Mengenal Ulama Produktif asal Nusantara, Syekh Abdurrauf Singkel
Penulis: M. Iqbal Fathoni*
Pesantren Nuris – Bagi teman-teman yang sudah ngepoin para pelantun sholawat tanah air pastilah kenal dengan salah satu sosok cantik jelita yang bernama Syarifah Mahfuza atau yang lebih sering dikenal dengan nama Puja Syarma. Videonya yang sempat viral adalah ketika ia menyanyikan lagu dari penyanyi ternama yaitu Maher Zain yang berjudul Assalmualaika.
Puja adalah gadis berdarah Aceh, lebih tepatnya Singkil. Singkil merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Selain Puja yang acapkali mengharumkan tanah kelahirannya, rupanya Singkil menyimpan sebuah sejarah yang agung. Singkil merupakan tempat lahirnya salah satu ulama tersohor yang turut memberikan andil besar dalam penyebaran Islam di bumi nusantara. Dia adalah Syeikh Abdul Ra’uf bin Ali Al-Jawi, atau yang lebih populer dengan nama Abdurrauf Singkel/al-Singkili. Ia adalah salah satu dari 4 ulama Aceh yang terkenal, tiga diantaranya adalah Hamzah Al-Fansuri, Syamsuddlin al-Sumatrani, dan Nuruddin al-Raniri.
Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel, Aceh pada tahun 1024 H/1615 M dan wafat di Kuala Aceh pada 1105 H/1693 M. Menurut pendapat masyarakat, konon keluarganya berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkel pada akhir abad ke-13. Saat kecil, ia mendapatkan pendidikan langsung dari orang tuanya. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di Timur Tengah yang meliputi daerah Dhuh (Doha) di wilayah Teluk Persia, Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekkah dan Madinah selama 19 tahun.
(baca juga: Masehi dalam Bingkai Sejarah)
Menurut catatan Al-Singkili dalam salah satu karyanya, ada sekitar 19 orang guru yang ia belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu ia juga memilki kedekatan dengan beberapa ulama yang sangat memungkinkan untuk diajak menjadi teman diskusinya. Diantaranya adalah Abdul Qodir Al-Mawrir saat ia di Qatar. Di sebuah kota bernama Bayt Al-Faqih di Yaman, ada Abdullah bin Ja’man dan Qadli Ishaq, keduanya merupakan ahli dalam bidang hadis dan fiqh. Di samping itu ia juga belajar pada salah satu Syeikh Tarekat Syatariyah yang nantinya memberikan ijazah padanya, ia adalah Syeikh al-Qusyasyi. Dilihat dari pendidikan, pengalaman, dan guru-gurunya, menggambarkan bahwa Syeikh Abdurrauf Al-Singkili merupakan seseorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu seperti fiqh, hadis dan juga tasawwuf.
Al-Singkili kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1083 H/1662 M, buah dari pembelajaran dan pendidikan yang ia peroleh dari Timur Tengah tidaklah sia-sia, ia menjadi salah satu ulama nusantara yang produktif dan kreatif di zamannya. Ada sekitar 21 karya yang telah ditulis semasa hidupnya. Kepiawaiannya dalam menyusun sebuah tulisan nampak pada karya-karyanya. Pada bagian muqoddimah ia selalu menjelaskan kandungan dari karya tersebut sebelum masuk pada isi/pembahasan.
Salah satu karyanya adalah kitab tafsir yang ia tulis menggunakan bahasa melayu dengan judul Turjuman al-Mustafid. Dalam karyanya ini, ia mencoba memadukan antara unsur Arab yang merupakan sumber datangnya agama Islam, dengan unsur kebudayaan daerah yang dalam hal ini diwakili oleh bahasa. Kitab ini merupakan salah satu sebuah karya nusantara terawal dalam bidang agama, bahkan merupakan karya tafsir terlengkap yang ada pertama di nusantara. Karya ini menjadi rujukan bukan saja oleh orang awam, melainkan juga dipelajari di beberapa pondok pesantren.
(baca juga: Keistimewaan Hari Jumat)
Tidak hanya itu, dalam bidang hadis ia juga menulis sebuah karya yang berjudul Mawa’idz al-Badi’ah, di dalamnya berisi hadis-hadis qudsi yang berjumlah sekitar 32 hadis. Karya ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang sejak pertama kali diterbitkan pada abad ke-17. Fakta tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut digemari oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat melayu. Dalam karyanya ini ia mencoba menyelipkan pembahasan tentang tauhid, akhlak, ibadah dan tentunya tasawwuf. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama karna Al-Singkili memang pakar dalam bidang taswuf, kedua sebagai jawaban terhadap masyarakat yang berada pada konflik yang berbau tasawuf (kontroversi wujudiyah). Selain itu ia juga menulis sebuah karya dalam bidang yang sama, yaitu Syarah Latif ‘ala Arba’in li Imam an-Nawawi. Karya ini merupakan penasfsiran atau penjelasan Al-Singkili mengenai empat puluh hadis karya al-Nawawi.
Yang menarik adalah, dengan dua karyanya dalam bidang hadis, yang ada pada abad ke-17, sosok Abdurrauf ditengarai sebagai tokoh yang memgawali lahirnya kajian hadis di nusantara. Al-Singkili juga memang menjadi salah satu ulama yang menekankan akan pentingnya hadis. Ini tidaklah mengherankan, sebab sebagian besar masa hidupnya ia habiskan di Haramain (Makkah dan Madinah), yang sejak tahun-tahun permulaan islam telah dikenal sebagai pusat utama hadis. Sebab Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hadis, hidup dan memulai ajaran Islam di dua kota tersebut. Wallahu A’lam…
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris lulusan tahun 2016, saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana di UIN Syahid, Jakarta.