oleh Achmad Syuja’i
Hiruk-pikuk menjadi suasana pembuka saat memasuki sebuah gang di sudut salah satu kota pendalungan itu. Keragaman bertambah ketika sayup-sayup terdengar tembang Jalir Janji. Seolah menjadi cerita harapan dari kedua mempelai yang telah berjuang untuk hari bahagianya, masyarakat setempat terbiasa memutar tembang-tembang sunda itu jauh dari tanah asalnya. Mendekati sumber keramaian itu, tampak dua buah nama yang disusun dari potongan styrofoam yang terbaca Brani dan Permata. Ya. Hari itu adalah pernikahan Brani dengan Permata.
Brani telah bekerja. Ia berpenghasilan cukup, bahkan lebih jika hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan Permata pun telah memasuki usia yang matang. Setahun-dua lagi ia justru akan jadi pergunjingan tetangganya dengan predikat tidak laku. Pernikahan mereka itu pun tak membebani mulut siapapun untuk membahasnya lebih lanjut di kemudian hari. Ya memang seharusnya mereka menikah.
Pernikahan yang dianggap oleh para tamu yang hadir itu sebagai sesuatu yang lumrah, berlangsung seperti pada umumnya acara resepsi pernikahan digelar. Tamu-tamu datang dari dua pintu masuk yang disediakan. Pintu masuk yang merangkap pintu keluar itu dipasangi janur kuning yang benar-benar melengkung tergerai. Para tamu pun disambut oleh beberapa kerabat dari kedua mempelai. Beberapa jenis hidangan, mulai dari seperti sate, tempura, ayam kecap, dan rawon—tentu saja, siap menyambut perut para tamu undangan.
“Permata memang sudah waktunya menikah. Saya lega dan saya kira ini waktu yang sangat-sangat tepat dan seharusnya,” kata seorang kerabat jauh Permata kepada sanak saudara lain dan beberapa tamu yang berdiri berkumpul di dekat meja prasmanan. “Saya sudah lama mendengar, si Brani itu memang mencari pekerjaan dan ingin segera menikah,” kata seorang tamu. “Iya. Selain itu, kalau tidak segera menikah, Permata akan kehilangan paras ayunya. Lihat saja badannya yang sudah bertambah lebar, kayak emak-emak,” salah satu tamu mencoba melawak disambut dengan gelak tawa yang lain.
Kata ‘seharusnya’ mendadak menjadi kata yang paling sering diucapkan. Kedua belah kerabat sama-sama menyatakan pernikahan ini adalah keharusan. Ada juga yang menyatakan bangga lega, dan ada juga yang menyatakan sudah memperkirakan bahwa keduanya akan segera menikah. Oh betapa simpulan yang benar-benar longgar dan melegakan.
Brani tak hanya sudah bekerja, namun ia juga telah membuktikan kepada kedua orang tua Permata bahwa ia benar-benar mencintai Permata. Saat melamar pertama kali, ia tegaskan kepada calon mertuanya, bahwa ia akan melakukan apa saja agar dapat menikah dengan Permata.
Kedua orang tua Permata awalnya menolak lamaran Brani. Mereka mengatakan, tak rela jika anak perempuan satu-satunya itu harus menjadi istri dari seorang laki-laki yang belum mapan pekerjaannya. Mereka tak mau menerima seorang menantu yang pekerjaannya seperti coba-coba saja.
“Kami tentu punya kriteria untuk seorang menantu. Kamu mungkin berpendidikan dan ingin sukses dengan usaha sendiri. Tidak seperti yang lain yang hanya mengandalkan orang tuanya. Tentu kami juga mendidik anak kami, Permata seperti itu juga. Tetapi kami juga harus melakukan apa yang seharusya orang tua lakukan,” kata ayah Permata. “Kami mau anak kami jelas makannya setiap hari. Setiap bulan dia pegang uang lebih untuk ditabungnya. Kami mau kamu bergaji pokok tiap bulan. Apalagi ini kan perkotaan. Kita harus menyesuaikan. Kami tak rela jika Permata kami harus hidup terkatung-katung bersama kamu,” tegas ayah Permata lagi.
