Oleh : Ayu Novita Sari
Matahari tumbang di kaki langit. Jingga sejauh mata memandang. Burung camar terbang melengking, diantara ribuan burung layang – layang yang terbang membentuk formasi di udara.
Malam kembali datang membungkus lautan. Di dunia ini semua orang sibuk berkata – kata tanpa peduli apakah orang lain yang mendengarnya. Kata – kata sampah dan tidak di butuhkan lagi. Kata – kata bisa diganti artinya sedangkan arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia.
Aku selalu merindu seseorang itu. Senyumannya yang teduh. Ayah ku kirimkan sepotong senja yang aku ambil ketika senja itu hampir tenggelam di kaki langit, matahari siap beristirahat.
Kesibukan sedang terjadi. Ayah akan ku ceritakan sepotong senja ini untuk mu. Suara angin melewati kisi – kisi, terdengar seperti nyanyian. Bercampur dengan derum. Senja itu, aku duduk di bibir pantai, meratapi dunia yang terdiri dari ruang dan waktu. Sedangkan mereka selalu bersekutu. Cahaya matahari lembut menyentuh ujung hidungku. Pasir masih hangat, sapuan cahaya kecoklatan, dan debur ombak yang yang tetap putih seperti kapas.
Langit masih saja tetap ungu. Aku tahu ketika aku membawa senja ini untuk ayah, ayah akan menyukainnya. Karena ini yang di inginkan ayah. Sepasang kursi malas di tepi pantai ini cukup untuk kita menceritakan bagaimana ruang dan waktu bisa bersekutu.
Ayah, waktu itu aku melihat di sekitar. Kesibukan sedang terjadi, orang berangsur pergi meninggalkan aku dan senja. Kemudian aku lihat senja dan cahaya bergetar. Sebelum senja itu pergi aku coba melawan waktu, pikiranku langsung melayang ke ayah mungkin senja ini lah yang bisa aku potong. Sebelum terlambat ku kerat senja lantas aku masukkkan kedalam kantong yang selalu terselempang di leherku.
Mungkin dengan cara seperti ini senja akan abadi bersama ayah, keindahannya tidak akan hilang. Kemudian aku bawa senja indah ini pulang dengan rasa penuh kegembiraan. Aku tahu ayah pasti sangat bangga denganku. Karena senja inilah yang selalu menjadi impian ayah ketika libur tahunan telah tiba. Kini senja ini akan menjadi abadi di tangan ayah.
Cukup jauh aku dari bibir pantai. Aku di kaget oleh banyaknya orang yang seperti semut, berlarian menuju pantai melihat senja yang telah berlubang akibat kupotong. Aku tidak takut jika mereka menangkapku, tapi pilihan yang tepat kali ini adalah lari dari tuduhan mereka. Sempat aku dengar ketika aku selangkah mengambil ancang – ancang untuk berlari. “ Itu dia orangnya, dia yang telah memotong dan membawa sepotong senja itu.” Kulihat orang – orang berbondong – bondong melangkah ke arahku. Melihat itu semua aku langsung lari menuju taxi pesananku dan menyuruh pak sopir untuk tancap gasnya. Ayah. Salahkah aku membawa senja ini, kenapa mereka seperti marah ketika aku membawa sepotong senja ini. Benar saja cahaya senja itu memang menembus segala cahaya. Cahayanya terlihat cemerlang ketika menembus celah kantong yang menyelempang dileherku.
Sirine mobil polisi mengiang dimana-mana. Cahaya kota yang gemilang berubah redup akibat kehilangan sepotong senjanya. Aku mendengar hingar bingar. Apakah mereka tidak bisa menunggu besok untuk mendapatkan senja kembali?. Apakah senja yang sedang dikantongku ini sangat berharga untuk mereka?. Aku dengar mereka pintar membuat barang tiruan, kalau memang benar begitu kenapa mereka tidak membuat tiruan senja saja lalu letakkan di kantong dan dijual di toko-toko.
Aku hanya mengambil sepotong senja untuk ayahku tidak ada yang salah menurutku. Sopir taxi yang ku tumpangi berhenti mendadak di jalan kota. Dia mengatakan dia takut menjadi tersangka pencurian senja. Aku memutuskan untuk turun dari taxi itu. modal tekat yang gantungkan pada hati membuatku cukup berani.
Berlari menuju gang kecil pilihanku yang pertama. Tak disangka tak diduga ternyata salah seorang polisi melihatku. Terjadilah berdebatan kaki yang lumayan melelahkan. Bukan hal yang mudah melawan lincahnya kaki polisi itu. Aksi kejar-kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk beluk kota bingar ini. Mereka hanya tahu kota pusat saja. Aku yakin seyakin-yakinnya mereka tidak akan pernah tahu gang-gang yang gelap. Lorong-lorong rahasia dan jalan yang tidak pernah tercatat dibuku alamat.
Merasa tidak nyaman mendengarkan makian mereka aku melejit ke gang kecil. Polisi bermotor itu tetap mengejarku. Dari kejauhan aku mendengar jalan kota hancur ledakan akibat tabrakan mengeluarkan api. Suara rem mobil, sepeda, dan angkutan umum saling bersahutan. Sepeda yang ditunggangi polisi itu kehabisan bahan bakarnya, polisi itu hanya bisa mereatapi nasibnya itu.
