Soal:
Pada saat menyebutkan nama Rasulullah SAW, kaum muslimin menambahkan dengan kata sayyidina. Bagaimana hukumnya melafalkan sayyidina, khususnya ketika membaca Tasyahhud dalam shalat? Sebab ada yang mengatakan hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Jawab:
Kata-kata sayyidina seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk perbuatan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
اْلأَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لِأَنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَبِ . (حاشية الباجورى ، ج ١ ص ١٥٦)
”Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena yang lebih utama (dengan mengucapkan sayyidina) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi SAW).” (Hasyiyah al-Bajuri, juz I, hal 156)
Pendapat ini didasarkan pada Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوْلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (صحيح مسلم ، قم ٤٢٢٣)
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabd, “Saya Gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang pertama yang bangkit dari kuburan, orang pertama yang memberikan syafa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim [4223])
(Baca juga: Hujjah Aswaja : Al-Barzanji Pengarang Sholawat Al-Barzanji)
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq:
وَلَيْسَتْ هَدِهِ السِّيَادَةُ خَاصَّةً بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ كَمَا فَهِمَهُ بَعْضُهُمْ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى بَعْضِ الرِّوَايَاتِ “أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ” بَلْ هُوَ سَيِّدُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ (منهج السلف فى فهم النصوص بين النظرية والتطبيق ، ١٦٩)
“Kata Sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang di pahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits “Saya adalah Sayyid-nya anak cucu Adam di hari akhirat”. Tapi Nabi SAW menjadi Sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi Muhammad SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW adalah sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
(Baca juga: Hujjah Aswaja : Shalat ‘Id di Lapangan atau di Masjid?)
Lalu, bagaimana dengan Hadits yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina dalam shalat?
لَا تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Janganlah kalian mengucapkan sayyidina kepadaku di dalam shalat.”
Ungkapan ini memang diiklaim oleh sebagian golongan termasuk Hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah. Akan tetapi ‘ungkapan’ ini masih diragukan kebenarannya. Sebab, secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ-يَسِيْدُ , tapi سَادَ-يَسُوْدُ. Sehingga tidak bisa dikatakan لاَتَسَيِّدُوْنِي . Oleh sebab itu, jika ungkapan itu disebut Hadits, maka tergolong Hadits Maudhu’. Yakni Hadits palsu, bukan sabda Nabi SAW. Karena, tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, Hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahhud di dalam shalat.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.