Beliaupun Berceletuk “JELEK”
Oleh: Nur Asiyah Hasanah XI IPA MA*
Atap coklat yang tercetak dari tanah bumi terjemur di atas gedung kokoh dengan bau cat menyengat yang menjadikannya kulitan batu bata nan rapi, persis dengan jajaran pribumi yang siap berperang. Hijau artinya jalan. Warna itu menjadi teman seperjuangan si putih yang terjun bebas di atas frame-frame jendela dan pintu kayu. Bentangan sawah pasrah di tanami padi yang mulai menguning siap panen menambahi suhu minus di daerah pinggiran kota sedikit pelosok itu. Tusukan-tusukan tak terlihat dan hanya bisa di rasakan itu, dapat membuat badan gagah mengigil. tertambahkan keindahan pegunungan yang mengitari. Matanya terpejam, lontaran kalimat syukur membuat dua bola mata mengeluarkan kristalnya.
(Baca juga: Jeritan Bangsaku)
Jarum jam tak ada bosannya untuk memutari peraduannya. Cahayanya yang dapat menyinari isi bumi, mulai terlihat dari lubang es seharga seribu rupiah. Kitab Allah yang sangat populer dan terbaik itu mulai tercover dengan kaligrafi yang bertuliskanالقران الكريم . Keistiqamahan pembacaan surah Yasin, Al-Waqiah, Ar-Rahman, dan Al-Mulk seusai menunaikan ibadah shalat shubuh setiap paginya, mulai terasa begitu cepat.
Tangan mereka bergeser, tuk mencari sebuah kitab berkertas kuning. Al Imam Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi adalah pengarang dari kitab bertema Fiqh itu, yang permasalahnnya dapat mereka temui setiap harinya . Luncuran tinta hitam terukir menjadi sebuah tulisan arab beralas papan putih. Ma’naan pegon tergantung rapi dengan coretan yang hanya dapat di baca dengan kepala dimiring, karna jarak antar baris yang begitu sempit.
- Ya, mereka adalah seseorang yang senang berpakaian rapi, mulai kopyah sederhana, baju koko sederhana, sarung sederhana, hingga beralas kaki yang sederhana pula.Kehidupan sederhana mereka temukan di dalamnya. Sekarang dia mulai menjabat sebagai seorang “SANTRI”. Seorang santri dari pesantren dengan aliran NU.
Beberapa sepatu hitam dengan tali yang menjadikannya tampak begitu nyata. Bala tentara beseragam putih abu-abu pun bergegas menghentakkan dan menggertak lawan. Lengkap dengan senjata yang tergantung rapi di balik badan sambil membawa wajah-wajah yang penuh dengan semangat. Satu kebiasaan mereka sebelum berangkat sebelum menuju tempat pertempuran, yakni dengan membaca mantra andalan. Sebelum kaki kanan mendahului kaki kiri dan mendarat di tanah seberang.
Pasang surut permasalahan mereka jumpai di sini, dari masalah sekecil tungau hingga masalah yang harus di selasaikan dengan kepala dingin, karna di beri pinjam oleh beruang kutub yang sedang berhibernasi.
# # #
Suatu hari mereka berjalan santai dengan langkah yang tak terlalu lebar. Mereka menuju masjid yang tak jauh dari sekolah, tepat di barat jalan raya. Setelah satu hari penuh itu menerima pelajaran dengan tegang di kelas, kepala mengepul karna angka yang semakin beterbangan, tulisan terbolak
balik karna para ilmuan yang semakin tak memiliki rambut hitamnya. Maka dari itu, mereka putuskan untuk beristirahat di dalam masjid sambil menunggu shalat dhuhur yang tinggal beberapa menit lagi. Di pinggiran masjid putih, ada beberapa ruang berukuran kurang lebih 3×3 meter, tampak begitu sepi. Hanya deretan bekas ban sepeda motor yang tersisa. “Mungkin mereka masih kuliah,” ujar salah seorang santri berkopyah hitam motif, sedikit menengok ke luar masjid.
“Sudahlah, jangan menunggu kakak-kakak itu pulang dari kuliah, mungkin jadwal mereka sedikit padat,” sahut salah seorang temannya yang ternyata telah berada di belakangnya dan sedikit mambuatnya kaget. Memang kejadian ini sering berulang, terkadang mereka datang, dan terkadang meraka pula tak kunjung datang. Seperti biasa, dia paksakan menggeser kaki untuk mempersiapkan mikrofon hitam.
