Tikar Hitam

Oleh : Tasya D. Amalia

Muram kehilangan bintang. Bulan enggan menampakkan tubuhnya meski dibutuhkan. Hitam mencekam bersama rinai hujan yang mulai bertaburan, membasahi atap, halaman dan segerombol pepohonan. Membawaku ke alam berlainan, sebuah pelataran hening. Jam di pergelangan tangan menunjukkan waktu tengah malam. Namun, aku masih terjaga. Meringkuk, berusaha terlelap di ujung ruang. Menahan teriak hati yang tersekat di tenggerokan, berguling-guling tanpa kepastian. Alangkah berbunga dulu saat semua masih memupuk rasa sama. Lagi-lagi, hanya bisa menghela napas kecewa. Tulisan ceritaku hanya sebuah koma.

Titik kecil cahaya tersebar di tikar hitam angkasa. Mengajak bulan meronda malam ini. Kapas tipis kadang mengganggu. Melangkah dengan menegapkan dada untuk menutupi mereka. Sesekali berjaya. Namun, ia kalah oleh tembakan cahaya, sang ajudan bintang. Menembus badan awan hingga sampai ke bumi. Perih mataku, sinar itu menyilaukan.

(baca juga: Bianglala untuk Ibu)

Tak bisa berpejam mata walau sebentar meski kepala berputar. Hanya memutar kursor di layar komputer. Sedangkan, pohon mandi diguyur hujan. Bau tanah kering tadi pagi masih bergeliat di sekitar. Tanganku telah tak kuasa untuk menulis apa yang ada di kepala. Bergetar dan berkeringat. Hingga kursor yang kupegang terlepas. Aku hentikan kegiatan. Bergeming, banyak sekali kejadian di dunia ini. Semuanya terjadi karena kesalahan umat manusia. Benar adanya, terserah. Aku tak tertarik dengan itu semua. Misiku hanyalah menyelesaikan kasus tanah kuburan di kampungku. Informasi terbaru, terdapat orang yang telah dicurigai sebagai tersangka. Ialah satu-satunya penggali kubur di kampungku. Jika tidak salah ia juga teman masa silamku. Ini sangat bertentangan denganku. Zaman sekarang orang yang berjasa justru dianggap sebagai terdakwa. Tak sengaja kami bertukar pandang tadi pagi. Di pemakaman umum dekat bentangan sawah, ia sedang bersiap pulang dari menggali kubur. Entah siapa lagi yang meninggal, selalu kutemukan ia dengan wajah lusuh bermandikan tanah di sana. Sedikit jangkung, dengan tubuh tegap menawan. Tak heran gadis-gadis sebayaku banyak yang menyukainya. Sekilas kulihat tak ada yang beda. Namun saat kuberanikan menyapanya. Kerikil kecil misteri mengenaiku. Ia tersenyum namun menangis di dalam. Pengalamanku di dunia jurnalistik membuatku dapat mengetahui watak seseorang. Penasaran aku bermaksud menemuinya.  Menanyakan satu atau dua kata. Tetapi niatku terhenti saat seorang gadis datang dan duduk di sebelahnya. Begitu ayu meneduhkan. Aku menjelma putri malu.

“ Tuhan bagaimana ini? Aku kelaparan akan sebuah fakta,” gumamku bersama dengan mataku terpejam.

Gadis itu berdiri di atas suatu mimbar, bukan sembarang mimbar. Karena hanya dia yang bisa berada di sana. Mematung…

(baca juga: Syair Tafakur)

Segerombol pohon kedinginan diterpa air hujan yang berkomplot dengan angin semilir malam. Dipaksa berdansa oleh hembusannya yang semakin kencang. Angin liar. Tak lama alunan musik menggelegar. Meramaikan pesta badai. Kelelahan pohon itu tumbang. Mengenai tiang listrik pinggir jalan. Kabel-kabelnya terlepas. Astaga putus salurannya. Listrik padam total.

Sebatang lilin bersandar pada meja rias. Bercermin memantulkan cahaya untuk menerangi ruangan. Segelas coklat panas di sebelahnya. Mengeluarkan aroma khas menenangkan. Coklat itu berjenis couveture. Coklat yang memiliki presentase lemak dan flavor yang tinggi, sehingga rasanya lebih gurih dan lezat. Inilah coklat favoritku. Layaknya Marwan, malam ini aku bersama dengan Meras, narasumber pertamaku. Gadis yang kulihat tadi pagi bersama dengan Marwan. Tak salah duga aku. Memanglah benar jika dia adalah kekasihnya.          

