Penulis: M. Qorib Hamdani*
Siapa yang tak kenal sosok pahlawan nasional Indonesia dari kalangan santri yaitu KH. Raden As’ad Syamsul Arifin, bukan hanya berkelana dalam kalangan santri dan begelar pahlawan nasional Indonesia tetapi pria berkelahiran 1987 ini juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama yang dirintis oleh KH. Hasyim Asyari . Organisasi Nahdlatul Ulama adalah tempatnya para ulama berkecipung dan berfungsi membantu masyarakat dalam masalah religi yang gencar. Beliau adalah Ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terkahir sebagai penasehat (Musytasar) pengurus besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya.
KH. As’ad lahir di Syi’ib Ali Mekah. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan Madura. Dia mempunyai adik bernama Abdurrahman yang dilahirkan di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Masjidil Haram Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim disana untuk memperdalam ilmu religi. Ayahnya, Raden Ibrahim merupakan bangsawan keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah, sedangkan ibunya keturunan dari pangeran ketandur, cucu Sunan kudus.
Sejak kecil KH. As’ad sudah diajarkan llmu agama langsung oleh ayahnya. Bebrapa tahun kemudian KH. As’ad tumbuh besar saatnya dikirim untuk mencari ilmu di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 3 tahun berlalu saatnya KH. As’ad di pindah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sembari melanjutkan belajarnya disana. Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang legendaris di Mekah yaitu tempatnya para murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu).
(Baca juga: Budayawan Indonesia, Sang Dalang dari Jember hingga Yunani)
Pada tahun 1924, KH. As’ad pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya ia tak langsung mengajar di pesantren ayahnya, namun dia pergi ke berbagai pondok untuk memperdalam ilmunya baik untuk belajar maupun ngalap berkah dari para Kiai. Pondok yang di singgahinya pun banyak yang terkenal salah satunya Pesantren Sidogiri dalam asuhan KH. Nawawi.
Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KH. As’ad dan ayahnya beserta para santrinya ikut menebang pohon di Dusun Sukorejo untuk didirikannya pondok pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut bukan semena-mena dipilih, akan tetapi tempat itu atas saran dua Ulama’ terkemuka asal Semarang, yaitu Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah. Usaha yang dilakukan Kiai As’ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud , sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.
Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang pesat dan besamaan dengan datangnya para santri di Pondok Pesantren naungan KH. As’ad yang diberi nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Tak lama kemudian KH. As’ad membangun pesantrennya menjadi lebih luas, dan sekarang lembaga pendidikannya pun ada beberapa seperti Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula lembaga umum seperti SMP, SMA, dan, SMEA (SMK).
Perjuangan KH. As’ad dalam mengusir penjajah sangat memukau, karena dia punya strategi dan kemampuan untuk beladiri. Berkat kegigihannya melawan penjajah menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
(Baca juga: Chairil Anwar, Penyair Legendaris Tanah Air)
Salah satu motivasi dari KH. As’ad dalam berperang adalah “Perang itu harus niat menegakkan agama dan merebut negara, jangan hanya merebut negara kalau hanya untuk mengejar dunia, nanti akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid , dan masuk surga!” Itulah pesan KH. As’ad dalam memperjuangkan agama islam melalui perang.
Gelar pahlawan nasional Indonesia diberikan oleh presiden Joko Widodo kepada Alm. KH. Raden As’ad Syamsul Arifin dalam rangka memperingati hari pahlawan tahun 2016 di Jakarta Pusat, Rabu tanggal 9 November 2016.
Pesan yang bisa dipetik dari biografi KH. As’ad adaah bagaimana santri harus tetap menjaga jalur pengetahuan (sanad) denga para kiai, mendalami ilmu-ilmu agama yang menjadi benteng kokohnya islam. Semangat KH. As’ad dapat menjadi pedoman bagi para santri umtuk menjaga negeri dan mengawal kesatuan bangsa ini.
Penulis merupakan siswa kelas XI PK MA Unggulan Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik