Ada kecenderungan dari sebagian kalangan untuk mencari solusi menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara nikah mut’ah. Pernikahan ini dilakukan karena dianggap sebagai salah satu model pernikahan yang disahkan dalam agama Islam.Bagaimana sesungguhnya?
Allah SWT menciptakan manusia dilengkapi nafsu seksual.Dengan adanya dorongan seksual tersebut kemudian manusia bisa memiliki keturunan untuk melangsungkan generasi manusia.Itu adalah fitrah yang dimiliki oleh manusia, bahkan oleh seluruh makhluk hidup.
Namun dorongan nafsu seksual itu tidak boleh disalurkan sebebas-bebasnya, karena akan banyak bahaya yang akan mengiringinya. Timbulnya berbagai macam penyakit kelamin, bahkan salah satu penyebab HIV karena penyaluran nafsu seksual yang tidak terkontrol. Selain itu, akan merugikan perempuan karena memang perempuanlah yang banyak menanggung akibatnya, terutama ketika terjadi kehamilan.
Akibat selanjutnya adalah hilangnya jalur nasab seseorang, padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setiap orang pasti menginginkan adanya kejelasan statusnya dalam masyarakat. Siapa bapaknya, ibunya, saudaranya, kakek, nenek atau seterusnya.
Begitu pula nafsu seksual tersebut tidak boleh dikekang atau dibunuh. Itu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang hidup berpasang-pasangan, dengan nafsu seksual sebagai salah satu hiasannya, dan juga dapat menyebabkan hilangnya keturunan manusia.
Sebagai jalan tengah maka islam membuat aturan pernikahan. Dengan menikah seseorang bisa menyalurkan kebutuhan seksualnya secara benar, bersih, dan bertanggung jawab. Pernikahan meniscayakan adanya hak dan kewajiban. Begitu pula anak yang dilahirkan memiliki status yang jelas dan mendapat kasih sayang yang penuh dari kedua orang tuanya.Di dalam Islam, tujuan pernikahan bukan hanya untuk menyalurkan hasrat seksual semata,lebih dari itu yakni untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga ketenangan akan terwujud. Firman Allah SWT
وَ مِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةًّ وَرَحْمَةًّ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(الروم,٢١)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS.Al-Rum,21)
Keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terwujud apabila suami dan istri tetap bersatu dalam suatu perkawinan. Tidak terpisah oleh ruang dan waktu dan juga tidak dihancurkan oleh badai perceraian.Begitu pula harus ada kerjasama dan saling pengertian dari kedua belah pihak untuk saling mengisi dan berbagi.
Dari sinilah kita bisa melihat nikah mut’ah yang diistilahkan oleh Al-Khumaini dengan nikah al-munqathi’ (terputus) :
النِّكَاحُ المُنْقَطِعُ يُقَالُ لَهُ الْمُتْعَةُ أيْضًا كَالدَّائِمِ أَنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى عَقْدٍ مُشْتَمِلٍ عَلَى إِيْجَابٍ وَ قَبُوْلٍ لَفْظَيْنِ إلى ان قال لاَ يُثْبِتُ بِهَذَا الْعَقْدِ تَوَارُثُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَ تَثْبُتُ الْعِدَّةِ (زبدة الاحكام ، ٢١٦ )
“Nikah munqoti’(terputus) disebut juga nikah mut’ah , hukumnya sama seperti nikah da’im (seterusnya tanpa batas waktu) yang membutuhkan akad ijab dan qobul yang diucapkan.” (Zubdah al-Ahkam,126)
Sudah tentu di dalamnya tidak terdapat tanggung jawab karena setelah sampai masa waktunya, pernikahan akan berakhir tanpa ada konsekuensi apapun bagi laki-laki, sementara perempuan harus menjalani Iddah. Tujuan pernikahan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah tidak akan terpenuhi, dan justru menyengsarakan kaum perempuan dan anak yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.