Pembicaraan kami semakin hangat kemudian. Kami bercerita banyak hal. Termasuk hubungannya dengan Marwan. Aku tak menyangka bahwa cinta mereka begitu asri. Aku seperti melihat sebuah film drama korea versi Indonesa. Diselingi berbagai ujian yang berujung pada perpisahan Meras dan Marwan pada masa silam. Tak membuat mereka jauh. Seperti restu orang tua yang tak ada pada genggaman. Meras harus ditinggal merantau oleh Marwan ke negeri orang. Tak terbayang hidup Meras setelahnya. Apalagi setelah tragedi tanah longsor yang mengakibatkan ia harus kehilangan sanak saudara. Ia terpukul di dalam relungnya. Ia hilang arah, sampai suatu hari, ia bertemu kembali oleh Marwan di kehampaan. Terjadilah sebuah momen mengharukan. Namun hanya ia yang menangis, sedang Marwan tampak kebingungan.

Kami berada dalam satu tujuan. Bisa dibilang hubungan mutualisme. Aku ingin tahu banyak tentang Marwan sedang dia ingin aku membantu Marwan.

“Kenapa?” tanyaku.

“ Mas Marwan sedang bingung. Tolong bantu dia, Mbak!”

Lilin melambai diterpa angin yang datang entah darimana. Kuhirup coklat panas dari cangkir cina. Tersedak, lidahku terbakar.

Langit muram. Tikar mendung terhampar. Banyak orang telah kembali dari rutinitas bekerja sehari-hari. Tak berbeda denganku. Aku telah duduk santai di dalam kamar. Menyelonjorkan kaki dan meminum coklat panas. Hangat dan menenangkan. Sambil sesekali kubaca novel terbaruku di layar laptop. Tersenyum. Satu hal yang kusadari. Ternyata selama ini apa yang kutulis dalam novel-novelku hanya berisi khayalan cinta omong kosong belaka. Aku terlalu terbawa oleh suasana modern hingga lupa bahwa sebuah cinta yang hakiki. Tak akan selamanya berakhir dengan bahagia. Meras dan Marwan contohnya. Mereka menjalani hidup berbeda namun dengan ujian yang sama. Muncullah sebuah ide gila di pikiranku untuk membuat sebuah cerpen tentang mereka. Tapi aku tak tahu, akankan terwujud atau tidak. Bagaimanapun aku harus tahu lebih banyak tentang mereka. Belum lagi kasus tanah kuburan yang memaksaku untuk menjadi mata-mata dadakan, deadline kantor yang semakin dekat. Aku begitu sibuk samapi tak mengenal diriku sendiri. Aku siapa? Otakku menciut, hatiku bergelayut, merindu melaut pada masa jaya menulisku dulu.

Kubuka halaman baru di layar. Inilah waktunya. Di saat sempitlah terkadang sebuah jalan tersedia.

Menggelora sukma, berbintang kerlip manja, langit berbinar. Sampai datang paku-paku tajam.

….

Cicak dalam suatu perjalanan, pada sebah tonggak bangunan. Menelusuri lintasan hingga menemui  halangan jaring laba-laba. Melirik, lalu memakan jangkrik yang melekat di sana. Melahap dari ujung bawah dan menyisakan kepala sebagai tanda, ia  telah menjadi korbannya.

Marwan membenahi alat galinya. Membersihkan tanah yang tersisa, kemudian mengasahnya. Begitu pelan dan kuat hingga mengkilat. Lalu menempatkannya pada sebuah kotak perkakas coklat kusam di dalam tanah. Kembali ia mengubur namun tanpa menggunakan alat. Tangan besarnya menimpa kotak tadi dengan tanah. Kuku tajamnya sangat kuat mengeruk  mengakibatkan hitam di dalamnya.

“ Telah tersimpan dengan aman” gumamnya.

Kakinya meniti pijakan batu. Berniat memasuki ruang tidurnya. Terpaku di depan cermin. Nampak pecahan kaca membingkai wajahnya. Masih sempurna seperti dulu. Di mana masa melagu merayu. Bersama seseorang bidadari ayu di bumi lain. Hidup untuk memburu sebuah kata satu. Meski kerikil menusuk impian mereka. Apa jadinya putik tanpa benang sari? Hampa. Hidup menuju kematian menjelang. Hanyalah seonggok daging busuk di gantungan. Menungggu dibuang atau dilempar kepada binatang. Matanya berkilat, tangan mengepal. Meringis dalam ruang.

