Penulis : Tasya D. Amalia
Atap kelabu menemani langkahku melewati hari. Lantai berserak lumpur kujajaki tanpa alas kaki. Perlahan kurasakan angin liar membelai rambutku. Membuat berdiri bulu di kulitku. Kaus oblong yang kugunakan terlalu tipis untuk menahan hawa dinginnya pagi. Sedang aku sendiri tak ada pakaian lagi yang dapat kugunakan untuk pergi. Ini keputusanku, resikonya adalah aku. Jadi mau tak mau harus maju. Pepohonan melambai di belakangku, mengistruksikan bahwa aku salah jalan. Bagaimana bisa? Aku adalah seorang gadis desa yang ingin mengenal dunia. Tanpa bekal apapun aku melaju. Titttt……
“ Awas…!”
Bunyi bising ini memekakan telinga. Tak ada rasa sakit oleh tubuhku yang terpental jauh menghantam lampu jalan. Patah tulangku, berdarah hidung dan pelipisku. Aku terlalu hanyut berkubang di alam hayalku. Hingga tak kusadari aku telah tiba di jalan besar. Tempat gerbang menuju dunia baru tersimpan. Seharusnya begitu. Bukan berhenti aku malah terus melangkah hingga sebuah mobil menubrukku. Aku… masihkah aku?
Lampu taman bersinar, bersolek dari pagi hanya demi nampak cerah di pandang. Berwarna kuning keemasan. Menerangi semua yang ada di taman. Capung datang mengepakkan sayapnya menyambangi lampu taman. Sayang… ia tak bisa mendekat, cahaya lampu taman terlalu kuat, menyilaukan dan memabukkan. Sang capung akhirnya terdiam. duduk di atas rerumputan setelah sebelumnya terjenkang. Terlelap dengan mata telanjang yang masih memandang. Malam ini lampu taman bersinar. Mungkin sampai besok pagi. Selanjutnya bersolek lagi sepanjang hari dalam diam. Istirahat dengan lampu padam.
(baca juga: Hening)
“ Kau sudah bangun? Bagaimana? Mimpi indah?” Mataku mengerjap-ngerjap, udara begitu pengap dengan hanya sebuah lampu yang menyorot padaku.
“ Dimana ini?” Tanyaku. Tak begitu jelas, namun kuyakin ia tersenyum.
“ Saya Marsan, senang bertemu denganmu Linda.” Suaranya tenang aksen Jawa kental. “ Bagaimana kamu tahu saya Linda?” Dahinya berkerut, kedua alisnya beradu.
“ Oh ia… apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.
“ loh… Marsan. Kamu jawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Itu sama saja kau campur sambal dengan cabai. Tak ada bedanya, hanya pedas yang semakin menjalar. Kau membuat kepalaku yang pusing pecah sakitnya bukan kepalang.
“ Maaf…” ia lantas pergi. Badanku begitu lemah untuk bisa digerakkan. Aku tak berbaring atau duduk di atas kursi empuk layaknya orang yang mengalami kecelakaan. Teganya mereka mengikatku berdiri di ujung ruang dengan lampu yang tak henti menyorot setiap jengkal di tubuhku. Memang tak ada darah, tapi jelas terlihat gurat memar di kaki dan tanganku. Mataku seperti ditancap pisau perlahan. Tangan dan kakiku terbelenggu rantai baja. Apa ini? Yang kuingat hanya kenyataan bahwa aku pergi dari rumah untuk mengubah nasibku. Mengapa bisa sampai disini?
“ Akan kujawab.” Ia telah kembali namun tak sendiri. Mereka berjalan beriringan dalam hitam mencekam. “ Akan kujawab” ulang yang satunya lagi. “ Sebelumnya selamat datang Linda. Saya Bagong, kakak Marsan. Saya yang bertanggung jawab sepenuhnya atas rumah dan tentu saja pertanyaanmu itu. Sedang Marsan hanya kuberi wewenang menjagamu dan tak sekalipun boleh berbicara padamu. Ia masih belum pantas dan…”
“ Apa jawabmu?” potongku. Telingaku hampir sariawan mendengar celotehnya yang berbelit itu.
