Persoalan Talfiq

Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah menggabungkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi, Tnawir al-Qulub, hal. 397). Jelasnya Talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hokum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut.

(baca juga: Shalat Arba’in di Masjid Nabawi)

Pertama, seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian, dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapat Imam al-Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu, yang pada akhirnya kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.

Kedua, seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam al-Syafi’i. lalu, dia menyentuh anjing, karena mengikuti madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika, dia shalat maka kedua imam tersebut tentu sama-sama membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i , menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian pula dengan anjing menurut Imam al-Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab, kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan.

(baca juga: Budaya Bersedekah)

Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan mempermainkan hukum agama. Dari sinilah maka talfiq tidak ditujukan untuk melarang kebebasan bermadzhab ataupun untuk melestarikan fanatisme pada suatu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun, dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi, dan seterusnya.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2008. Hujjah NU. Surabaya: Khalista.

Related Post