oleh: Shoimatul Ahadiyah (alumni SMA Nuris Jember)
Ke mana angin pergi membawa kecemasan? Apakah ia sempat menitipkan kecemasan pada daun jatuh, mengendap-endap suara, namun terdengar bisiknya oleh angin, “Selamat tinggal, aku tak ingin kembali, walau musim semi meledakkan jutaan bunga.”
“Jane! Ke mana Sharon?”
“Mungkin masih di kamarnya.” Jawabnya datar.
“Kenapa belum bangun? Harusnya dia cepat-cepat berangkat sekolah. Ini hari pertamanya di sekolah baru.”
“Kenapa tak kau saja yang membangunkannya Joseph!”
“Bukankah kau ibunya?”
“Tapi aku tak mau mengurusi hal tak penting seperti itu!”
“Sepenting mana dengan urusan kerjamu?”
“Aku mencari uang untuk kehidupan kita. Sudahlah bukankah kau menikmati juga?”
“Cukup Jane! Sampai kapan kau bersikap seperti ini pada Sharon?”
“Entah aku harus berangkat. Client-ku sudah menunggu.”
“Terserah kau saja.”
Dengan langkah gontai Joseph menuju kamar Sharon. Dilihatnya anak itu masih terbaring dengan selimutnya.
“Sharon cepat bangun!” Joseph menggoyangkan tubuh Sharon, tidak ada jawaban.
“Sharon kau dengar tidak!” Sedikit membentak.
“Ada apa Joseph ribut sekali?” Ucap Sharon malas.
“Apa Joseph? Bukankah sudah kubilang kau harus memanggilku papa!”
“Dulu waktu kita masih di Belanda, kau tak mempermasalahkan itu.”
“Kita bukan di Belanda Sharon, ini Indonesia.”
“Terserahlah.”
“Cepat mandi, sebentar lagi kuantar kau ke sekolah barumu.”
“Taruh saja alamatnya di situ! Aku akan pergi sendiri.”
“Tidak, aku akan mengantarmu!”
“Aku tidak mau Joseph, kau urusi saja pernikahanmu dengan Jane agar tidak selalu berteriak satu dengan yang lain. Tidak perlu ikut campur urusanku!”
“Bicara apa kau Sharon? Aku ini papamu.” Sambil berkacak pinggang.
“Oh .. oke aku harus bergegas.”
“Sharon, dengarkan aku!”
“Tidak! Kau gagal menjadi imam kami Joseph.”
“Maafkan aku Sharon.”
“Cukup!!!”
Sharon menyudahi pembicaraannya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Ia merasa kesal dengan hidupnya. Ia sama sekali tak ingin pergi ke sekolah. Baginya sekolah itu tak penting. Pembodohan bagi ababil dunia.
“Joseph, aku berangkat!”
“Aku lelah menasihatimu Sharon.”
“Peduli apa? Tak ada urusan. Sudahlah aku tak mau dengar omong kosong lagi!”
Sharon melajukan mobilnya menuju sekolah. Dia masih merasa kesal dengan Joseph papanya itu. “Mengapa dia selalu menyalahkanku? Memarahiku? Bukankah karena papa dan mama begini. Aku butuh teman, teman yang tulus menyayangiku. Tidak seperti teman-temanku di Belanda yang hanya membuatku semakin hancur menambah beban hati.” Lirih dalam hatinya.
“Ah … semuanya bangsat.”
Tidak perlu diingkari, aku hanyalah seorang remaja yang sesungguhnya banyak belajar dari dunia, dan sering mendapat pencerahan dari mulut-mulut omong kosong lain. Dan darah yang bergelimangan dalam sajak-sajak kehidupan Sharon Clark bukan hanya darah yang menetes atau mengucur dari luka. Darah dalam hati ini seakan telah menjadi warna kahidupan Clark.
Setibanya di sekolah Sharon mencari ruang kelas. Anak-anak melihatnya dengan tatapan lain. Sharon yang berbeda dengan mereka dalam segi penampilan, gaya berjalan, berbicara, dan terutama dari segi ekonomi. Karena ia murid pindahan dari Belanda, murid-murid lain mengaguminya.
“Permisi, apakah ini kelas X 1 Sains?”
“Ya, silahkan masuk, Kau pasti murid baru itu ya?”
“Ya, begitu.”
Sharon tersenyum manis pada anak perempuan itu. Lalu guru mereka datang.
“Selamat pagi murid-murid.”
