Tantangan Aqidah Aswaja Di Abad 21
Oleh: Abdullah Dardum, M.Th.I*
Empat belas abad yang lalu, Rasulullah SAW sudah memprediksi bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari sekian banyak golongan tersebut, hanya satu golongan saja yang akan memperoleh keselamatan, yaitu golongan yang secara konsisten berpegang teguh kepada sunnah Nabi SAW dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashabi) atau yang lazim disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Pada abad ke 3 H, umat Islam menghadapi tantangan serius dari aliran yang berkembang saat itu. Mu’tazilah menjadi satu diantara aliran terkuat yang merebak berkat dukungan yang mereka peroleh dari para Khalifah yang berkuasa, yakni al-Makmun (198-218 H), al-Mu’tashim (218-227 H) dan al-Watsiq (227-232 H). Mu’tazilah mengusung doktrin keagamaan yang bersifat rasionalis dengan menjadikan akal sebagai pijakan utama dalam memahami teks-teks keagamaan. Hadis-hadis shahih pun mereka tolak jika tidak sesuai dengan akal. Sebagai respons dari paham ini, Imam al-Asy’ari kemudian merumuskan Islam yang sesuai dengan ajaran yang sudah diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Dan pada akhirnya pengikut Imam al-Asy’ari (Asya’irah) dianggap sebagai golongan yang mewakili Aswaja.
Tantangan Baru Aqidah Aswaja di Indonesia
Seiring dengan perkembangan informasi yang sangat pesat, bahkan informasi dari belahan dunia manapun bisa diakses dengan cepat dan mudah, secara otomatis faham-faham keagamaan yang menyimpang bisa dengan mudah juga sampai ke tengah-tengah masyarakat. Umat Islam kembali menghadapi tantangan serius yang tak kalah mengkhawatirkannya dibandingkan dengan yang terjadi pada abad 3 H. Setidaknya ada dua ideologi besar yang saat ini menjadi tantangan bagi umat Islam, yaitu ideologi kanan (radikalisme/fundamentalisme) dan ideologi kiri (liberalisme).
Faham dari ideologi fundamentalisme dapat ditemukan dalam beberapa kelompok yang menggunakan kerangka berpikir secara tekstualis, formalis dan skripturalis. Kelompok ini melihat umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka dengan mata kebencian. Mereka merasa pemahamannya paling benar, walaupun dalam kenyataannya berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam Ahlussunnah. Mereka memvonis kelompok mayoritas yang berbeda pandangan dengan mereka dengan label syirik, kafir, bid’ah, sesat, dan sebagainya. Ideologi seperti ini dikembangkan oleh aliran Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Wahabi sangat kaku dalam memahami teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Pola pikir seperti ini menjadikan mereka anti-tradisi, mensyirikkan orang bertawassul dan beristighatsah, melarang ziarah kubur, maulid Nabi SAW, dan sebagainya. Pemahaman tekstualis ala Wahabi ini pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam.
Ada juga kelompok yang sangat getol untuk memperjuangkan adanya formalisasi syari’at melalui terbentuknya pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyyah). Kelompok yang dikenal dengan sebutan Hizbut Tahrir (HT) ini didirikan oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani pada tahun 1952. Visi dan misi HT adalah menegakkan Khilafah Islamiyyah, sebab dalam asumsi mereka dengan tegaknya khilafah, ajaran Islam dapat ditegakkan secara sempurna, menyeluruh dan kaffah. Karena itu perjuangan menegakkan khilafah menjadi kewajiban bagi umat Islam. Hanya saja, dalam memahami persoalan khilafah ini, HT sangat ekstrem hingga menyatakan bahwa tidak ikut andil dalam perjuangan membentuk khilafah termasuk dosa terbesar (Al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/19).
Tantangan lainnya dari ideologi fundamentalis-radikalis adalah maraknya penyebaran ideologi Syi’ah. Dalam kitab-kitab Syi’ah dapat ditemukan dengan mudah bagaimana ideologi mereka tentang al-Qur’an, sikap mereka terhadap para sahabat Nabi SAW dan sikap mereka terhadap umat Islam sunni. Dalam pandangan Syi’ah, umat Islam selain mereka statusnya kafir, najis, harta dan darahnya halal (Al-Jazairi, al-Anwar al-Nu’maniyyah, II/210-211). Doktrin teologi yang sudah jelas-jelas menyimpang ini, ternyata mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Mereka bergerak aktif melalui lembaga pendidikan yang berupa yayasan, pesantren atau madrasah.
Di sisi lain, sebagai counter (tandingan) terhadap gerakan Islam radikal tersebut, muncul ideologi liberalis. Di Indonesia, gerakan liberalisasi Islam dapat dilihat dengan munculnya Jarigan Islam Liberal (JIL). Islam Liberal di Indonesia sudah sampai pada pemahaman pluralisme, menganggap semua agama itu sama, semua sama-sama menuju keselamatan (Islam) dan tidak boleh memandang agama orang lain sebagai agama yang salah. Lebih jauh dari itu, mereka yang berpikiran liberal kerap menyerukan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi al-Qur’an dan ajaran Islam itu sendiri. Mereka beralasan bahwa kitab suci ini merupakan refleksi dan reaksi terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan ‘menindas’ dan merendahkan martabat wanita, seperti membolehkan poligami, mengatur pembagian warisan, melarang muslimah menikahi non muslim, dan sebagainya perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai demokrasi dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia modern yang sedang dan terus berubah.