“Allahu akbar, alla…hu akbar.”
“Allahu akbar, alla…hu akbar.” Pandangan gelap dia kenakan, agar lebih menghayati puisi indah ini. Entah mengapa, fokusnya sedikit membuyar, dia mendengar suara ganggang pintu terbuka di sebelah kiri pengimaman, yang dapat berhubungan langsung dengan dhalem. Kawannya berdiri tegap, layaknya polisi bersarung.
“Sudah nak, sudah jangan di lanjutkan adzannya, suaranya jelek,” dengan kaget dia tundukkan kepala. Kyai. Sudah dia terka sebelumnya, suaranya akan mengganggu beberapa pasang telinga di sekitar masjid, termasuk sang Kyai. Dawuh Sang Guru cukup menusuk relung hatinya, tapi….,
“Mufid nanti malam kamu datang ke rumah saya setelah shalat maghrib,” tambah pesan sang Kyai diakhir kalimatnya. Mufid Sya’roni lengkapnya, dia seorang santri kelahiran Lumajang. Ia salah seorang pelajar dari puhan bahkan ribuan dari pelajar yang cukup tampan di pesantren itu. Lalu dia Sedikit menelan ludah, mungkin karna suaranya yang serak serak becek. Dia anggukkan kepala, karna tak baik jika seorang santri menatap sang guru dengan tatapan lurus. Setelah bayangan Sang Kyai menghilang di balik pintu, tubuhnya melemas kemudian dia ambil nafas panjang. Beberapa bayangan menakutkan terlintas di benaknya, “Kyai akan memarahinya, atau akan menghukumnya, atau malah lebih dari itu semua.” Pikiran menumpuk hati pun tak tenang hingga malam datang membawa kegelisahan dan ketakutan.
“Assalamu’alaikum.” Dia condongkan sedikit kepala kearah pintu dhalem.
“ Siapa?” Sang Guru bertanya pada asal suara itu.
“ Mufid, Kyai,” singkatnya
“Oh Mufid, masuk nak.” Nak, sapaan hangat untuk santri di itu. Setiap santri pasti mendapatkan julukan ini. Dia gunakan ke dua lutut nya untuk berjalan ke dalam ruangan yang cukup tentram. Seretan demi seretan jarak dia lalui, yang akhirnya ke dua kakinya terparkir rapat tepat di depan Kyai dengan jarak kurang lebih satu setengah meter. Beberapa tumpukan kitab gundulan yang berjilid tak jauh dari kaki beliau yang di silangkan.
“Kemari, coba tulis ulang halaman ke tiga di kitab ini,” dia lebih dekatkan diri dan condong ke depan, tuk mengambil kitab fiqh setebal 3 cm itu dengan ke dua tangannya yang bertumpuk. Dia ambil pulpen faster berwarna hitam di saku kirinya. Sepertinya, dia sengaja untuk selalu membawa pen ketika keluar kamarnya yang di kaitkan pada kertas kecil berwarna putih bersih, karna takut ada hal penting yang membutuhkan pen pada saat itu juga. Dan ternyata, terpakai juga.
Tangannya mengayun bebas meniru dari tulisan anak dari kaligrafi itu. Dia usap peluh yang tak jadi untuk keluar. Dia tak begitu terburu untuk melakukannya, karna Kyai sedang berada di ruang sebelah, karna ada beberapa tamu yang harus beliau temui. Panjang jarum jam menunjukkan pukul delapan lebih lima menit tapi, Kyai belum usai juga berbincang dengan sang tamu. Matanya mulai memahit serasa setan telah menduduki kelopak mata sejak sedari tadi. Kepalanya semakin terasa berat seperti membawa dua bola bolling di pundak dan memutuskan untuk memangku kepalanya dengan ke dua tangan terbuka dan kaki bersila. Sempat beberapa kali kepalanya terjatuh kemudian membenarkan posisinya, jatuh lagi di benarkan lagi, jatuh lagi di benarkan lagi, hingga Kyai merasa kasihan melihat santrinya yang sangat mengantuk itu.
Para tamu memang sudah pulang beberapa menit yang lalu, namun sepetinya, Kyai tidak tega melihat santrinya yang sepertinya kecapean itu. Lalu Kyai memutuskan untuk melihat hasil dari tulisan Mufid.