Ayah aku merasa cemas dengan semua ini. Tiba-tiba aku terpereset akibat tangga yang licin. Tangga itu membawaku ke gorong-gorong pembuangan sampah. Basah dan bacin. Tapi hal aneh yang tidak pernah aku temukan di bumi yang bingar seperti yang terjadi di atas sana. Seperti jalan rahasia aku coba menyusuri terdapat banyak orang pinggiran disana. Anak yang seumuran denganku sedang memainkan saksofon ditempat kering.
Duduk dengan rebananya. Tidur-tiduran setelah lelah mencari makan. Tikus seakan seperti anak – anak berlarian sesuka mereka. Aku tertarik pada cahaya di ujung gorong-gorong. Setelah sampai di ujung gorong-gorong. Betapa bodohnya aku tidak pernah menemukan tempat seindah ini. Terdapat hutan tropis lengkap dengan bunga langka. Lengkap dengan cahaya senja yang lembut, pohon yang menjulang tinggi tanpa ada cacat sedikitpun, dan kehijauan yang hutan ini suguhkan. Tidak kalah hutan ini mempunya laut samudra yang ombaknya berdesis tenang.
Sedangkan mereka sibuk dengan senja yang hanya hilang sepotong. Sedangkan di tempat ini tidak ada yang menikmati, alam yang perawan, burung yang terdengar ramah, dan angin lembut menyeka rambutku. Aku malu pada alam, mereka lebih tertib menjalankan kehidupannya.
Senja di kaki langit itu lebih bagus daripada senja yang berada di kantongku.tapi ayah sepertinya hanya menginginkan senja di kantongku ini. Aku urungkan niatku untuk memotong senja yang terlalu indah ini. Aku mencoba untuk keluar melewati gorong-gorong tadi. Tidak terlalu buruk mereka seperti tidak menggubris kedatanganku. Kelelawar mencoba keluar mereka mengagetkanku dengan suara dan kepakannya. Aku rasa polisi berhelikopter tidak melayang di udara dengan google maps nya. Sirine yang membuat polusi pendengaran aku berharap hilang bahkan lenyap.
Mencoba mendaki tangga dengan baluran lumut hijau yang licin, berhasil membuatku lebih hati-hati. Bumi berhenti berputar pada porosnya di belakangku. Gerimis kembali membungkus jalan kota. Suara angin terdengar lincah. Lorong lengang, entah penghuni bumi mengungsi kemana. Peluit angin berhasil membuatku sadar, semua orang sudah tidak mengepungnya. Helikopter polisi sudah tidak melayang di udara.
Sirine mobil polisi sudah tidak mengiang lagi didalam gendang telingaku. Aku tersenyum simpul. Rasanya ingin terbang melengang ke tempat ayah. Langit bersih tanpa awan membuat pemandang kota yang hingar bingar. Menakjubkan.
Sepanjang jalan aku menyisir perjalanan. Dengan senja yang lengkap dengan samudra, ombak, burung camar yang ditemani burung layang, cahaya kecoklatan yang membaluti cahaya keunguan. Ayah pasti tidak tahu apa yang terjadi sekarang tetapi ayah selalu tahu apa yang akan terjadi kemudian.
Ku pasang senja dalam kotak yantg berbalut kertas kado. Kukirimkan senja ini lewat pak pos. Aku memang sengaja tidak memotong senja yang ada di gorong-gorong karena aku ingin ayah melihat senja yang pertama kali aku lihat. Sederhana tetapi penuh dengan kehangatan.
Aku ingin ayah menikmati senja yang sangat berbeda. Dalam waktu dan ruang yang berbeda. Walaupun aku tahu ruang dan waktu yang ayah nikmati selalu bersekutu.
Tetapi ayah tidak perlu khawatir dengan bumi yang kehilangan senja. Jika perlu mereka membuat sepotong senja buatan untuk menggantikan senja yang hilang. Atau kalau mereka memang genius mereka dapat menemukan senja yang lebih indah di bawah gorong – gorong dan mengkeratnya lalu memasangkan ke bolongan senja. Sehingga membuat gorong – gorong itu menjadi gelap.
Merekalah yang akan bertanggung jawab atas pertanyaan generasi selanjutnya kenapa gorong-gorong itu menjadi gelap. Tapi aku mencemaskan mereka akan bercerita ke anak cucu mereka bahwa ada seorang gadis kecil mencuri sepotong senja. Mereka akan membeci aku ayah.
Tetapi aku akan menjelaskan itu semua lewat alam yang akan hadir selanjutnya. Mereka pasti akan langsung mempercayai aku. Karena akan aku ajari mereka bagaimana caranya memotong senja untuk ayah tercintanya.
Ayah, seseorang akan mengirimkan senja terindahnya lewat pak pos. Aku yakin seyakin yakinnya ayah pasti senang mendapatkan kiriman ini. Lewat sepotong senja ini seseorang ingin membuat ayah bahagia. Tetapi hati- hati dengan laut dan ombaknya ayah. Apalagi dengan mataharinya, aku takut mataharinya tumpah dan membakar bumi.
Dengan ini aku kirimkan juga kerinduan pada ayah dengan ciuman, pelukan, kasih sayang, dan cahaya lembut senja yang ada di pelupuk mata.Kalian yang mempunyai mata bahkan alat pendengar . Lihat diujung sana dan dengarkan suaranya.
Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPS 1. Dia aktif sebagai anggota Msains sejarah dan juga ekstrakurikuler Pesantrennuris. net