“Pagi Bu…”
“Kalian hari ini kedatangan teman baru dari Belanda, Silahkan perkenalkan diri!”
“Saya Sharon Clark pindahan dari Amsterdam, Belanda.”
“Kenapa pindah? Bukankah di luar negeri lebih nyaman?” kata salah satu seorang murid.
“Aku pindah karena bisnis Mama di Indonesia. Kemungkinan menetap.”
“Baiklah silahkan duduk Sharon!”
“Baik Bu.”
Bel istirahat berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Ada yang di kantin, bermain di luar kelas. Beda dengan halnya Sharon. Entah apa yang menggelayuti pikirannya. Ia menatap kosong ruang kelas.
“Hei Sharon Clark! Mengapa sendiri?” Tanya perempuan yang dijumpainya tadi di depan kelas.
“Oh, iya aku sendiri.”
“Perkenalkan aku Andre Mark.”
“Yuk, kita keluar bertemu teman-teman yang lain. Akan kuperkenalkan kau pada mereka.”
“Aku ingin di sini saja.”
“Tidak boleh menolak, ini sebagai tanda kalau Kau sudah menjadi temanku.”
“Baiklah!” Jawab Sharon malas.
Andrea menggandeng tangan Sharon keluar kelas menuju teman-temannya yang sedang asyik bercerita.
“Hey, ngapain kalian?”
“Lagi nongkrongin kantin nih. Eh, siapa dia?” Jawab perempuan bermata bulat.
“Oh, ya perkenalkan ini Sharon Clark murid baru pindahan dari Belanda, hebat bukan?”
“Iya, Namaku Lucia Delwis.” Seorang anak berambut gelombang menjulurkan tangannya pada Sharon.
“Dan aku Victoria Leonard.”
“Iya senang kenal dengan kalian semua.”
“Mereka ini temanku Sharon. Sekarang Kau merupakan bagian dari kami bukan?”
“Baiklah teman-teman baruku.”
Mereka semua tertawa riang. Tak biasanya Sharon tertawa lepas seperti itu. Sharon ingin mengubah dunianya. Ada pelangi di matanya. Dan Tuhan akan memberikannya pada Sharon Clark. Seiring berjalannya waktu Sharon, Andrea, Lucia, dan Victoria bersahabat. Tapi tetap saja hubungan Sharon dan orang tuanya tak seindah lingkaran persahabatannya itu.
“Kau tak menghabiskan makananmu?” Tannya Andrea.
“Aku sedang tak berselera makan.” Jawab Sharon sambil menopang dagu.
“Kau tak ingin bercerita padaku?”
“Tidak.”
“Kau harus bercerita padaku.”
“Kalau aku tak mau, Kau mau apa?”
“Aku akan menggilitiki perutmu hinga kau mau bercerita.”
Andrea menggelitiki perut Sharon hingga keduanya terpingkal-pingkal. Mereka tak acuh akan keberadaan orang-orang di sekeliling mereka. Memang keduanya sangat dekat di antara sahabatnya yang lain. Tak heran jika keduanya begitu dekat karena Andrea selalu mengerti Sharon.
“Masih tetap tak mau bercerita?”
“Ampun Re, aku menyerah.”
“Baiklah. Cepat ceritakan!” Sambil membetulkan duduknya.
“Aku mendengar mereka berteriak lagi.”
“Mengapa?”
“Jane akan ke luar kota satu tahun mengurusi bisnisnya itu. Joseph tidak mengijinkannya.” Jadilah mereka berteriak.
“Lantas kau sedih karena itu?”
“Aku tak sedih hanya karena itu, tapi aku penat dengan semuanya.”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”
“Treat me!”
“Okey princess.”
“Kau tak mengajak Lucia dan Victoria?”
“Tentu saja.”
Andrea menggandeng tangan Sharon. Di saat inilah Sharon merasa dunianya kembali. Telah hadir seorang sahabat yang mengubah dunianya. Menjaganya dari silau kehidupan.
***
1 Tahun kemudian……
Apa rencana Tuhan untuk lingkaran persahabatan ini. Apa rencana Tuhan untuk kehidupan mereka? Senja membentangkan sayapnya di langit-Mu.
Semua yang manis menjadi hambar tak ada yang bisa mereka lakukan. Semua telah begitu banyak berubah dari ini.
Jl. Pattimura NO.125 07.10
“Halo Andrea? Kau di mana?” Tanya Sharon.
“Di sekolah,” singkat Andrea.
“Bisa Kau menjeputku di rumah?”
