Hujjah Aswaja: Adzan Setelah Mayit Diletakkan di Kuburan

Kajian seputar akidah dan amaliyah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dibimbing langsung oleh KH Muhyiddin Abdusshomad, Rois Syuriah PCNU Jember.

Soal:

Adzan merupakan salah satu perbuatan yang dianjurkan oleh agama. Karena di dalam adzan ada manfaat yang sangat besar, serta terkandung syi’ar agama islam. Ketika akan melaksanakan shalat, adzan dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Dan salah satu kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah adzan setelah mayit diletakkan dalam kuburan. Bagaimanakah hukum adzan tersebut?

Baca juga: (Hujjah Aswaja: Mencium Tangan Ulama dan Guru)

Jawab:

Dalam hal ini pendapat ulama terbagi menjadi dua bagian. Ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang berpendapat tidak. Pendapat yang mengatakan bahwa adzan itu sunnah karena disamakan pada adzan dan iqamah ketika anak baru lahir ke dunia. Sedangkan pendapat yang mengatakan tidak sunnah, mendasarkan pada aturan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan itu dihukumi sunnah, harus ada dalil yang mensunnahkannya. Padahal adzan dan iqamah sewaktu meletakkan mayit di kuburan tidak ada dalilnya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin disebutkan:

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِسُنِّيَتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ.(إعا نة الطالبين ج ١ص ٢٣٠)

Ketahuilah, melakukan adzandi kuburan bukan perbuatan sunnah. Berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa perbuatan itu sunnah, karena keluarnya dari dunia diqiyaskan pada masuknya seseorang ke dunia (Ketika dilahirkan).”  (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 230)

Al-Imam Sayyid ‘Alawi al-Maliki mencoba menjadi penengah dari dua pendapat tersebut. Beliau mengatakan dalam kitab Majmu’ Fatawi wa Rasa’il-nya:

اَلنَّوْعُ الثَّالِثُ: فِعْلُهُ فِي القَبْرِ بَعْدَ وَضْعِ المَيَّتِ فِيْهِ. وَهَذَا لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِخُصُوْ صِهِ لَكِنْ قَالَ اْلأَصْبَحِيُّ: لَا أَعْلَمُ فِيْ ذَلِكَ خَبَرًا وَلَا أَثَرًا إِلَّا شَيْأً يُحْكَى عَنْ بَعْضِ     المُتَأَخِّرِيْنَ، قَاَل لَعَلَّهُ قِيْسَ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَلِإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ وَكَأَنًّهُ يَقُوْلُ: اَلْوِلَادَةُ أَوَّلُ اْلخُرُوْجِ إِلَى الدُّنْيَا وَهذَا آخِرُ اْلخُرُوْجِ مِنْهَا. وَفِيْهِ ضُعْفٌ فَإِنَّ هَذَا لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِتَوْ قِيْفٍ أَعْنِى تَخْصِيْصُ اْلأَ ذَانِ وَاْلإِقَامَةِ وَإِلَّا فَذِكْرُ اللهِ تَعَالَى مَحْبُوْبٌ عَلَى كُلِّ حَاٍل إِلَّافِى وَقْتِ قَضَا ءِ الحَاجَةِ. (مجموع فتاوي ورسا ئل ١١٣)

“ Bentuk adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan setelah meletakkan mayit dalam kuburan. Perbuatan ini tidak pernah ada dalil khusus yang datang dari Rasulullah  SAW. Tapi al-Ashabi berkata, “Dalam hal itu saya tidak menjumpai sebuah kabar atau atsar kecuali dalil yang diceritakan oleh sebagian mutaakhkhirin. (Mereka mengatakan) mungkin perbuatan tersebut diqiyaskan pada kesunnahan adzan dan iqamah di telinga anak yang baru lahir. Seakan-akan mereka ingin mengatakan, bahwa kelahiran merupakan amal masuk ke dalam dunia, sedangkan kematian merupakan akhir keluar dari dunia. Pendapat seperti ini termasuk dha’if (lemah) karena mengkhususkan adzan dan iqamah tersebut merupakan tawqifi (perbuatan yang langsung diatur oleh Allah SWT). Namun (ada satu yang perlu diperhatikan) bahwa dzikir pada Allah SWT merupakan perbuatan yang sangat disenangi, kapan dan dimanapun, kecuali ketika qadha’ al-hajah (buang hajat).” (Majmu’ fatawi wa rasa’il, 113)

Dengan perkataan ini, beliau sebenarnya ingin mengatakan bahwa adzan pada waktu mayit diletakkan di dalam kuburan tidak dilarang. Perbuatan tersebut disunnahkan, namun bukan karna diqiaskan pada adzan untuk anak yang baru lahir, tapi karna perbuatan itu merupakan dzikir kepada Allah SWT.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

Related Post