Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Soal:

Ada anggapan, bahwa dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar seseorang boleh melakukan kekerasan atas nama agama. Prinsip inilah yang menyebabkan Islam menjadi agama yang mengajarkan kekerasan. Benarkah begitu? Apakah amar ma’ruf nahi munkar itu sebenarnya?

Jawab:

Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang prinsip dalam agama Islam. Imam al-Ghazali menyatakan:

اِعْلَمْ اَنَّهَا مِنْ اُصُوْلِ الدِّيْنِ فَبِهِمَا يَحْصُلُ الْغَرْضُ مِنْ بِعْثَةِ الاَنْبِيَاءِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَا لَى : وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى الخَيْرِ وَيَأْ مُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ (مختصر احياء علوم الدين، ١١٨)

“Ketahuilah bahwa keduanya (amar ma’ruf nahi munkar) merupakan hal pokok dalam agama. Sebab keduanya merupakan tujuan utama diutusnya para nabi. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar ( QS. Ali Imran, 104).” (Mukhtashar Ihya ‘Ulum al-Din, 118)

Amar ma’ruf nahi munkar tidak dapat dilakukan serampangan. Agama memberikan rambu-rambu yang harus ditaati oleh seluruh umat Islam. Mislanya, ketika mengajak seseorang kepada jalan Allah SWT, agama menganjurkan agar dakwah tersebut dilakukan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan, tidak dengan cara yang menyinggung perasaan atau bahkan dengan jalan kekerasan. Allah SWT berfirman:

اُدْعُ اِلىَ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالحِكْمَةِ وَالمَوْعِظَةِ الحَسَنَةِ وَجاَدِلْهُمْ باِلَّتِي هِيَ اَحْسَن (النحل، ١٢٥)

Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang paling bagus.” (QS. Al-Nahl, 125)

Dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang dikutip oleh al-‘Iraqi ketika men-takhrij kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din pada Juz II hal 334:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ فَلْيَكُنْ اَمْرُهُ بِمَعْرُوْفٍ (رواه البيهقي)

Dari ‘Amr bin Syu’aib RA, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) maka hendaknya dilakukan dengan cara yang baik pula.” (HR. Al-Baihaqi)

Begitu pula ketika melihat kemungkaran, tidak dibenarkan serta merta melakukan kekerasan. Apalagi main hakim sendiri. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الاِيْمَانِ (صحيح البخاري، رقم ١١٠٩٠)

Dari Thariq bin Syihab ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, dan bila tidak mampu maka dengan hati. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (Shahih al-Bukhari, [11090])

Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan hadits ini:

فَالمُنْكِرُوْنَ ثَلَا ثَةُ اَقْسَامِ : قِسْمٌ يَكُوْنُ اِنْكَا رُهُمْ بِالْيَدِ وَهُمْ الأَئِمَّةِ وَالسَّلاَ طِيْنُ، وَالقِسْمُ الثَّانِي اِنْكَا رُهُمْ بِالِّسَانِ دُوْنَ اليَدِ ، وَهُمْ العُلَمَاءُ ، وَالقِسْمُ الثَّالِثُ اِنْكَا رُهُمْ بِالقَلْبِ ، وَهُمْ العَامَّةُ (الغنية لطالبي طريق الحق ،ج ١ ص٥١ )

“Orang-orang  yang mengingkari perbuatan (munkar) itu ada tiga tingkatan. Pertama, pengingkaran dengan tangan (kekuasaan), ini adalah tugas pemerintah. Kedua, ingkar dengan lisan (nasehat). Ini adalah tugas para ulama. Ketiga, ingkar dengan hati. Yang ini merupakan bagian orang mukmin secara keseluruhan.” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq, juz I, hal 51)

Penjelasan ini menunjukkan bahwa tiga macam cara pengingkaran itu ada bagiannya sendiri-sendiri. Pengingkaran dengan tangan merupakan wewenang pemerintah. Rakyat tidak berhak melakukannya. Yang dapat dilakukan oleh rakyat apabila melihat kemungkaran adalah dengan memberi peringatan, kalau mereka tergolong muballigh atau orang yang memiliki pengetahuan yang cukup. Sedangkan bila ia termasuk orang awam, maka bentuk pengingkarannya adalah dengan hati, yakni tidak senang, tidak setuju, tidak mendukung perbuatan tersebut, serta melaporkannya kepada yang berwajib.

Namun, meskipun pemerintah memiliki wewenang untuk menghilangkan kemungkaran dengan tangan, hendaknya pemerintah lebih mendahulukan pendekatan persuasif dalam menghadapi setiap pelanggaran. Tindakan represif dilakukan sebagai tindakan kedua setelah pendekatan persuasif tidak berhasil. Karena memang di tangan pemerintahlah amar ma’ruf nahi munkar mempunyai fungsi strategis. Seperti perkataan sayyidina Utsman RA:

اِنَّ اللَّهَ يَزَعُ بِالسُّلطَانِ مَالاَ يَزَعُ بِالقُرآنِ (الدعوة التامة و التذكرة العامة ، ١٠٦)

“Sesungguhnya Allah SWT mengendalikan manusia dengan kekuasaan atau pemerintah pada suatu perkara yang tidak dikendalikan dengan al-Qur’an .” (al-Da’wah al-Tammah wa al-Tadzkirah al-‘Ammah, 106)

