Bilal Jumat

Bilal Jumat

 ditulis oleh: KH. Muhyiddin Abdusshomad*

Soal

Sebelum khotib naik ke mimbar, ada seseorang bediri di depan jamaah. Kemudian dia membaca hadits yang memberitahukan bahwa jamaah Jumat diharap tenang dan khusu’ ketika khotbah dibacakan. Didengarkan dengan saksama, jangan bicara sedikit pun. Kalau dia berbicara, maka dia tidak mendapatkan pahala salat Jumat. Itulah yang dikenal dengan bilal Jumat atau muraqqi. Bagaimanakah hukumnya?

Jawab

Perbuatan itu tidak tergolong bid’ah, sebab hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub menyatakan:

“Menjadi seorang maraqqi atau bilal pada salat Jumat baru dilakukan pada pascaabad pertama Hijriyah. Namun, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menyuruh seseorang untuk meminta perhatian orang banyak untuk menyimak khotbah beliau di Mina ketika haji wada’. Inilah sebenarnya hakikat dari muraqqi itu. Sehingga pelaksanaanya, sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai bid’ah. Karena dalam penyebutan ayat (yang artinya) ”Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya membaca sholawat kepada Nabi” terdapat peringatan dan motivasi untuk selalu membaca sholawat kepada Nabi SAW pada hari yang agung ini.

(baca juga: Khusyu’ dalam Shalat)

Yang memang sangat dianjurkan memperbanyak sholawat. Dan dalam pembacaan Hadits riwayat Imam Muslim dan lainya setelah azan” dan apabila kamu berkata-kata kepada temanmu, padahal imam sedang membaca khotbah, maka sungguh sia-sia Jumatmu”. Hadits ini memberi peringatan kepada orang mukallaf untuk menjauhi perkataan yang haram ataupun perkataan yang makruh selama khotbah. Nabi SAW mengucapkan hadits ini pada saat beliau membaca khotbah di atas mimbar. Maka Hadits tersebut adalah Sahih. Al-Syabramallisi mengatakan, boleh jadi Nabi SAW mengeluarkan Hadits itu pada awal khotbah karena mengandung perintah untuk diam dan tenang menyimak khutbah.” (Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati Allam al-Ghuyub,179-180)

Dengan demikian tidak ada alasan untuk membid’ahkan perbuatan ini. Bialal Jumat itu tidak dilarang dalam agama, karena ada tujuan terpuji dibalik pelaksanaanya. Dan Rasulullah SAW juga pernah melaksanakanya.

*Syaikhul Ma’had Pesantren Nuris Jember. dinukil dari buku karya beliau berjudul Fiqh Tradisional, penerbit Khalista Surabaya.

Related Post