Oleh: A. Farid Miharja*
Purnama di atas kota melukis kesempurnaanMu yang agung
Pada lapang pelataranmu menyimpan sejuta kehidupan untuk anak-anakmu
sawah-sawahmu yang menghijau menjadi tumpuan berpuluh juta makhluk
Pada pucuk padi-padian yang menguning burung pipit menari dengan riang
Alangkah wahai dan sempurnanya
Oh… jika kemarau suburlah
Jika badai damailah
Kota yang sentosa mengantarkan kebahagiaan abadi
Kota dariku negeri yang kaya raya
Matahari tak lagi menjadi serigala pemangsa
Dan rembulan tak lagi menelan kehidupan
Di sinilah kaki berpijak
Mengeja makna dari kenyataan
Lihatlah biru langit masih menaungi keindahan
Melingkar cakrawala pada purnama di atas kota
Ia tersenyum sangat manis untuk kita yang telah berani bangkit dari kebingungan
Purnama di atas kota masih bersinar terang
Tak ada lagi kemunafikan beriringan dengan kebenaran
Matahari di langit sana bukanlah srigala pemangsa
Dan sepoi angin yang menyapa membawa salam damai
Gemericik air megalirkan gairah permainan anak-anakmu
Menyalurkan keberkahan di setiap reguk mata air bumi elokmu
Oh…hiduplah kemesraan bumimu di setiap jengkal persawahan yang
Terhampar menakjupkan
Ilalang berlambai ramah isyaratkan kejehteraan anak-anakmu
Anginnya terhembus kepenjuru pelosok-pelosok tempat singgah para peramai
Bumi elokmu nan ayu
Bersimpuh di sela-sela himpitan ilalang
Bulan tersenyum diatasmu sambil menceritakan anak-anakmu
Saat para petani menyaring senyuman di muara sawah
Jejak-jejak bajak sawah menyisakan lumpur keagungan
Keinginan yang telah terpetakkan
Dibajak peluh yang bercucuran
Pada waktunya hasil akan dianyam bersama anak-anak kecil
Yang bernyanyi penuh zikir dan senyum mengembang
Ya, di sinilah purmana terlihat putih
Karena noda-noda kebodohan sudahlah sirna
Lantaran ma’hadmu mulai berdiri kokoh
Ingin rasanya kata-kata lantang terpekikkan kembali
Yang sudah terkubur ribuan tahun silam
Mengenang para pejuang yang mulai kusam
Dalam ingatan
Hingga daun-daun yang menguning menghijau kembali
Lalu pada akhirnya berguguran tumpah kebumi
Bagai sebuah kelahiran
Masih ingat pada purnama yang sudah mulai beranjak
Petakan sawahmu padi-padian masih menguning
Burung-burung pipit masih berdansa di pucuk
Dan para pembajak sawah masih tetap asik
Bertaruh harap pada purnama diatas kota
Di kota ini masih menjadi panggung terindah
Yang penuh dengan nyanyian burung-burung
Penuh bunga bermekaran
Karena di sini kota harapan dan mengabadikan senyum kedamaian
Tolehlah kembali pada seribu tahun silam
Saat manusia tak mampu berkata
Saat syair-syair tak pernah tertuang dalam pengapnya
gedung-gedung mewah nan asri
Syair itu terbakar oleh bambu-bambu kering
Yang dibangun dari air mata
Masih dalam cerita tentang eloknya kota ini
Buaian semilir rindu selalu menghadirkan kenangan
Kerinduan atas harapan dan kedamaian
Yang menjadi debu dan abu
Pucuk bakau hijau seluas mata memandang
Sepoi angin tak mampu mematahkan semangatnya
Untuk tumbuh bersama harapan pada rembulan
Yang putih di antara pekatnya langit
Anak-anak berlarian di antara pematang
Menarik ulur benang layang agar ia terbang tinggi
Menjaganya agar tetap bertahan diatas sana
Bersama cita-cita dan doa
Di pertengahan bulan saat purnama
Berlari terbirit-birit ketepian sawah yang becek
Belut-belut menelusup ke lubang mencari kedamaian
Tapi tetap saja kau buru demi penuhi nafsu serakahmu
Bagaimana kami bisa leluasa bergerak?
Jika keserakahan tetap bergentayangan
Namun di kota negerimu yang kaya raya
Matahari ketakutan, rembulan bersembunyi
Dibalik awan hitam yang mencekam
Ya, di sinilah kaki akan tegak berdiri kokoh
Menyulam kelabu penuh warna
Lalu awan hitam berarak nyamperin sunyi
Yang menggigil lantaran langit tak berhenti menangis
Bunga-bunga yang bermekaran
Memenuhi trotoar jalan dengan semerbak wangi
Ada mawar bahkan melati
Begitu indah dinikmati oleh sepasang mata para pemuja keindahan
Di sinilah kota kedamaian dari negeri yang merdeka
Jika kemarau suburlah
Jika hujan damailah
Lalu saksikan anak-anak kecil berhamburan
Bermain butir-butir hujan
Berharap esok daun-daun kembali menghijau
Purnama di atas kota
Indah nan putih bersinar penuh senyum gembira
Sejuk permai dan sentosa
Warisan negeri yang kaya raya
Hilang resah dan sengsara
Dan sinilah anak-anak kecil akan tegak berdiri
Tak ada tangis kemiskinan dan kelaparan
Purnama di atas kota
Saling berpegangan tangan, begitu erat satu sama lain
Menghangatkan jiwa dan ruh
Menggenggam warisan nenek moyang
Senampan tangan telah tertuang dipelaminan kota
Dan di sinilah aku lahir
Dan di sinilah aku dibesarkan
Dan di sinilah aku mengabdi
Dan di sinilah aku mati
Saat kita manangis dan tertawa
Ada ”purnama diatas kota”.
Jember, 2012
*A. Farid Miharja adalah pegiat sastra di komunitas Kereta Kosong, sekarang tinggal di Berau Kalimantan Timur.