Dan bila rakyat menyaksikan penyimpangan yang dilakukan pemerintah, ia tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang justru akan memperkeruh keadaan. Apalagi melakukan tindakan anarkis yang malah akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan ketika mendapati penyimpangan yang dilakukan pemerintah:

وَلاَ يَجُوْزٌ فِى حَقِّ السَّلَا طِيْنِ وَاْلأٌ مَرَاءِإِلَّا التَّعْرِ يْفُ وَالْوَعْظُ وَأَمَّا التَخْشِيْنُ وَالْمَنْعُ قَهْرًا فَذَلِكَ يُحَرِّكُ فِتْنَةً وَيُوْرِثُ أُمُوْرًا هِيَ أَفْحَشُ مِمَّا هُمْ مُلاَبِسُوْهُ. نَعَمْ إِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّ الْمُخَاشَنَةَ تُفِيْدُ وَلاَتُوْرِثُ أَمْرًا مَحْذُوْرًا فَلاَ بَأْسَ بِهِ  ( ختصر احياء علوم الدين،.١٢)                              

“(Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar) kepada pemerintah hanya diperkenankan memberitahukan dan memperingkatkan. Sedangkan mengeluarkan kata-kata kasar dan tindakan represif (tidak boleh dilakukan) sebab akan menimbulkan fitnah dan mendatangkan masalah yang lebih berat dari perbuatan mungkar itu sendiri. Hujatan dan tindakan represif itu dapat dibenarkan bila diyakini akan efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif yang lain .” (Mukhtashar Ihya’ ‘Ulum al-Din, 120)

Dan apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut dilakukan kepada seseorang, maka seharusnya dipilih cara yang tidak vulgar tetapi menyentuh. Bagaikan orang yang memancing, ikan didapat dan airnya tidak keruh. Sebagaimana kata Abu al-Darda’:

قَالَ اَبُوْالدَّرْدَاءِرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،مَنْ وَعَظَ اَخَاهُ بِالْعَلاَنِيَّةِ فَقَدْشَانَهُ وَمَنْ وَعَظَهُ سِرَّا فَقَدْزَانَهُ (الغنية لطالبي طريق الحق،ج١ص٥٢)

“Abu al-Darda’ RA berkata, “Barang siapa yang menegur saudaranya secara terbuka (di depan orang lain) maka sungguh ia telah membuka aib orang tersebut, dan siapa saja yang mengingatkan saudaranya secara tertutup (tidak di depan orang) maka sungguh ia telah menghargai saudaranya tersebut.” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq, juz I, hal 52)

Baca Juga : (Qadha’ Shalat untuk Orang yang Sudah Mati)

Penjelasan di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tidak dapat dilakukan secara sesuka hati. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan, di antaranya adalah adab dan tatakrama dalam melaksankan amar ma’ruf nahi munkar. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan beberapa syarat tersebut:

اَوَّلُهَااَنْ يَكُوْنَ عَالِمًابِمَايُؤْمَرُوَيَنْهَى،وَالثًّانِيَ اَنْ يَكُوْنَ قَصْدُهُ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى وَاِعْلاَءَ كَلِمَةِ اللَّهِ وَاَمْرِهِ دُوْنَ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ،الثَّالِثُ اَنْ يَكُوْنَ اَمْرُهُ بِاللَّيِّنِ وَالتَّوَدُّدِ لاَبِالْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ،الرَّابِعُ اَنْ يَكُوْنَ صَبُوْرًاحَلِيْمًاحَمُوْلاًمُتَوَاضِعًاقَوِيَّ الْقَلْبِ طَبِيْبًا يُدَاوِى مَرِيْضًاحَكِيْمًايُدَاوِيْ مَجْنُوْنًااِمَامًاهَادِيًا، الْخَامِسُ اَنْ يَكُوْنَ عَامِلاًبِمَايُؤْمَرُمُتَنَزِّهًا عَمَّايَنْهَى عَنْهُ (الغنية لطالبي طريق احق،ج١ص٥٢)

“Pertama, harus memahami persoalan yang akan diperintahkan atau dilarang. Kedua, niatnya murni karena Allah SWT, menegakkan agama dan perintah Allah SWT, tidak ada maksud riya atau ingin meraih popularitas. Ketiga, menggunakan cara yang halus dan lembut, bukan dengan kata-kata yang tidak sopan dan kasar. Keempat, harus sabar, lapang dada, tegar, tawaddhu’ dan gigih. Ibarat seorang dokter yang mengobati pasiennya, psikolog yang menyembuhkan orang yang sakit jiwa serta bagaikan seorang imam yang selalu memberikan bimbingan. Kelima, orang tersebut harus mengamalkan terhadap apa yang ia perintahkan dan menjauhi perbuatan yang dilarangnya.” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq, juz I, hal 51-52)

Dengan demikian jelaslah bahwa amar ma’ruf nahi munkar menempati posisi yang sangat penting dalam agama Islam. Namun dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan, sehingga tujuannya dapat tercapai dengan sempurna serta tidak menyebabkan citra buruk pada agama Islam.   

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

Related Post