Suasana pun bisu sesaat. Di balik daun pintu kamarnya, Permata menunggu perbincangan mengenai nasib dirinya dan kekasihnya itu dilanjutkan. Ada batu yang menyangkut di tenggorokannya. Brani yang saat kalimat-kalimat itu keluar dari mulut calon ayah mertuanya, hanya bisa menunduk. Ia yang sebelumnya yakin dan berani, berubah menjadi pesimis dan nyaris menangis. Tetapi, tiba-tiba ada sesuatu yang membuat semangatnya terbakar kembali. Ia pun bangkit dari duduknya.
“Saya akan buktikan bahwa saya pantas menjadi suami Permata,” Brani mencium tangan kedua orang tua Permata sebelum pergi.
Rupa-rupanya ada air mata yang mengiringi kepergian Brani. “Tidak apa-apa, Bu. Laki-laki seperti Brani harus diperlakukan begitu. Dengan begitu, ia akan berusaha keras untuk seorang yang dicintainya. Ia tidak akan malas-malasan lagi. Ia pasti akan segera mendapatkan pekerjaan yang tetap. Tidak menjadi seniman, penulis puisi, cerita, lagu, atau apalah itu,” sambut ayah Permata sambil memeluk istrinya yang sudah tak terbendung lagi terisak. Kemudian mereka mengintip dari lubang kunci pintu kamar Permata Merah. Terlihat Permata Merah sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang. Sadar jika Permata curiga terhadap bayangan di balik pintunya, mereka pun segera beranjak.
“Sudah. Yang penting kita telah melakukan yang seharusnya kita lakukan. Kita mau Permata hidup terjamin. Meskipun harus bekerja, paling tidak dia sudah terjamin oleh suaminya,” ayah Permata mencoba menenangkan istrinya. Mereka kemudian meninggalkan Permata dan kekasihnya itu melanjutkan drama perseteruannya.
***
Dua bulan kemudian, Brani kembali datang ke rumah Permata Merah. Kali ini dengan penampilan dan keyakinan yang berbeda dari sebelumnya. Memang terdengar kabar bahwa Brani telah resmi diterima di salah satu perusahaan pemecah batu di luar pulau. Berbekal kemampuan, kecerdasannya, dan tentu saja keberuntungan, karir Brani melesat pesat.
Kedatangannya saat itu sudah ditunggu-tunggu oleh kedua orang tua Permata Merah. Sudah lama sejak penolakan lamaran itu, Permata jarang mau diajak makan bersama. Permata sering mengurung diri dalam kamar, bahkan sesekali terdengar isak tangis dari dalam kamarnya. Ia lebih suka menginap di rumah temannya selepas bekerja. Hal itu tentu membuat kedua orang tua Permata menjadi gelisah resah.
Namun, Kedatangan Brani saat itu dinilai kedua orang tua Permata sangat tepat dan mampu menenangkan putri semata wayang mereka dari kesedihannya yang berlarut-larut itu. Kesedihan apalagi jika bukan cinta yang tidak direstui. Kedua orang tua Permata merasa lega meskipun sebenarnya juga merasa bersalah karena telah menolak Brani sebelumnya.
“Silahkan masuk, Nak Brani,” sambut ayah Permata.
Brani menanggapinya dengan ekspresi biasa-biasa saja. Ayah Permata pun sempat berprasangka bahwa Brani akan sedikit menyombongkan diri. Tiba-tiba Brani langsung membuka percakapan.
“Saya telah penuhi janji saya. Saya siap dan harus menikah dengan Permata,” ucap Brani dengan tegas.
Kedua orang tua Permata pun menyambut kalimat tegas itu dengan senyuman. Sambil menyodorkan segelas kopi hitam, ayah Permata menjawab, “Kami sebenarnya mengharapkan kedatangan Nak Brani. Kami khawatir dengan keadaan putri kami. Tentu kami akan menyetujui pernikahan kalian. Sya…,”.