Malam ini Marwan terlelap di atas ranjang jerami buatannya sendiri. Baginya kasur empuk adalah kursi listrik yang sewaktu-waktu akan menyengatnya. Ia takut terlelap sampai bermimpi. Sebuah tragedi masa silam berduri. Meras memperhatikan, berdiri di sebelah ranjang, lunglai.

Aku tak mampu melanjutkan lagi. Kata-kata ini seolah membuat Marwan menjadi tersangka. Padahal, yang sebenarnya berbeda. Omong kosong tentang Meras. Gadis berambut panjang ini menyusahkanku. Tak kuasa aku menolak. Matanya mengintruksikan agar aku membantu pria ini. Bagai jawi ditarik kelam. Jujur tak ada yang beda. Setidaknya itu yang kulihat.

“Mbak Nunik… tolong buka pintunya,” suaranya tak asing, lagi-lagi ia datang. Gadis ini tak mau menyerah.

“ Mbak Nunik…” teriaknya.

“ Iya sebentar!”

Pintu berderit. Nampak ia terengah-engah. Memegang daun pintu.

“ Mas Marwan, Mbak…. Cepat…! Nanti kita terlambat”

“ Astaghfirullah, terjadi sesuatu?”

Meras mengangguk. Tak berpikir panjang, kami cepat bergerak. Entah hatiku langsung tergerak.

Lampu di rumah bambu itu padam total. Mungkin ini akibat dari langit yang menangis tadi sore. Bahkan kilat menyambar hingga merobohkan pohon mangga di pinggir jalan. Tanah basah berceceran. Tak terlalu malam namun tikar hitam telah terhampar. Sedetik kemudian, azan  berkumandang. Menelan ludah, Meras memegang tanganku.

“ Buka pintunya mbak, tolong lihat mas Marwan!” matanya berkaca-kaca.

“ Kenapa tidak kamu saja, Marwan suamimi bukan. Kamu yang lebih dibutuhkan.”

“ Saya tidak bisa. Jika mas Marwan tahu  pasti dia akan terpukul”

“ Kalian bertengkar?”

Meras menundukkan kepala. Kupandangi ia menunggu kata terucap sebagai jawaban dari pertanyaanku. “ Kalau begitu saya akan masuk ka dalam. Tetapi kamu tetap ikut di belakang saya. Jika kalian benar bertengkar, akan kudamaikan… Insya Allah. Hubungan kalian tidak boleh terpecah. Aku akan berjuang untuk sebuah cinta yang hakiki. Kalian adalah alasan seseorang mengenal hidupnya sendiri, jadi jangan retak”

Kusadari wajah Meras semakin pucat saat kupanggil nama Marwan. Hatiku semakin melonjak tak sabar. Gas kuinjak sedang rem kubuang. Aku memang tak pernah mengalami jatuh cinta. Anehnya, dapat kurasakan rasa rindu Meras. Mendalam lautan menghujam karang. Semoga apa yang kupikirkan  tidak benar. Hati mereka bersama namun rasanya terpisah jauh. Seolah berada di sisi dinding berbeda. Pintu berderit, ruangan di dalam pengap. Tanganku mencoba meraih saklar. Berkerjap-kerjap mataku. Bersamaan dengan gelap berganti terang, Meras menghilang. Tuhan, dia tidak mendengar yang kukatakan… Tak apalah, mungkin ia belum sanggup melihat Marwan. Kulanjutkan misiku. Di dalam hanya terdapat dua pintu yang kuyakini salah satunya adalah kamar.

“ Mungkin di sana!,” Tak ada pintu, hanya selembar tirai yang terpasang menjuntai menutupi ruang. Terbuka perlahan,

Terperanjat, Marwan telah berdiri di hadapanku. Matanya terbelalak memandang, berwarna merah padam tak berkedip padaku. Layaknya menyasar korban. Buluku berdiri, membentuk barisan. Akalku semakin berlarian. Ketika ingin berbalik, segera ia mengahambur padaku. Menghantamkan tubuhku pada dinding bambu. Terdengar bunyi retak. Sedetik kemudian terdengar bunyi retak. Aku tak tahu apakah itu bunyi retakan bambu atau tulang balakangku. Mataku berkunang-kunang. Aku hampir tumbang. Saat itulah ia menyangga tubuhku. Meremas bahu kananku kasar. Aku meringis. Ia maju semakin dekat, hingga napas beratnya dapat menerpa telingaku. Bergidik,

“Benar kau bisa melihatnya? Benar… hah? Dimana ia sekarang?” kepalaku tak karuan. Berkerut mengejang.

