Petahana di Bulan Kedamaian

Petahana di Bulan Kedamaian

Penulis: Cholis Rosyidatul Husnah*

Pesantren Nuris – Ibadah yang memiliki arti menahan adalah puasa. Petahana atau kemuliaan dalam menghadapi sesuatu yang terjadi.

Bagaimana puasamu hari ini?  Kebaikan apa yang telah kamu perbuat? Kamu merasa lapar?  Kamu merasa haus?  Apakah cukup di situ?

Deretan pertanyaan tersebut sering muncul setelah sore hari menjelang waktu berbuka puasa. Bagi umat muslim yang menjalankan puasa pasti merasakan haus dan lapar, hal manusiawi setelah lebih dari 12 Jam diharuskan menahan dari makan dan minum serta hal lain yang membatalkan puasa secara fikih. Keadaan tersebut bukan kondisi normal, kebiasaan manusia makan 3 kali sehari yakni pagi, siang dan malam. Dan saat puasa tidak diperbolehkan makan dan minum pada waktu siang hari tersebut.

Fikih adalah pendapat ulama yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Dua sumber tersebut adalah sumber utama bagi umat Islam, bahkan sumber untuk menjalani hidup di dunia hingga di akhirat kelak. Nabi Muhammad saat hendak wafat berpesan bahwa akan aku tinggalkan dua macam (Alquran dan hadist) untuk pegangan ummat manusia. Jadi, Rosulullah tidak meninggalkan harta, dan tahta melainkan petunjuk hidup berupa teks Tuhan. Didalam alquran dan Hadist tidak hanya menjelaskan fikih, melainkan tauhid, akhlak, bahkan ilmu alam, semuanya lengkap termaktub dalam kitab suci umat Islam.

Kembali pada fikih, puasa di dalam fikih secara terminologi nya itu menahan diri dari hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Sehingga bisa dikatakan oleh fikih bahwa yang bisa melakukan itu puasanya menjadi sah artinya tidak batal dan tidak ada tanggungan mengganti di kemudian hari. Meskipun semisal pelaku puasa tersebut dalam keadaan iri, dengki, menghujat tetangga atau bahkan korupsi. Maka, fikih tidak memandang hak itu. Dan akan tetap dianggap sah oleh Fikih.

(baca juga: Cinta Ramadan, Cinta Sosial)

Lantas, apa selesai sampai di situ?  Pasti jawabannya tidak. Karena ilmu Allah jika hanya terbatas pada fikih. Jika diibaratkan, manusia hanya belajar ilmu fikih bagaikan pedang hanya tajam tanpa pembungkus. Pedang tersebut bebas menghunus siapapun yang melanggar rambu-rambu hukum. Maka tengoklah lebih dalam pada akhlak. Yakni ilmu yang belajar bagaimana bersikap pada manusia lain.

Puasa adalah salah satu ibadah mahdhoh yang mengajarkan pada manusia arti sebuah kejujuran. Tidak ada satu manusia pun yang bisa memastikan keabasahan puasa seseorang. Dalam hal ini, nilai kejujuran yang tersirat didalam ibadah puasa. Tidak boleh munafik terhadap diri sendiri.

Ibadah puasa yakni menahan diri selama satu hari itu bukan waktu yang sebentar. Maka saat hamba sendiri di suatu tempat tidak menuntut kemungkinan dapat dengan mudah membatalkan puasa tanpa diketahui oleh manusia lain. Maka nilai kejujuran teredukasi disana. Ibarat filosofi kembang Melati, melad soko jerone ati yang berarti ucapan harus berasal dari hati, lahir batin harus sama. Tidak hanya itu tindakan pun demikian. Maka bisa dinilai tingkat kejujuran manusia dari ibadah yang dilakukannya

Sejatinya saat berpuasa adalah saat bermuhasabah diri kepada Tuhan. Rasakan dengan mendalam makna dari menahan diri dari beberapa yang membatalkan puasa. Dalam keadaan berpuasa sadar bahwa ketika manusia tidak makan san minum akan lemah, lunglai tidak bertenaga. Keadaan tersebut mengajarkan kepada setiap muslim bahwa yang maha segalanya hanya Tuhan. Tidak ada kekuatan selain darinya. Maka tidak ada sekutu baginya, tidak ada yang maha Agung selain Tuhan. Hak tersebut tidak terkungkung hanya pada ritualitas keagamaan yang secara nyata menyembah selain Tuhan yang Esa. Melainkan segala bentuk penyembahan terhadap kepentingan pribadi etnis, golongan dan sejenisnya yang itu termasuk pada kemusyrikan sosial dan politik.

(baca juga: Islam Berkeadilan)

Puasa pun dapat dimaknai bahwa manusia bebas dari bentuk belenggu perbudakan, dalam arti luas bebas dari perbudakan manusia atas manusia, diri terhadap benda, perbudakan diri terhadap kesenangan pribadi, kebanggaan dan kesombongan diri dihadapan orang lain serta hal lain yang menjadi kecenderungan egoistik manusia. Sejalan dengan konsep yang dibangun oleh Franz Magnis bahwa setiap manusia itu memiliki kebebasan eksistensial yang disitu kebebasan atas kemanusiaan. Jika masih merasa tertekan dan dipaksa oleh orang lain maka manusia tersebut belum murni manusia.

Terdapat pembelajaran tersendiri didalam melakukan ibadah Puasa. Dapat dipastikan sebulan penuh puasa apabila dapat memaknai dan melakukan sesuai dengan kehendak hati, ikhlas tanpa pamrih akan menjadi pribadi yang tangguh dalam mengahadapi apapun. Yang pasti akan selamat dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bish shawab

*Penulis adalah Kader PMII Rayon Syariah IAIN Jember, alumni MA Unggulan Nuris

Related Post