“Saya ingin segera menikahi Permata,” Brani memotong. Kalimat itu spontan mengejutkan kedua orang tua Permata yang mengira mereka akan melangsungkan ikatan pertunangan dulu—tentu masa pertunangan itu, seperti seharusnya, dimanfaatkan untuk berkenalan dengan kerabat-kerabat jauh. “Kami tahu anak kami sudah memasuki usia menikah dan Nak Brani juga saya kira lebih muda dari Permata. Tapi jika itu memang keinginan kalian berdua, maka tak boleh lah menunda-nunda kebaikan,” ayah Permata menoleh dan tersenyum kepada istrinya yang telah berhasil menghirup napas lega.
Kemudian Permata dipanggil keluar dari dalam kamarnya. Dengan kantung mata yang agak lebam, segera dipeluknya Brani. Kedua orang tua Permata pun menyambut haru pertemuan sepasang kekasih itu.
“Saya menyesal jika mengetahui hal ini yang terjadi. Seharusnya saya menerima lamaran Nak Brani saat itu. Jadi Permata tidak perlu menderita seperti ini,” tiba-tiba ayah Permata tersedu-sedu. Melihat hal itu, Brani dan Permata tak berkata apapun, hanya menunduk.
***
Akhirnya, pernikahan pun digelar sebulan setelahnya. Meskipun Brani dan Permata menuntut agar pernikahan segera dilangsungkan secara agama saja, tapi ayah Permata menghendaki pernikahan itu harus dilangsungkan secara meriah, lengkap dengan ritual budayanya, seperti seharusnya pernikahan pada umumnya. Ayah Permata menjelaskan kepada putrinya itu dengan mengutip ceramah Kiai Imron Shidiq, bahwa pernikahan bukan hanya urusan dua insan yang saling mencintai. Tapi lebih dari itu adalah penyatuan keluarga, adat, dan semua unsur yang dibawa masing-masing mempelai akan disatukan dalam pernikahan. Tak bisa ditawar lagi. Pernikahan Brani dengan Permata tak boleh digelar diam-diam. Memang selama masa persiapan, beberapa kali Permata terlihat murung karena bertengkar dengan Brani. Namun, kedua orang tuanya tak begitu khawatir karena tak lama lagi mereka akan bersanding di hari bahagia.
Pada hari yang telah ditunggu-tunggu itu, tenda besar disewa untuk memayungi para tamu dari teriknya sinar matahari Agustus. Soundsystem terbaik di kota pun disiapkan untuk menyemarakkan sekaligus penyampai pesan dan penunjuk lokasi bagi para tamu. Para tamu mulai memasuki tenda. Sambil menikmati berbagai macam hidangan, mereka menunggu kedua mempelai yang paling berbahagia di hari itu naik ke pelaminan dan tentu saja mengucapkan selamat kepada keluarga mempelai.
Namun, acara resepsi pernikahan yang seharusnya diwarnai dengan senyum bahagia itu berubah menjadi aneh saat kedua mempelai keluar dari kamar rias dan naik ke pelaminan. Bagi tamu yang jeli, pasti akan melihat mata kedua mempelai yang merah. Sedangkan bagi tamu yang memiliki kepekaan, akan melihat kejanggalan karena orang tua Brani tak ikut naik ke pelaminan. Tak hanya itu, ibu Permata juga tak tampak. Padahal sebelumnya terlihat sibuk mondar-mandir.
Kedua mempelai hanya ditemani oleh ayah Permata yang jika diperhatikan secara jeli matanya juga memerah.
Lalu terlihat ayah Permata seolah berbicara sendiri di samping kedua mempelai yang tampak mulai lesu.
“Pernikahan ini seharusnya tidak terjadi. Pernikahan ini seharusnya tidak pernah ada. Bagaimana mungkin setelah dua bulan pernikahan ini, aku akan menggendong cucu,”.
Penulis adalah staf pengajar di SMK Nuris Jember.