“Tulisanmu cukup bagus nak,” Kyai memuji tulisan mufid dengan suara yang sangat pelan, mungkin agar mufid tidak terbangun kaget. Namun sayang, mufid tetap terbangun juga. Mufid merasa sangat bersalah, malihat kelakuannya yang tidak sopan. Ia membenarkan posisi duduknya.
“Ma.a..af Kyai, saya sudah lancang tidur disini, tapi sungguh Kyai saya tidak berniat untuk tidur saat menunggu Kyai,” Mufid terbata bata saat meminta maaf kepada Sang Kyai sambil menunduk dengan nadanya sang semakin lancar.
“Tidak apa mufid, saya memang sengaja tidak membangunkan mu karna saya masih melihat hasil tulisanmu yang cukup mapan ini,” sanjung Sang Kyai, hingga membuat kedua telinga Mufid menjadi beterbangan. Detak jantung Mufid semakin tak karuan karna baru kali ini ada orang besar yang mengakui bahwa tulisannya cukup bagus.
Darah yang mengalir dari pompaan semakin mengalir cepat dikala Kyai menyuruhnya untuk berguru kepada Ustad Abdullah Shaleh di seberang sawah dan di balik bukit, tepat di belakang pesanternnya itu.
Semua keberhasilan pasti membutuhkan pejuangan yang panjang. Tak puas rasanya jika hanya satu atau dua cobaan yang datang kepada seorang calon “Pemimpin”. Setiap pukul 3 sore, Mufid pergi ke rumah Ustad Abdullah Shaleh untuk memperdalam keterampilannya. Bulan berganti bulan dan tahun mulai berganti tahun. Dan selama itulah Mufid belajar kaligrafi, melintasi sawah-sawah dan harus melangkahi bukit kecil. Perjuangan mufid ternyata tidak sia-sia, tulisannya semakin bagus nan rapi.
# # #
“Maaf sebelumnya Kyai, saya mau minta izin mengikuti lomba kaligrafi.” Tundukan Mufid semakin menunduk dengan permintaan izin yang ia lontarkan. Dia ingin sekali mengikuti lomba tersebut karna fikir Mufid, dirinya telah cukup mampu mengikuti perlombaan kaligrafi dengan ilmunya yang telah ia pelajari selami 7 tahun.
“Apa ilmu mu sudah cukup Mufid?, sebaiknya jangan mengikuti perlombaan itu dulu karna, ilmu mu belum cukup.” Berharap untuk di izinkan mengikuti perlombaan oleh Kyai karna niat yang sangat menggebu gebu. Namun nihil, Kyai tidak mengijinkan karna alasan ilmunya yang masih terlalu sedikit. Hati Mufid tidak langsung menciut karna ucapan Kyainya, dia memilih untuk mendaftarkan diri secara diam-diam. Dia ikuti ajang perlombaan yang ia inginkan. Dan dengan penuh syukur kini, tangan Mufid menggenggam secarik kertas tebal bertulis setifikat dengan namanya dan di damping tulisan “JUARA 1 KALIGRAFI”.
MAN JADDA WA JADDA. Dia baru menyadari, perinsipnya yang sanagat ampuh membuatnya merasakan kebahagiaan yang sangat terasa. Semangatnya tak selesai sampai di situ saja, dia tak cukup puas dengan satu lembar kertas penghargaan yang ia juangkan sendiri. Ia terus mengikuti perlombaan-perlombaan tingkat demi tingkat hingga ia dapat mencicipi sebagai “JUARA 1 KALIGRAFI TINGKAT NASIONAL”.“ Keberhasilan ini adalah buah dari kelelahan ku selama berjalan untuk belajar kepada guruku dulu dan barokah ilmu”. Bisikan kecil sembari mengingat kerja kerasnya dulu.
# # #
“ Jadi kalian harus memiliki mimpi yang besar dan tekat yang besar pula, agar kelak kalian dapat mendapatkan kebahagiaan yang pernah saya rasakan. Jangan takut untuk mencoba.” Tutur salah seorang guru yang sepertinya beumur 49 tahun, bersarung dengan motif kotak-kotak layaknya Presiden Jokowi. Mufid sya’roni. Ia telah menjadi orang besar, walaupun begitu ia masih belajar tentang kaligrafi. Yang sungguh luar biasanya ia mendapatkan kontrak kerja dengan salah satu syekh di Mesir.