Piala Untuk Ayah dan ibu
Oleh : Hanifah Rizki Mubarokah*
Sinar matahari menyapa ramah, disertai dengan semilir angin pagi yang sejuk. Benar-benar pagi yang indah, seindah suasana hati yang hadir di acara lepas pisah kelas 3 SMP di SMP Negeri ternama itu. Tampak para ibu dan bapak wali murid mulai berdatangan. Siswa-siswi pun sudah duduk berjajar rapi di barisan belakang, sesekali mereka bercengkrama satu sama lain.
(Baca juga: Wali Kau Pergi)
Hanifah menatap panggung besar dan megah yang ada di hadapannya . “hmm, alangkah meriahnya acara perpisahan kelas 3 tahun ini. Mungkin karena acara ini juga sekaligus untuk merayakan keberhasilan sekolahku sebagai juara umum Olimpiade sain Nasional “ gumam Hanifah dalam hati. Lalu matanya beralih menatap piala-piala yang tertata rapi di sudut panggung sebelah kanan. Diamatinya piala yang paling besar. Itu adalah piala untuk juara Olimpiade Matematika. Dan di sebelahnya adalah piala untuk juara 2 fisika. Di sebelahnya lagi adalah piala untuk juara 3 Biologi.
Masih ada 4 piala lagi yang ukurannya agak kecil. “ Ah, itu pasti untuk peraih nilai tertinggi Ujian Nasional tahun ini “ pikirnya. Tatapannya berakih ke belakang. Dicarinya wajah teman- temannya yang akan mendapatkan piala itu. Tampak wajah si Nesti yang selalau tersenyum. Nesti adalah adik kelasnya, siswa kelas VIII yang akan mendapat juara 1 Olimpiade Matematika. Lalu wajah Budi yang tirus tapi jago Fisika itu. Dan Mita teman sekelasnya yang juara Biologi. “ Alangkah bahagianya kamu semua para juara. Sebentar lagi nama kamu akan dipanggil dan kamu akan naik ke atas panggung menerima piala itu. Orang tuamu yang menyaksikannya pasti bangga padamu, “ hanifah bergumam dalam hati.
“ Hanifah, ayo duduk di sini !” teriak salah seorang temannya. Dicarinya arah suara itu. Ternyata Nila, teman sebangkunya, yang memenggilnya. Tampak Nila berkali-kali melambaikan tangan mengajak Hanifah untuk duduk di sampingnya. Hanifah mencoba beringsut menggeserkan tempat duduknya untuk mendekati tempat Nila duduk. Tapi kemudian ia mengagalkan usahanya itu setelah dia ingat sesuatu.”Untuk apa sekarang aku beringsut ke tempat duduk Nila. Toh, sebentar lagi Nila akan dipanggil ke panggung untuk mendapatkan piala juara 1 UN. Begitu pula Romi, Welly dan Sita yang duduk di sekitar Nila saat itu. Mereka adalah langgan juara kelas dan dapat dipastikan mereka adalah juara-juara nilai UN tertinggi tahun ini”
Hanifah menunduk. Dipandanginya kedua ujung sepatunya. Entah kenapa dia merasa hatinya begitu kacau. Dia bersahabat dengan Nila, Welly, Romy dan Sita, siswa-siswa berprestasi di sekolahnya. Tapi mengapa di tidak mampu berprestasi sepeti teman-temannya itu. dia sudah mencoba belajar dengan keras, bahkan ikut les privat di rumahnya, tapi dia tetap tak mampu menandingi keenceran otak teman-temannya itu.
“Hari, si Dewi, anak teman Ayah, juara lomba KIR Nasional tahun ini. Bapak si Dewi barusan ketemu Ayah. Dia bercerita tentang prestasi anaknya. Hampir kepada semua orang yang ditemuinya, dia ceritakan itu,” kata Ayah Hanifah berapi-api.
“Iya, Ayah. Si Dewi itu teman satu kelas di IX A, Yah. Waktu upacara bendera hari Senin kemarin, dia dipannggil ke depan untuk menerima piala itu,” jawab Hanifah.
“Kebahagiaan orang tua adalah ketika melihat anaknya berprestasi. Rasanya penat dan lelah dalam membiayai sekolah akan sirna begitu menyaksikan anaknya berhasil dalam pendidikannya.” Imbuh Ayahnya.
Hati Hanifah begitu tersentuh mendengar kata-kata Ayahnya. “Betapa aku juga ingin berprestasi Ayah. Betapa aku juga ingin Ayah dan Ibu bahagia melihat aku berhasil. Tapi aku sudah berusaha mencapai semua itu walau aku tak mampu menandingi teman-temanku yang jenius itu,” bisik Hanifah lirih
Lamunan Hanifah beralih ke wajah ibunya. Wajah yang selalu memberi semangat dalm hidupnya. Beliaulah yang selalu memompakan semangat belajar, mengingatkan agar shalat tepat waktu, berangkat sekolah lebih awal, menyiapkan sarapan pagi sampai mengingatkan supaya dia berpakaian bersih dan rapi.