“ Apa maksudmu Marwan? Bukankah kita baru berjumpa kemarin? Apa yang kau tanyakan? Belum lagi kau menyakitiku. Kuberi tahu, maksudku kemari hanya untuk memastikan keadaanmu. Itupun juga karena seorang teman. Sekarang tugasku sudah selesai, biarkan aku pergi. Waktu sehari aku mengenalmu kemarin kurasa sudah cukup untuk mengenal siapa dirimu, Hah.. ternyata salah. Lepaskan tanganmu sekarang! Ini sudah malam aku belum sembahyang.” Ucapku berusaha tenang.

Marwan menggeram, diremasnya bahuku lagi. Kali ini lebih kuat, membuatku tanpa sengaja mengalirkan bulir bening di pipiku, “ sakit Marwan!” teriakku. Spontan kugunakan tangan kiriku untuk mendorongnya. Ia jatuh terjengkang, aku berhasil berlari menjauh. Hampir terbebas, malang saat sampai di ambang pintu keluar, ia menarik ujung kerudungku, kepalaku terdongak, diraihnya tangan kananku, menarik paksa aku ke dalam, menutup pintu lantas menggeret tubuhku menuju sebuah ruangan di bawah tanah, Terkantuk-kantuk ragaku, tergores oleh lantai berpasir, semakin lemah melayang ke alam bawah sadar.

Semut berparade di lantai membawa sebutir nasi di punggungnya. Memungut dari hamparan pecahan beling di bawah meja. Hanya itu yang mampu mereka bawa, meski mereka mampu mengangkat seratus kali berat badan mereka. Tak mau tamak. Tempe dan ikan bakarnya masih mereka tebangi kecil-kecil. Beberapa dari mereka sembunyi-sembunyi memakannya, tak tahan. Mengangkut nasi dengan mulut penuh tempe dan ikan bakar bukanlah hal yang mudah. Apalagi harus mengantri dengan semut lain untuk memasuki sarang. Mereka bersama, esa hilang dua berbilang.

Tubuhku diguncang perlahan, mata yang terpejam kupaksa melihat siapa itu? Remuk redam tulangku, atmosfer yang menggelayut, di hadapanku dinding tanah menjulang, napasku berat, oksigen begitu sedikit bertebaran, memang di atas cahaya remang-remang menerobos masuk, rasanya aku telah mati, terkubur.

“ Mbak Nunik..!” seseorang memegang bahuku. Tak percaya aku masih bisa merasakannya. Wajahku kehujanan oleh air mataku sendiri. Perih menyayat di setiap sisi pori-pori, seperti genderang perang, mungkinkah itu Marwan! “Tenang Mbak saya Meras, samean tidak apa-apa, kan?”

Hanya bergeming di kursi kayu, bibirku kaku, tangan dan kakiku terikat. “ Maaf mbak, seharusnya saya tidak melibatkan Mbak Nunik,  tapi saya akan tetap membantu agar Mbak Nunik bebas dari sini, bagaimanapun caranya, insya Allah!”

Meras mengoceh layaknya burung beo di kandang. Tutup lubang di atasku terbuka. Cahaya merambat begitu cepat, dia turun menggunakan tangga menghampiriku, “ Jangan mendekat! Meras tolong aku” mulutku yang kering sobek kupaksa berteriak. “ Untuk kedua kalinya saya ingin bertanya, di mana Meras, Mbak?”

“ Meras…? Dia di sampingmu.”

“ Mbak Nunik bisa melihatnya? Apa yang dia lakukan selama ini? Apakah dia mengganggu?”

“ Tolong…. jangan bertele-tele, aku tahu kalian bertengkar, sudah cukup… sudah cukup penyiksaaan ini” tak dapat dibendung, banjirlah wajahku, “AKU MAU PULANG!!”

“ Maaf sebelumnya mbak, apa yang saya lakukan adalah demi mbak Nunik. Saya heran mengapa mbak sering berbicara sendiri, ternyata arwah Meras mengikuti mbak,”

“ Marwan… Marwan kamu jangan berbohong, jika memang benar kenapa aku bisa melihatnya?”

“ Karena mbak adalah orang yang saya sukai, mungkin sampai sekarang ia menganggap bahwa saya adalah suaminya, padahal yang sebenarnya saya lari saat kami akan dinikahkan dulu, maaf saya mencintai mbak, dan akhirnya mbak jadi terluka.”