“Aku sudah di sekolah.”
“Sebentar saja ke rumah, mobilku disita Jane.”
Tiba-tiba Andrea memutus telepon begitu saja. Tak biasanya ia seperti ini, seharusnya ia senang karena sudah seminggu ini aku pergi ke Cordoba. Seharusnya dia rindu padaku. Tapi kenapa Andrea?
Seharian ini Sharon mengurung diri di kamar. Akankah dunianya kembali seperti dulu? Matanya basah merindu air mata. Kenapa ia merasa sendiri sekarang? Padahal Sharon baru tiba di rumahnya dan ingin menemui Andrea. Tapi mengapa sikapnya berubah? Matanya yang letih merintih bertasbih hari bertasbih Tuhan. Bila saatnya waktu telah menepi, kepada siapa ia meneteskan air mata? Sharon terlelap di tengah muara tangisnya.
***
Andrea tengah mencari lagu terbaru Tailor Swift. Ia mengitari seluruh ruangan toko musik itu, tapi masih belum ada yang terbaru. Tiba-tiba bruukk, ia bertabrakan dengan seorang wanita. Setelah mata mereka saling bertemu, ternyata wanita itu adalah Sharon. Lama mereka bertatapan sepertinya tersimpan rindu di mata keduanya.
“Kau ke mana saja Andrea?” Tanya Sharon.
“Aku tak ke mana.” Jawab Andrea pelan.
“Kau tak pernah menghubungiku lagi.”
“Tak apa hanya saja tugasku menumpuk.”
“Sampai-sampai kau tak peduli lagi terhadapku.”
“Tidak Sharon.” Andrea memalingkan wajah.
“Kau tak rindu padaku setelah akhir-akhir ini tak menemuiku. Aku rindu padamu Andrea.”
“Kau bicara apa Sharon? Sudahlah aku harus pergi dulu,”
“Kenapa Kau berubah Andrea? Kau tak ingin menemuiku lagi?”
“Kau bicara apa? Tidak ada yang beruabah. Sudah temanku menunggu di depan.”
“Andrea tunggu!”
Andrea tak memperdulikan Sharon. Ia keluar dari toko musik menuju ke arah temannya. Namanya Maria Carry. Entah sejak kapan Andrea bersama denagan Maria. Nampaknya mereka begitu dekat. Ribuan buku, jutaan kata, tumpukan kepedihan, rasa benci, akankah persahabatan ini kandas? Berapa lama mereka terlelap dalam lingkaran persahabatan?
“Kudengar akhir-akhir ini nilaimu selalu kurang Sharon? Apa yang terjadi? Tak biasanya. Setelah kembali dari Cardoba Kau banyak berubah lagi.” Tanya Joseph
“Tidak apa-apa aku hanya lelah saja.” Jawab Sharon datar.
“Kau ingin bercerita padaku?”
“Kenapa Kau selalu peduli padaku?”
“Karena aku menyayangimu Sharon.”
“Maaf Joseph selama ini aku bersikap itu padamu. Aku terlalu mengikatku pada kebencian ini. Aku tahu Kau telah berusaha untuk mempertahankan kami hingga sampai saat ini. Sekali lagi maaf. Aku menyayangimu Papa.”
“Iya Sharon terimakasih sudah mengerti. Kau tak perlu merasa sendiri. Karena dari dulu sampai sekarang papa selalu ada di sampingmu.”
“Iya Papa Sharon mengerti sekarang. Love you Dad.” (sambil memeluk papanya)
“Love you too.”(sambil mengecup kening Sharon)
Aku telah pulang Joseph. Sepasang mata biru buah hatimu. Aku rindu menangis di bahumu hingga sempurna air mata. Malam menenun kebahagiaan. Engkaulah malaikat sejarah yang menyelinap di sayap waktuku. Dan saat ini aku bersyukur memilikimu PAPA.
***
“Hai Sharon!” Sapa Victoria.
“Ya Victoria.”
“Kau tampak senang hari ini?”
“Ya aku senang. Aku dan Joseph bersama lagi.” (seraya menyungging senyumnya)
“Benarkah?” Kata Lucia menimpali.
“Ya, benar.”
“Di mana Andrea?”
“Dia sekarang bersama teman barunya itu. Sejak kepergianmu ke Cardoba dia dia lebih sering bersama adik kelas itu daripada bersama kami. Entah apa yang membuatnya berubah.” Ujar Lucia.
“Baiklah aku akan menemuinya sekarang.” Kata Sharon mulai geram.
