Dalam catatan sejarah alumni PP. Nurul Islam Jember tak pernah lupa dengan sosok alumni yang satu ini. Sosok pemuda yang masih tetap menjaga budaya santri sekalipun sudah bergelar alumni. Hal demikian sangat jarang kita temui di kalangan santri. Pada umumnya, santri yang sudah menyandang gelar alumni serta berorientasi dengan dunia luar, sangat sedikit yang masih kokoh menjaga budaya ala santri. Namun, sosok alumni yang satu ini benar-benar menjaga budaya kesantriannya. Di samping melekatnya budaya santri dalam jiwanya, ia juga sosok santri berpikir modern. Pola pikirnya luas, modern, kritis namun tetap pada garis prinsipnya.
Baca Juga: (Santri yang Sangat Menginspirasi! Cerdik Pula!)
Sosok alumni ini kita kenal dengan nama “Fajar”. Iya, Fajrul Falah, merupakan alumni PP. Nurul Islam Jember tahun 2014 yang berasal dari lembaga formal MA Unggulan Nuris Jember. Saat ini, santri asal Karang Anyar ini sedang menempuh pendidikan strata 1 nya di salah satu kampus bergengsi di Nusantara, yakni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Fakultas Syariah dan Hukum, program studi Perbandingan Madzhab.
Cerminan budaya santri dalam dirinya yang masih tetap ia jaga ialah amaliyah-amaliyah santri, seperti shalat berjamaah, mengaji, gemar bersarung (diluar waktu kuliah), dsb. Tak hanya amaliyah santri yang menjadi cerminan bahwa ia masih menjaga budaya santri, sifat-sifat layaknya santri pun tercermin dalam perangainya seperti sabar, serta tawadlu’.
Meskipun gus Fajrul -panggilan akrab- tetap menjaga budaya santri dalam dirinya, bukan berarti ia pemuda yang berpikiran kolot atau tradisional. Akan tetapi, ia memiliki pemikiran yang modern, luas, serta kritis. Ia membuktikan bahwa kaum santri bukan kaum yang gaptek, kolot, dsb. Akan tetapi, santri juga bisa berpikir kritis, dan modern. Sosok seperti ini yang digambarkan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad -Syaikhul Ma’had Nurul Islam Jember- dalam dawuhnya (red; Jawa) saat acara dengan wali santri di PP. Nurul Islam Jember, “Santri tidak hanya pandai bersarung, tapi juga bisa bercelana. Santri tidak hanya bisa bersandal, tapi juga bisa bersepatu…”. Yang dimaksud kyai adalah santri juga bisa modern, mengikuti perkembangan zaman, tetapi identitas santri akan terus melekat, oleh karenanya budaya santri harus terus tetap dijaga sekalipun sudah menyandang gelar “alumni”.
Dari cerita hidup yang dimiliki oleh gus Fajrul, bahwa hidup bukan tentang siapa kita, tapi bagaimana kita menjalaninya. Bagaimana kita bersikap kepada sesama dan memiliki jati diri itu adalah yang terpenting. Semoga sosok alumni ini bisa menginspirasi kita semua. Aamiin. [Ron/IMAN]