Novel Tentang Perjalanan Haji Masa Lalu

Judul               : Rindu
Pengarang       : Darwis Tere Liye
Penerbit           : Republika
Tahun terbit     : 2014
Tebal buku     : 544 halaman
Peresensi         : Devita Wulan

Sinopsis

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?

Cerita berlatar waktu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Yakni pada masa ketika Belanda masih menduduki Indonesia. Pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda memberikan layanan perjalanan haji untuk rakyat pribumi yang memiliki cukup uang.

Perjalanan dilakukan lewat laut yakni menggunakan kapal uap besar yang merupakan perkembangan teknologi transportasi tercanggih pada masa itu. Salah satu kapal yang beroperasi untuk melakukan perjalanan haji ini adalah Blitar Holland. Di kapal besar inilah segala kisahnya dimulai.

(Baca juga: Asiknya nyantri resensi buku kisah-kisah santri)

Di atas kapal juga terjadi interaksi sosial antar penumpang kapal. Juga terdapat fasilitas-fasilitas umum seperti kantin, masjid, dan tukang jahit kapal.

Ada satu keluarga yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini yakni keluarga dari Daeng Andipati yang terdiri orang tua, seorang pembantu rumah tangga, serta dua anak yang mengikut perjalanan haji ini, yakni Anna dan Elisa. Mereka menjalani lamanya waktu perjalanan haji dengan riang gembira. Seakan tidak pernah mengerti tentang apa yang terpendam di hati Daeng, ayah mereka.

Ada pula tokoh Ambo Uleng. Dia adalah seorang pelaut. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di atas lautan. Ambo Uleng rupanya menuruni sifat ayahnya yang seorang pelaut juga. Ia menaiki kapal Blitar Holland tidak dengan tujuan apapun. Tidak untuk bekerja, mengumpulkan uang, atau apapun. Ia hanya ingin pergi sejauh-jauhnya meninggalkan tanah Makassar yang sudah membuat kenangan pilu di hidupnya.

Di sisi lain, ada seorang keturunan Cina. Ia sering mengajari ngaji anak-anak di mushola kapal sepanjang perjalanan haji. Anak-anak biasa memanggilnya Bonda Upe. Bonda Upe ini rupanya sedang memendam masa lalunya sebelum memeluk Islam. Hingga tiap malam ia selalu menangisi dosa-dosanya yang dulu.

(Baca juga: Belajar Sejarah Lewat Novel Bumi Manusia)

Dari sini pula diceritakan Gurutta Ahmad Karaeng, ulama tersohor asal Makassar yang mengikuti perjalanan haji. Beliau rutin melaksanakan solat berjamaah bersama penumpang lain. Secepat itu pula Gurutta meminta izin kepada kapten untuk mengadakan pengajian di atas kapal. Beliau adalah sosok yang selalu memberikan jawaban terbaik atas pertanyaan orang-orang. Namun ternyata ia sendiri telah memendam lama sebuah pertanyaan yang tak mampu seorang pun menjawab.

Adapula sepasang suami istri yang sudah renta mereka menabung bertahun-tahun supaya dapat berhaji, namun takdir  berkata lain, sang istri harus meninggal diperjalan dan dimakamkan dengan cara di tenggelamkan di laut.

Dalam kapal yang membawa ratusan calon jamaah haji ini menceritakan bayak sekali kisah tentang perjalanan hidup, dan perjuangan panjang sebuah kerinduan, rindu akan rumah Allah, rindu akan Rosulullah, dan rindu akan keluarga yang ditinggalkan. Banyak sekali pelajaran hidup yang dapat kita petik di dalamnya.

Kelebihan dan kekurangan buku

Kelebihan dari buku ini adalah alur yang sangat dinamis dan penuh teka-teki membuat pembaca seakan-akan hanyut dan ikut merasakan perjalanan panjang tersebut. Juga menyajikan nuansa latar yang berbeda. Yakni peristiwa kehidupan yang terjadi di atas kapal ibarat kapal uap besar itu adalah sebuah kampung. Sedang kekurangan buku ini terletak pada sampul buku yang kurang begitu menarik. Tidak sebanding dengan isinya yang begitu menarik untuk dibaca. Hal tersebut terkadang membuat orang kurang tertarik untuk membelinya.

Penulis merupakan staf pengajar Bahasa Indonesia lembaga MTs Unggulan Nuris

Related Post