Masih teringat ketika ibunya menegur karena dia teledor tidak mengikat rambut panjangnnya sehingga sebagian menjulur ke luar di balik kerudungnya itu.
“Kalau kamu sudah mantap berjilbab, kamu harus konsisten menutup auratmu dengan benar,” kata Ibunya.
Ibunya pula yang sering mengucek kerudungnya yang terkena saos cilok di sekolah, padahal kerudung tersebut masih terpakai lagi besok pagi.
“Allah itu bersih dan indah dan menyukai kebersihan dan keindahan,” kata ibunya mengingatkan.
Tidak hanya itu, ibunya bahkan pernah marah besar ketika Hanifah mengabaikan salah satu kancing seragamnya yang terlepas dan dia hanya menyembunyikan bajunya yang sedikit terbuka di balik kerudungnya.
”Kita memang bukan dari keluarga yang berlimpah harta. Tapi itu bukan berarti kita bisa berpakaian sekenanya. Orang tidak hannya dihargai karena hartanya, keilmuannya, tapi juga cara berpakaiannya, tutur katanya dan sikapnya”. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinganya.
Hanifah selalu menuruti apa kata ibunya. Walaupun kadang dia merasa terkekang karena cara berpakaian itu. dia pun berusaha selalu menjaga semua tutur kata dan sikapnya sepeti apa yang dipesankan ibunya kepadanya.
“Han, melamun saja kamu. Juara Olimpiade sudah selesai berfoto bersama di panggung. Tuh, teman-teman kita yang mendapat nilai UN tertinggi sudah dipanggil ke panggung. Ketiga-tiganya dari kelas kita lho,” suara teman yang duduk di sebelahnya membuyarkan lamunannya.
Hanifah mengalihkan pandangan ke panggung. Tampak Nila, Romi, dan Sita sudah memegang pialanya diiringi tepuk tangan membahana dari seluruh hadiri yang hadir. Orang tua mereka juga diminta mendampingi untuk foto bersama.
Tinggal satu lagi piala yang belum diberikan. “Mungkin itu untuk juara harapan 1 UN tertinggi,” pikir Hanifah.
“Bapak dan Ibu serta para tamu undangan yang hadir pada acara lepas pisah siswa kelas 3. Sebagai lembaga pendidikan yang ikut serta dalam mewujudkan tujuan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kami tidak hanya memprioritaskan dalam prestasi akademik saja, tetapi kami juga menyeimbangkan dengan pendidikan karakter. Siswa-siswi kami juga kami didik untuk memiliki budu pekerti yang luhur, bertanggung jawab, disiplin, bersih dan rapi. Oleh karena itu kami juga mengamati dan menilai selama 3 tahun ini siswa yang berprstasi dalam kriteria tersebut,” terdengar suara Waka Kesiswaan, Bapak Heru Permadi.
“Pantas piala kejuaraan masih tersisa satu, ternyata masih ada pemenang untuk prestasi lainnya,” bisik Putri, temannya yang duduk persis di belakangnya
Belum lagi Hanifah menjawab ucapan putri, tiba-tiba dia dikagetkan oleh suara dari panggung “Dan, inilah pemenangnya…………. Hanifah Rizki Mubarokah dari kelas IX A dengan prestasi……. Berbudi pekerti luhur, disiplin, brsih dan rapi”.
Hanifah terpana, bibirnya kelu. Tak sepatah katapun dapat diucapkannya. Benarkah namanya yang disebut? Ya, memang benar namanya. Bukankah hanya dia yang bernama Hanifah Rizki Mubarokah di sekolah itu? tak dihiraukannya jabat tangan teman-teman yang ingin menyalaminya. Dia masih ragu. Namun ketika tatapan mata Pak Heru menuju ke tempat duduknya dan beliau menyuruhnya ke atas panggung, dia baru tersadar bahwa bahwa dialah juaranya.
Ketika merima piala itu dia begitu gemetar. Ada rasa haru yang begitu menusuk-nusuk hatinya. Seraut wajah tulus ibunya muncul di benaknya. “Ibu, apa yang kau katakana memang benar adanya ,” bisiknya dalam hati. Tak terasa air mata mulai mengalir dari sudut-sudut matanya sehingga membuat pandangannya sedikit kabur. Namun dia masih melihat jelas wajah ayahnya yang duduk di barisan ketiga tersenyum bahagia sambil mengangkat dua ibu jarinya . “Akhirnya aku juga bisa membuat kau bangga Ayah. Piala ini memang bukan hanya untukku, tapi untuk Ayah dan Ibu. Merekalah yang membuat aku bisa meraih semua ini,” tangis Hanifah bahagia.