***
“Andrea!” Teriak Sharon.
“Ada apa?”
“Ada apa? Kau bilang ada apa?”
“Ya ada apa-apa?”
“Kau tak merasa bersalah?”
“Tidak.” Kata Andrea tegas.
“Kau sudah lupa dengan teman-teman kita?”
“Tidak. Aku tidak melupakannya.”
“Ada apa ini?” Tanya Maria.
“Kau tak perlu ikut campur.” (Sharon mendorong Maria)
“Baiklah Sharon kita bicara baik-baik.”
“Baik. Ikut aku.” Sharon menggandeng tangan Andrea menuju kedua sahabatnya Lucia dan Victoria yang tengah berada di samping kelas.
“Baik. Sekarang jelaskan mengapa Kau berubah?” Tanya Sharon marah.
“Aku tak berubah.”
“Jawab jujur!” Bentak Lucia.
“Aku tak tahu mengapa aku begini. Mungkin karena akhir-akhir ini kalian jarang bersamaku, jarang memperdulikanku. Terutama kau Sharon. Kau lebih senang mengurusi keberangkatanmu ke Cardoba daripada bersenang-senang bersamaku.”
“Lalu, sejak kapan kau dekat dengan Maria itu?”
“Aku tidak dekat hanya berteman saja. Tidak lebih.”
“Sampai Kau mengabaikan kami”
“Tidak Sharon, hanya saja aku merasa tersisihkan oleh urusan kalian masing-masing.”
“Baiklah kami terutama aku minta maaf Re?”
“Iya, Sharon aku juga.”
“Baiklah jadi tidak ada lagi “TIGA” di antara kita.” Keempatnya pun berpelukan. Sharon amat menyayangi mereka. Ia tak mau persahabatannya kandas karena “TIGA”. Jejak waktu yang dilewati dan harum tubuhmu sahabat berkelap-kelip kristal luka dan kepedihan kita disisakan di bumi ini. Aku rindu saat kita bersama seperti ini. Jangan sesekali pergi dari lingkaran cinta kasih kami.
Senja jatuh mulai membentangkan sayapnya. Rembulan memeluk bintang hiasi malam. Sharon dan Andrea menyusuri jalan yang semarak lampu neon berkelip, tapi terjerat dingin dan sepi. Keduanya masih canggung tak seprti biasanya dingin seperti ini.
“Sharon”?
“Ya Re?”
“Apa rencanamu mengenai kita?”
“Entah, aku tak tau.”
“Aku akan mengejar impianku jadi fotografer!”
“Kau tak akan melupakanku, bukan?”
“Tidak.”
“Tetap menghubungiku selalu?”
“Ya, pastinya.”
“Dan aku akan ke Paris melanjutkan sekolah modelku di sana bersama papa.”
“Mamamu tak ikut?”
“Mama telah memilih jalan hidupnya bersama laki-laki lain.”
“Aku akan selalu bersamamu Sharon.”
“Tidak, untuk sekarang dan berhentilah membual.”
“Baiklah.”
“Besok kita berangkat bersama ke bandara.”
Siapa tahu gelombang hati manusia. Siapa yang tahu? Tanpa uang dan kekuasaan, siapa menyapamu. Bahkan teman seperjalan yang paling akrab, tanpa pamit meninggalkanmu. Siapa akan setia padamu. Bahkan sahabat yang paling setia tanpa pamit meninggalkanmu. Apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku? Kesetiaan, cita-cita, atau sekedar lapar dan kebahagiaan kecil? Orang-orang berlari dari mimpi ke mimpi dari kata ke kata. Begitu sederhana semua ini, kebosanan menggelepar hingga ke dasar, tanpa dasar yang kekal dan fana melahirkan mimpi, sayapnya berterbangan menenun waktu. Rahasia jejakmu seanggun kitab suci.
“Jaga dirimu baik-baik Sharon. Aku akan tetap menyayangimu.”
“Aku juga menyayangimu Andrea. Tetaplah di sisiku walau jauh.”
“My body and soul is yours.”
“Thank you. I’ll be right here waiting for you.”
Keping-keping penuh makna dirimu lampaui batas logika cinta. Ada yang tersimpan rapi dan hati- hati. Pelangi menari di hutan cemara. Terimakasih sahabatku Aku akan menemuimu di tepi waktu sujudku. Aku memelukmu lembut. Tuhan piawai merangkai aku dan kamu dalam satu napas. Dan akhirnya aku ingin abadi bersamamu.