Seri ke-2 Ngaji Risalah Aswaja; Ideologi Orang Jawa adalah Penganut Ahlussunnah bukan Ahlu Bid’ah (Wahabi)

Penulis: Hidayatullah*

Dalam fasal kedua, setelah KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang perkara sunah dan bid’ah disertai pembagian dan contoh dengan merujuk pada pengertian yang telah dikemukakan oleh salafus shalih. Kemudian beliau mengkhususkan pembahasan sunnah dan bid’ah dengan menjelaskan bahwa di Jawa, mayoritas penduduknya adalah penganut ahlussunnah bukan ahlu bid’ah, yakni golongan wahabi.

Disebut penganut ahlussunnah menunjukkan bahwa penduduk Jawa merupakan orang-orag yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw. dan para sahabatnya,  yang kemudian dilanjutkan kepada tabi’in dan jatuh ke pangkuan para ulama sebagai pewaris ajaran para nabi.

Sehingga mereka bersepakat dan berdaulat bahwa dalam bidang teologi, mereka berpegang pada Imam Abu Hasan Asy’ari dan Al-Maturidhi. Khusus dalam bidang fiqih, mereka mengikuti empat madzhab yang masyhur dengan madzahibul arba’ah, serta dalam bidang tasawwuf berpegang pada Abu Hasan Asy Syadzili dan Al Ghazali.

Memasuki abad ke-13, yakni pada tahun 1330 H/1909 M, timbul berbagai isu keagamaan yang terjadi di antara para peminpin yang mengakibatkan perpecahan umat. Hal ini disebabkan kelompok bid’ah dengan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang secara teologi berafiliasi pada ajaran wahabi dengan mengikuti Ibu Taimyah dan Muhamad bin abdul Wahab al-Najdi sebagai nisbat dari nama Wahabi atau Wahabiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh kedua muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi  dan Abdul Hadi.

(baca juga: Puasa tetap Sah, tetapi Pahala Hangus kok Bisaaa)

KH Hasyim menyatakan bahwa mereka telah menyalahi segala kesepakatan yang telah disepakati para ulama, berselesih dalam banyak urusan keagamaan serta mengharamkan beragam amaliyah sunah seperti, pengharaman menziarahi makam Rasulullan dan maqam para waliyullah. Salah satu pemuka ajaran Wahabi, yakni Ibnu Taimiyah berkata:  “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwa ziarah makam Nabi Saw merupakan sebuah ketaatan, maka perkara tersebut adalah haram”.

KH. Hasyim menyebut Wahabi sebagai jurang kesesatan dan menjadi duri perusak keutuhan Islam dan ajaran Rasulullah Saw. Hal ini beliau kemukakan sebagaimana mengutip perkataan Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i dalam  karyanya yang berjudul Tathiru alFuad min Danas alI’tiqad bahwa Syekh Bakhit berkata: “Kelompok ini menjadi cobaan berat bagi umat muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka menjadi duri perusak keutuhan umat Islam”. Sehingga, kelompok ini wajib dicegah pergerakannya sampai tidak ada lagi yang tersisa. KH. Hasyim menyebut Wahabi layaknya pengidap lepra yang harus dihindari agar tidak menular dan menyebar pada khalayak.    

Tidak hanya itu, golongan Wahabi juga dianggap mempermainkan agama dan mengkambinghitamkan para ulama, melecehkan bahkan beberapa mengubah redaksi karangan dari seorang ulama. Dalam sebuah karya tafsir yang ditulis oleh Imam Shawi sebagai hasyiyah dari tafsir Jalalain, orang Wahabi berhasil mengutak-atik penafsiran Imam Shawi dengan meghilangkan beberapa redaksi yang secara tegas bahwa Imam Shawi menyatakan bahwa adalah neo-kahwarj (Khawari milenial) yang senang mentahrif (mengubah) redaksi Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw dengan cara yang begitu halus.

(baca juga: Hikmah Zakat)

Ketika mejelaskan Surat Al Fatir ayat 7: “Orang-orang yang kafir, bagi mereka azab yang pedih. Adapun orang-orag yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”.  Imam Shawi menyebutkan bahwa ayat tersebut diturunkan pada kaum Khawarij dengan kebiaasannya yang suka mentahrif redaksi Al Qur’an dan hadis Nabi Saw.

Mereka menghalalkan darah dan harta umat muslim. Hal itu dibuktikan dengan persaksian mereka dengan adanya pengikut dan penerusnya saat ini yang berasal dari tanah Hijaz. Golongan itu disebut wahabi, yang meresa paling benar dan berkuasa terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu,  berhati-hatilah, sebab mereka adalah orang-orang pendusta.

Perilaku mereka yang sangat bengis, melakukan propaganda yang berakibat pada permusuhan dan kericuhan antar para pemimpin dan ulama sehingga orang awam akan bingung dalam beragama dan memilih pemimpin panutan. Dengan memanfaatkan jaringan teknologi sebagai media kebohongan dan penistaan, mereka bermaksud menciptakan kerusakan di muka bumi, padahal mereka sadar dan tahu terhadap kebohongan yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, saatnya kaum Ahlussunnah dan para pemuda NU bangkit dan bergerak memperbaiki keadaan yang semakin keruh akibat penyelewengan-penyelewengan golongan Wahabi. Tidak hanya dituntut paham ilmu keagamaan, namun harapannya juga mampu mengisi ruang kosong dalam teknologi informasi dan segala bidang yang lain.

sumber foto sampul: alif.id 

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017, kini melanjutkan studi sarjana di IAIN Jember

Related Post