“ BOHONG..!! lepaskan aku sekarang. Terserah apa mau kalian. Aku tak ingin menjadi perusak hubungan orang”

Ia membuka ikatannya,membantuku berdiri, “ Benar apa yang saya katakan mbak, dan saya siap di penjara karena ini, yang terpenting saya telah mengatakan yang sebenarnya, bahwa saya sangat mencintai kamu, mbak Nunik. Teman masa kecilku”  bisiknya. Telingaku tidak sedang sariawan, pesan suara itu terdengar jelas menyusup menembus telingaku. Tangannya kokoh merangkul tubuhku, seketika pandanganku beralih pada Meras.

Ia tersenyum, tiba-tiba di ubun-ubunnya keluar asap putih tebal menyebar, bibir kecilnya naik terus naik hingga hampir mengenai matanya, sedang matanya sendiri terbelalak mengeluarkan cairan merah gelap, gigi taring menyebul dari ujung mulutnya, kulit mulusnya mengendor berkerut, belatung muncul merayap dari pori-porinya. Kembali bergeming, badai menghantamku. Itukah wujud asli Meras? Mungkinkah aku tertipu oleh putihnya sandiwaranya? Kenapa kejadian hitam terasa menjalar? Rasanya seperti coklat yang sering kuminum selama ini, pahit. Bedanya bukan kebahagian yang kurasakan. Lagi-lagi menelan napas berat tersekat di tenggerokan. Gelap…

Waktu berlari empat tahun jauhnya. Tikar hitam masih terhampar. Aku termenung di balik layar komputerku, meresapi cerpenku dahulu. Dimana aku mengalami kejadian tak masuk di akal. Kukira aku bermimpi karena keesokan harinya aku terbangun di atas ranjang tidurku tanpa rasa sakit tersisa. Kulalui hari seperti biasa, bahkan aku tetap melewati rumahnya. Tak ada yang aneh, aku masih menganggap dia teman masa kecilku. Sampai aku mendapat kabar bahwa berita tentang kasus tanah kuburan itu telah terbit. Aku bingung, padahal rasanya aku belum selesai mengerjakannya.

“ Selamat beritamu menjadi trending topik minggu ini” begitulah ucap salah satu temanku. Segera aku mencari kepastian dengan membaca koran saat itu juga. Di sana tertulis dengan jelas namaku tertera sebagai penulis. Lantas siapa? Pikirku. Dialah Marwan… terperanjat aku saat aku mengetahuinya. Bagaimana tidak setelah ia menulis beritanya, ia lantas menyerahkan diri ke penjara. Ia mengaku sebagai tersangka kasus tanah kuburan itu.

Seperti berada pada persimpangan jalan. Tak bisa melangkah bahkan berkedip takut ketahuan. Berdiri di tengah jalan meski banyak kendaraan. Tetap hidup dalam kematian. Terlindas berulang kali namun hanya bisa diam. Tak sakit badan walau bercucuran. Sesekali datang kupu-kupu terbang kemudian menghilang. Setelahnya jatuh dalam kubangan. Basah berlumpur badan. Kisahku kubiarkan hanya sebuah koma selama ini. Membuatku tak bisa terlelap meski kadang tikar hitam tak lagi kosongan, ada rembulan di sana walau tetap tanpa sang ajudan bintang.

Bagaimana harus kuakhiri kisahku ini? Untuk pertama kalinya ada seseorang yang membuatku mengerti cinta meski caranya menghianati cinta. Meras yang kuanggap temanku ternyata berbohong. Tak mungkin aku menulis kisahku dalam cerpen ini. Bukan ini tujuanku. Aku ingin menciptakan sebuah nuansa cinta yang hakiki, dimana semua orang lupa. Marwan telah berkorban banyak padaku dan akhirnya harus menderita juga, merasakan dinginnya jeruji besi. Cintanya seperti coklat, pahit tapi menyenangkan. Kubulatkan tekad, agar pembacaku mengerti rasanya, kuputuskan dalam cerpenku, karena begitu mendalamnya cinta Marwan, kuputuskan pada ceritaku, Marwan mati bunuh diri. Karena begitu mendalamnya cinta Marwan, kuputuskan pada ceritaku, Marwan mati bunuh diri.

Pintu berderit, “ Sedang apa sayang…?” tanyanya. Aku berbalik badan. Ia berdiri di ambang pintu. Tersenyum. Kulihat luar jendela. Tikar hitam tak lagi sendirian. Rembulan dan bintang menemani. “ Aku sedang melanjutkan kisahmu”

“ Kisah yang mana?”

“Kisah yang hanya sebuah koma dulu namun menjadikan hubungan kita bahagia”  Kuhampiri  Ia, suamiku: Marwan.

Gadis itu di sana, berlinang airmata memandang. Menghilang…

Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember

Related Post