Dengan alasan inilah sangat wajar jika Islam melalui sabda Nabi Muhammad SAW melarang nikah Mut’ah dalam agama islam. Dalam sebuah Hadist:
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَ اَخِيْهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ ص م نَهَى عَنْ المُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ (صحيح البخاري ،٤٧٣٣)
“Dari Hasan bin Muhammad bin Ali RA dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya, Sesungguhnya ‘Ali bin Abi Thalib Ra berkata kepada Ibn “Abbas, bahwa Rasulullah SAW melarang nikah Mut’ah pada peperangan dan memakan daging keledai jinak pada peperangan Khaibar.”(Shahih al-Bukhari,3894)
Inilah hadist yang dijadikan dasar oleh ulama untuk melarang nikah mut’ah. Dari sisni pula dapat kita ketahui bahwa pelarangan nikah mut’ah bukan hanya dari hadist yang disampaikan sayyidina ‘Umar RA saja, tetapi juga dijelaskan oleh sayyidina Ali RA. DR. Musa al-Musawi mengatakan bahwa yang mengatakan pengharaman mut’ah selama masa pemerintahannya dan ia tidak memerintahkan diperbolehkannya Mut’ah. (Meluruskan penyimpangan Syi’ah (terj) hal 162-163)
Memang pada awal Islam, Nabi Muhammad SAW pernah memperbolehkan nikah mut’ah, namun kemudian kebolehan itu dinasakh hingga tetaplah keharaman itu sampai sekarang. Imam Nawawi menjelaskan:
قَالَ الْمَازَرِي ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ كَانَ جَائِزًا اَوَّلَ الإِسْلاَمِ ، ثُمَّ ثَبَتَ بِالأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ الْمَذْكُوْرَةِ هُنَا اَنَّهُ نُسِخَ . وَانْعَقَدَ اْلاِجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ . وَ لَمْ يُخَالِفْ فِيْهِ اِلاَّ طَائِفَة ٌ مِنَ اْلمُبْتَدِعَةُ وَ تَعَلَّقُوْا بِالأَحَادِيْثِ الوَارِدَة ِ فِيْ ذاَلِكَ . وَقَدْ ذَكَرْنَا اَنَّه ُمَنْسُوْخَةٌ فَلاَ دَلَالَةَ لَهُمْ فِيْهَا وَتَعَلَّقُوْا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: فَمَا اْستَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ . وَفِيْ قِرَاءَةِ اْبنِ مَسْعُوْدٍ (فَمَا اْستَمْتَعْتُم ْبِهِ مِنْهُنَّ اِلَى اَجَلٍ) وَ قِرَاَءةُ ابْنِ مَسْعُوْدٍ هَذِهِ شَاذَةٌ لَا يُحْتَجُّ بِهَا قُرْآنًا وَلاَخَبَرًا وَلَا يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا (شرح النووى على صحيح مسلم ج٩ص١٥٣ )
“Al-Mazari mengatakan bahwa , pada awal Islam nikah mut’ah memang diperbolehkan. Namun kemudian perkara itu dihapus dengan beberapa Hadist yang Shahih. Dan ulama telaj ijma’ atas keharamannya. Dan kami telah menjelaskan bahwa kebolehan itu telah dinasakh sehingga tidak ada alasan lagi untuk membolehkannya. Orang yang mmembolehkan itu menghubungkan pendapatnya denga firman Allah SWT”Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka , berikanlah kepada mereka maharnya (QS. Al-Nisa’ 24), dan dalam qiro’ah Ibn Mas’ud
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka sampai waktu tertentu”. Namun Qira’ah Ibn Mas’ud ini termasuk syadz, tidak bisa dijadikan pedoman, (yang menyamai) kedudukan al-Qur’an atau Hadist serta tidak boleh diamalkan.”(Syarh al-Nawawi Ala al-Muslim,juz IX hal 153)
Kesepakatan adanya keharaman nikah mut’ah ini ternyata tidak hanya bersumber dari kalangan sunni saja,sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Siapa saja yang mau menelusuri ajaran ahlul bait yang sejati, akan menemukan kesimpulan yang sama, bahwa nikah mut’ah itu memang haram. Justru sumber literatur syi’ah kita dapat membuktikan hal tersebut.
عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ آبَائِهِ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : قَالَ حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص م يَوْمَ خَبْيَرَ لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْأهْلِيَّةِ وَ نِكَاحَ اْلمُتْعَةِ (التذهيب للطوسي ، ج ٢ ص١٨٦ )
“Dari Zaid bin Ali dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata, “Rasulullah SAW telah mengharamkan pada hari peperangan khaibar daging keledai peliharaan dan nikah mut’ah.” (Al-Tadzhib, juz II, hal 186)
Bahkan Imam Ja’far al-Shadiq, salah seorang tokoh kalangan ahlul bait dengan tegas menyatakan bahwa nikah mut’ah tidak ada bedanya dengan zina. Ada banyak sumber yang akurat menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah:
قَالَ الْقَسْطَلَّانِيْ : وَ قَدْ وَقَعَ اْلِاجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا اِلاَّ الرَّوَافِضُ وَ قَدْ نَقَلَ الْبَيْهَقِي عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ هِيَ الزِّنَا بِعَيْنِهِ (نكاح المتعة في الاسلام حرام ٢٣ )
“Al-Qasthallani mengatakan, “Sungguh telah ada ijma’ tentang keharaman nikah Mut’ah kecuali golongan Rafidhah(Syi’ah). Dan Imam Baihaqi mengutip dari Ja’far al-Shadiq bahwa ia ditanya tentang nikah Mut’ah. Maka Imam Ja’far menjawab bahwa hakikatnya itu adalah perbuatan zina.”(Nikah al-Mut’ah fi al-Islam Haram,32)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سِنَانٍ قَالَ سَأَ لَتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ( جَعْفَرَ الصَّادِقَ ) عَنِ الْمُتْعَةِ . فَقَالَ لاَ تُدَنِّسْ نَفْسَكَ بِهَا(بحار الأنوار ،٣١٨ /١٠٠)
“Dari Abdullah bin Sinan ia berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah AS (Ja’far al-Shadiq) tentang Mut’ah. Beliau menjawab, “Janganlah engkau kotori dirimu dengan nikah mut’ah itu.” (Bihar al-Anwar, juz 100, hal 318)
عَنْ عَمَّارٍ قَالَ :قَالَ أَبُوْعَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لِيْ وَ لِسُلَيْمَانَ بْنِ خَالِدٍ : قَدْ حَرَّمَتْ عَلَيْكُمَا الْمُتْعَةَ(الفروغ من الكافي ،ج ٢ ص ٤٨ ،و سائل الشيعة ٤٥٠/١٤)
“Dari ‘Ammar ia berkata, Abu Abdillah AS berkata kepadaku dan Sulaiman bin Khalid, “Sungguh aku haramkan nikah mut’ah kepada kamu berdua”.(al-Furu’ min al-Kafi, juz II, hal 48, Wasa’il As-Syi’ah juz 14 hal 450)
عَنْ هِشَامٍ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ اَبِيْ عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لِيُقَالَ : مَا تَفْعَلُهَا عِنْدَنَا اِلاَّ الْفَوَجِرَ وَفِيْ رِوَايَةٍ هَذَا زِنًا وَمَا يَفْعَلُهَا اِلاَّ فَاجِرٌ (بحار الأنوار ،٢١٨ /١٠٠، دعائم الاسلام للنعمان ، ٢/٢٢٩)
“Dari Hisyam bin Hakam dari Abu Abdillah AS (Ja’far al-Shadiq), ia berkata, “Tidak akan melakukan pernikahan mut’ah dari golongan kita kecuali orang-orang kotor. Dan dalam sebuah riwayat, “Ini adalah perbuatan zina dan tidak akan melakukannya kecuali orang yang kotor.” (Bihar al-Anwar, juz 100 juz 218)
(Baca juga: Hujjah Aswaja: Membuat Kubah dan Meletakkan Kain di Batu Nisan)
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hadist yang disampaikan oleh sayyidina ‘Ali RA, dan didukung pula oleh pendapat ahlul bait yang lain, nikah mut’ah hukumnya haram, sama dengan zina karena sangat jauh dari tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Sumber: KH. Muhyiddin Abdushomad.2010.Fiqih Tradisionalis.Surabaya:Khalista