“ Kau kelelahan?” aku mendengus kasar. “ Lagi-lagi pertanyaan. Kalian memang tak ada perbedaan.” Kesabaranku kandas sudah. Aku benar-benar ingin pergi dari kedua orang bodoh ini yang tak mengerti pertanyaan mudah dariku tadi. Yang kubutuhkan sekarang adalah dokter untuk luka-lukaku ini. Sebelum aku sempat memuntahkan segalanya pada mereka Bagong kembali berkata, “ Kau benar-benar lelah. Sebaiknya kau istirahat saja.”
“ Kenapa kalian mengganggu dengan pertanyan dan kalimat yang tak berujung. Yang kubutuhkan adalah dokter untuk luka-lukaku ini. Ketahuilah bahwa aku telah mengalami tabrak lari dan…” aku tersentak menyadari sesuatu. “ Atau kalian yang dengan sengaja menabrakku.” Badanku bergetar dan malangnya wajahku kehujanan dengan airmataku sendiri. “ AKU MAU PULANG” teriakku kemudian. Bagong tertawa begitu keras mendengar teriakanku hingga busa putih keluar dari mulut besarnya. Sedetik kemudian, lampu dimatikan. Bersamaan dengan gelap menjalar aku melayang terumbang-ambing.
Bukk…
Darah mengalir dari pelipis deras, bergulat dengan airmata dan keringat di wajahku. Aku menyadari bahwa mereka telah memukulku. Penglihatanku menajam cepat. Mungkin dengan balok atau kayu. Entahlah semakin aku berpikir, aku malah semakin kebingungan menyeimbangkan tubuhku yang terus terbang melayang.
Lalat bertebaran. Tubuhku terlentang diantara rimbunan ilalang di suatu ladang tak bertuan. Beralas tanah aku terlelap. Masih terngiang bagaimana mereka membawa tubuhku hingga sampai di sini. Bermandikan darah dan keringat aku berjuang semalaman suntuk demi terbebas dari mereka. Aku tak kuasa bertindak lebih untuk menyelamatkan tubuhku dari cengkeraman mereka. Usai menggagahiku mereka mendiamkanku dengan luka yang semakin menjorok ke ulu hati. Kukira telah usai penyiksaan mereka. Kurekam kilat dari benda yang mereka bawa. Pisau. Buluku meremang, berbaris menyusun barisan seperti ikut perihatin akan ketegangan yang kurasakan.
Jlebb…
Akhirnya cairan merah itu keluar begitu saja layaknya pancuran air dari tubuhku. Terus menancap perutku sampai ususku terurai. Angin helai lehai menggiringku terlelap. Seseorang dari mereka tertawa lepas seolah telah memenangkan lotre dan seorang lagi… ia menangis sesenggukan. Sebenarnya apa maksud mereka. Aku tak sedih sekalipun harus meregang nyawa. Aku tak gentar meski tinggal setetes darah yang tersisa dari literan simpananku yang diberikan Tuhan dulu. Aku hanya tak suka di permainkan. Ada yang tertawa. Ada juga yang menangis. Mereka seperti bukan manusia saja.
Yang kubingungkan. Kenapa tak kurasakan sakit lagi? Padahal jelas sisa-sisa penyiksaan menempel di setiap bagian tubuhku. Menjadi pakaian baru disaat pakaianku sendiri hancur melebur dengan debu. Lama aku diam. Menatap surya tanpa sekalipun goyah untuk tak berkedip.
“ Sudah bangun, ya? Bagaimana mimpi indah.” Sapa salah semut yang berjalan di atas hidungku. Geram aku dibuatnya. Bahkan seekor semut bertanya padaku. Dan parahnya aku mengerti yang mereka katakan. Apakah mereka membuatku menjadi bukan manusia.
(baca juga: Aku)
“ Mau kemana semut? Pergi atau menelusuri tubuhku?” tanyaku.
“ Tidak keduanya. Aku hanya membuat tanda agar pasukanku tak salah jalan.”
“ Untuk?”