Tak ayal fenomena ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi keberlangsungan aqidah Aswaja, sebab mereka berupaya memahami Islam dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang ‘bebas’ dan tidak sesuai dengan aqidah Aswaja. Paham liberal ini menempatkan akal di atas segalanya. Jika Imam al-Asy’ari merumuskan aqidah Aswaja sebagai respos atas merebaknya teologi Mu’tazilah pada saat itu dan beliau berhasil membungkam serta mematahkan argumentasi Mu’tazilah, maka bisa dikatakan saat ini doktrin Mu’tazilah tersebut kembali muncul sekalipun dengan “bungkus” yang berbeda, namun memiliki substansi yang sama.
Upaya Menghadapi Tantangan
Dari waktu ke waktu, ideologi kiri maupun kanan terus berkembang dengan pesat. Pemahaman keagamaan yang bersifat liberal ataupun radikal seakan tak terbendung lagi. Jika dibiarkan tentu saja pemahaman menyimpang itu akan merusak aqidah Aswaja. Tatanan kehidupan beragama pun akan kacau. Di satu sisi Islam akan nampak sebagai agama yang kaku dan tidak toleran dan di sisi yang lain Islam akan nampak sebagai agama yang kehilangan jati dirinya di saat ajaran-ajarannya ‘direkonstruksi’ karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman.
Fakta teranyar dari dampak ideologi liberal yang mengajak berpikir ‘bebas’ ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Timur akhir Agustus 204 lalu. Dalam menyambut mahasiswa baru di kampus tersebut, panitia Ospek yang terdiri dari Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat mengusung tema Ospek “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan”. Tentu saja tema ini menunjukkan betapa wabah ‘liberalisme’ sudah sedemikian akut menjangkiti mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.
Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menutup mata dalam menghadapi tantangan dari dua ideologi tersebut. Dalam analisa penulis, setidaknya ada dua hal yang bisa diupayakan untuk membendung gencarnya perkembangan ideologi mereka;
Pertama, meningkatkan kualitas keilmuan santri. Di Negara ini, tidak berlebihan kiranya jika pesantren dianggap sebagai benteng utama ajaran Aswaja. Sebab, alumni pesantren lah yang secara aktif senantiasa berupaya melestarikan dan menyebarkan ajaran Aswaja di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah alumni pesantren yang menjadi kader-kader Aswaja. Karena itulah memperbaiki kualitas keilmuan santri sebelum mereka terjun ke masyarakat menjadi mutlak diperlukan. Para santri benar-benar disiapkan agar menjadi kader yang handal dan tangguh dalam menghadapi pertarungan pemikiran yang berkembang di abad ini. Mereka harus benar-benar menguasai hujjah amaliyyah dan aqidah Aswaja sembari juga mempelajari pola pikir dan argumentasi kelompok lain seperti Wahabi, Syi’ah, HTI, Liberal, dan sebagainya.
Kedua, membangkitkan semangat tulis menulis di dunia pesantren. Dulu, Imam al-Asy’ari berhasil mematahkan argumentasi aliran-aliran yang menyimpang tidak hanya melalui dialog ilmiah atau debat, melainkan juga dengan menulis beberapa ‘karya ilmiah’ seperti al-Ibanah, Maqalat al-Islamiyyin, dan sebagainya. Di Indonesia, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari juga memiliki karya yang berisi ajaran aqidah Aswaja, seperti Risalat Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dewasa ini, baik kelompok yang liberal maupun radikal sama-sama menggunakan media untuk menyebarluaskan ideologi mereka, mulai dari penerbitan buku-buku, majalah, bulletin, bahkan opini mereka pun banyak juga yang digulirkan di website, blog dan media sosial lainnya. Tentu saja, menjadi suatu keharusan bagi seorang santri sebagai kader Aswaja untuk meningkatkan kemampuan dalam bidang tulis menulis agar bisa mengimbangi sekaligus mengcounter ideologi yang menyimpang. Dalam hal ini, apa yang sudah dilakukan oleh pesantren Sidogiri yang sangat aktif menerbitkan karya ilmiah berupa buku-buku maupun majalah/bulletin untuk mengcounter pemikiran Wahabi, Syi’ah, HTI, Liberal dan sebagainya, patut dijadikan teladan bagi pesantren-pesantren lainnya.
Walhasil, kualitas keilmuan yang mumpuni dan kemampuan menulis yang baik ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Wawasan yang luas saja tidak cukup jika tidak dibekali dengan kemampuan tulis menulis yang baik. Karena itu dua hal ini harus disiapkan dengan matang agar para santri bisa menghadapi berbagai macam tantangan yang dihadapi umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di abad ini. Wallahu a’lam.
*Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin, Adab & Humaniora IAIN Jember/Wakil Sekretaris Aswaja Center PCNU Jember