Penulis: Himmatul Ulya Alfitriani*
Ungkapan as-sawadul-a’zam memang sering kali memunculkan pertanyaan. Siapakah mereka dan bagaimana ajaran yang dianutnya? Tak jarang pula banyak kalangan yang mengatakan golongan mereka sebagai as-sawadul a’zham. Julukan ini seakan menjadi rebutan.
Hal ini bukanlah tanpa alasan. Namun, hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa apabila terjadi suatu perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawadul-a’zam). Adanya hadis tersebut, cukup bukan untuk menjadi senjata ampuh menarik anggota baru dalam suatu golongan?
Pembahasan tentang as-sawadul a’zam menjadi pembahasan ketiga dalam kitab karangan KH.Hasyim As’yari, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam kitabnya, beliau berpendapat bahwa julukan as-sawadul a’zam diperuntukkan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran para ulama salafus shalih.
(baca juga: Retorika Alqur’an dan Pensyariatan Puasa)
Para ulama salafus shalih merupakan sumber terpercaya tentang ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah. Hal ini pun menjadi salah satu sifat dari golongan as-sawadul a’zam yaitu bermadzhab (mengikuti ajaran seorang imam). Madzhab yang diikuti pun bukan asal-asalan, tetapi bermadzhab pada ulama’ salaf.
KH. Hasyim Asy’ari memaparkan bahwa mayoritas ulama mengikuti madzhaahib al-arba’ah. Madzaahib al arba’ah merupakan empat imam terpercaya yang hingga saat ini banyak menjadi acuan beragama masyarakat.
Adapun beberapa faktor yang menjadikan empat mazhab tersebut terpercaya adalah kualitas individu dan keilmuan yang sudah diakui oleh seluruh umat Islam juga murid-murid yang konsisten menulis ajarannya.
Adanya konsistensi seorang murid menulis ajarannya, menjadikan sanad keilmuan nyambung dan hal inilah yang membuat suatu madzhab tersebut diyakini kebenarannya. Madzaahib al arba’ah meliputi Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Malik bin Anas (Imam Malik), Imam Muhammad bin Idris As-Syafii (Imam Syafi’i), dan yang terakhir yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
(baca juga: Mana yang Didahulukan, Buka Puasa atau Salat Maghrib? Cekidot Gaess)
Disebutkan bahwa Imam Bukhari, pengarang kitab Shahih Bukhari bermazhab Syafii, al-Syadzili bermazhab Maliki, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani bermazhab Hanafi, juga banyak lagi ulama’ besar lainnya. Imam Bukhari yang tak perlu lagi diragukan kecerdasannya, keadilannya juga ke-dhabit-annya saja masih bermazhab, lantas apa kabar dengan kalangan yang menyatakan bahwa cukup kembali pada Al-Quran dan Hadis saja tanpa bermazhab? Wallahu a’lam.[]
sumber foto sampul: muslim.okezone.com
*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017, kini sedang melanjutkan studi sarjana di UNEJ