“ Tidak mau. Kau… mungkin akan murka padaku nanti.”
“ Katakan saja semut… aku ingin tahu!” Semut mendesah kasar. “ Baiklah… semua ini dilakukan agar mereka tak salah menggali kulitmu, agar dapat mengambil dagingmu untuk perdiaan selama satu tahun. Lumayan… kau aset berharga, jadi tak boleh kami sia-siakan.”
Semut berjalan menjauh. Menuruni hidung berlanjut melewati halangan bibir keringku. Lama berselang ia berhenti di leher. Kurasa ia sedang menggalinya untuk pertama kali. Lalu prajuritnya datang dengan berbaris melewati jalan tadi dan ikut menggali disana, di leherku. Terdiam. Terpaku dengan urat sendi mati.
“Inikah ajalku?” Semut tak menjawab. Ia terus saja menggali tubuhku. Mungkin ia lelah menjawab semua pertanyaanku tadi. Itulah yang kurasaka saat mereka menghujaniku dengan beragam pertanyaan yang tak jelas bertubi-tubi. Mataku menghitam. Gelap mencekam. Aku…
Atap masih kelabu membuka hari- hari kemudian. Lantai tak pernah tanpa lumpur berserakan. Angin liar membabi-buta di sekitar karena tak ada lagi rambuta yang dapat di belai. Baik Marsan atau Bagong telah melanjutkan hidup masing-masing. Tentunya tak beda denganku. Dua hari kemudian tulang belulangku di temukan. Di sisi pinggir jalan dekat ladang tak bertuan tempat mereka menabrakku. Hebat benar kerja sama prajurit semut itu dapat mengangkut habis semua bagian tubuhku dengan begitu cepat.
Kasusku bagai hilang ditelan kelam. Polisi menganggap aku telah lama mati. Dan penyebabnya bisa apa saja. Tabrak lari, gelandangan yang kelaparan lalu mati dan pendapat mereka yang masuk akal adalah aku mati bunuh diri. Kondisi jalan yang sepi membuat tak ada yang tahu jasadku berada di sana, begitulah pemikiran mereka. “ Meski diselidiki sudah terlambat.” Ucap salah satu polisi saat mengumpulkan tulang belulangku.
“TAK ADIL…” Teriakku melihat tulangku hanya dikumpulkan tanpa ada tindak lanjut. Hidupku berlanjut mengikuti siapa saja dari mereka yang melewati tempat ini. Aku masih berharap ada seseorang yang dapat membantuku menghukum mereka. Tapi, siapa? Sudah puluhan orang yang kumintai tolong. Tetapi tak ada satupun yang peduli. Mereka malah berlari terbirit-birit meninggalkanku sendiri. Waktu terus berjalan dan aku serasa semakin tua walau aku hanya ruh yang tertinggal dari tulang belulangku. Aku terus berlatih agar setiap orang yang melewati tempat ini mendengar suaraku. Mengerti apa yang kurasakan. Suaraku kini menjadi lebih nyaring dan berdenging menusuk kalbu. Suaraku memaksa bulu mereka bergidik menanggapiku. Sedetik kemudian mereka terdiam dan celingukan mencari sesuatu. Kurasa mereka mencari asal suara itu. Aku begitu bahagia. Tak ingin kukecewakan pencarian mereka. Dan muncullah aku di hadapannya. Bukan aku tak ingin sopan dengan tampil sederhana sebagaimana terakhir keadaanku saat daging dan tulangku masih menyatu. Ditambah sedikit kotoran dari darah dimana-mana dan aksesoris perut yang terberai. Tentunya aku harus menyambut orang yang ingin membantuku dengan ramah. akupun tersenyum.
Suasana semakin hening. Dinginnya malam memeluk mereka untuk termangu. Dan begitulah hal yang biasa terjadi ketika kutampakan diri pada mereka. Yang pertama mereka pasti akan menjerit dan selanjutnya… lari. Yah… beginilah hidupku sekarang. Hidupku yang baru. Kurasa perjalanan pergi dari rumahku takkan pernah berakhir. Entah…
Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember lulusan tahun 2019.