dari lomba besar, saya ingin mereka tahu bahwa saya berusaha.”
(Baca juga : So Proudly, Hafizah Cerdas MA Unggulan Nuris Juara 3 Quran of Champions Nasional BAZNAS Malang)
Tak sedikit pelajar yang merasa down karena belum pernah menang di ajang lomba nasional atau internasional. Tapi Ajeng hadir sebagai pengingat bahwa setiap bentuk prestasi itu valid, dan tidak harus dilihat dari besar-kecilnya panggung. Kadang, memenangkan hati orang tua sendiri adalah bentuk kemenangan paling manis.
Seperti banyak pelajar lain, Ajeng tak luput dari tantangan besar yang familiar: rasa malas dan susahnya menjaga konsistensi belajar. Apalagi di era digital yang penuh notifikasi dan godaan rebahan, konsisten belajar setiap hari bukanlah hal yang mudah. Namun Ajeng sadar, bahwa mempertahankan nilai adalah proses yang jauh lebih sulit dibandingkan mendapatkannya di awal.
“Saya kesulitan mempertahankan nilai, terutama karena rasa malas dan sulitnya memilah waktu belajar yang konsisten,” katanya jujur.
Namun kejujuran inilah yang membuat kisah Ajeng jadi sangat relatable. Dia tidak mencitrakan dirinya sebagai siswa super disiplin. Ia justru menunjukkan sisi manusiawinya, dan bahwa yang membuatnya istimewa adalah kemampuannya untuk terus bangkit, meski berkali-kali tergoda untuk menyerah.
Setiap orang punya cara belajarnya sendiri. Bagi Ajeng, waktu malam hari adalah waktu terbaik untuk menyendiri dengan buku. Dalam suasana yang lebih tenang, ia mengulang kembali pelajaran dari catatan yang telah ia tulis sebelumnya.
“Saya belajar saat malam, membaca kembali buku catatan, dan selalu berdoa sebelum mulai belajar atau mengerjakan ujian,” ujarnya.
Strategi sederhana ini, ternyata sangat efektif untuknya. Ia tidak membutuhkan metode rumit atau aplikasi belajar yang canggih. Ia hanya butuh ketenangan, ketulusan, dan keyakinan bahwa usaha yang ditemani doa pasti akan membuahkan hasil.
Menariknya, Ajeng memiliki dua hobi yang tampak berseberangan: membaca dan mendengarkan musik. Tapi baginya, keduanya adalah sumber energi. Musik menjadi teman saat pikirannya lelah, sementara membaca adalah pelarian dari dunia yang penuh kebisingan.
Dari kebiasaannya membaca, ia banyak mendapat wawasan baru, memperluas cara pandangnya, dan meningkatkan pemahaman terhadap pelajaran. Sementara musik menjadi pelipur lara dan penyemangat ketika belajar terasa berat. Kombinasi ini ternyata sangat membantu menjaga keseimbangan emosional dan semangat belajarnya.
Bukan tanpa arah, semua perjuangan Ajeng dalam dunia pendidikan ini bermuara pada cita-citanya: menjadi seorang hakim.
“Saya ingin menjadi hakim. Karena saya ingin menegakkan keadilan dan menjadi pribadi yang bijak dalam mengambil keputusan,” katanya.
Cita-cita ini bukan sekadar pilihan karier, tapi panggilan hati. Dan sejak dini, Ajeng telah berusaha menyiapkan dirinya, bukan hanya dengan nilai akademik, tapi juga lewat organisasi dan ekstrakurikuler yang ia ikuti: karya ilmiah keagamaan dan penulisan sastra — dua bidang yang membentuknya menjadi pribadi yang kritis dan reflektif.
Ajeng tidak berpuas diri. Meski berada di posisi kedua, ia tidak menganggapnya sebagai akhir. Justru, ini adalah motivasi untuk terus naik kelas — bukan hanya dalam arti akademik, tetapi juga secara pribadi.
“Saya berharap semester depan bisa lebih baik lagi. Semoga nilai saya semakin naik dan saya bisa meraih peringkat 1. Dan yang paling saya impikan, semoga saya diterima di Universitas Brawijaya,” ujarnya dengan penuh harap.
Dalam kalimat yang singkat namun penuh makna, Ajeng menyampaikan pesan yang bisa menyentuh siapa saja yang sedang berjuang di dunia pendidikan:
“Semangat buat orang-orang yang lagi berusaha buat membanggakan kedua orang tuanya. Jangan menyerah untuk masa depan yang cerah.”
Bagi Ajeng, perjuangan ini belum selesai. Tapi ia tahu, setiap langkah kecil yang ia ambil hari ini adalah pondasi masa depan yang besar. Dan selama ia tidak berhenti berjalan, maka tidak ada yang mustahil.
Ajeng Kartika Risda Maulidiya telah membuktikan satu hal penting: bahwa prestasi tidak selalu datang dari panggung besar atau publikasi luas. Kadang, prestasi datang dari ruang kamar yang sunyi, dari malam-malam yang dilewati bersama buku catatan, dari doa yang sederhana, dan dari senyum orang tua yang jadi bahan bakar semangat. [LA.Red]
Nama : Ajeng Kartika Risda Maulidiya
Hobi : Membaca dan mendengarkan musik
Cita2 : Hakim
Lembaga : MA Unggulan Nuris Jember (X C)
Prestasi : Peringkat 2 MA Unggulan Nuris Jember Semester Genap Tahun pelajaran 2024/2025
