Cak Nun: Menapaki Hidupnya dalam Berbagai Dimensi Ilmu

Penulis: Muhammad Qorib Hamdani*

 “Dia berkarya bersama unataian kata yang sastra, menghadirkan sejuta rasa untuk bangsa dengan karya yang mengguncangakn seantero dunia. Mereka dibuatnya tak habis pikir dengan karyanya yang tak bisa dipahami oleh kalangan bawah. Sambutlah, Emha Ainun Nadjib,”

Seorang sastrawan kelahiran Malioboro, Yogyakarta mulai menapaki jejak kehidupannya di dunia sastra. Seorang guru Sufi bernama Umbu Landu Paranggi yang mengarungi hidupnya dengan misterius telah mengajarkan banyak hal kepada Emah Ainun Nadjib atau bisa dipanggil dengan sebutan Cak Nun.

(Baca juga: Sujiwo Tejo: Sosok multitalenta dari tanah pandalungan)

Dalam menjalankan kehidupannya Cak Nun menerjunkan dirinya langsung di masyrakat dan banyak melakukan aktivitas yang merangkul ilmu dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi masyarakat dalam bidangnya. Di samping mengadakan kegiatan bulanan bersama komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling menyusuri wilayah nusantara dengan acuan waktu 10-15 kali per-bulan bersama Musik Kiai Kanjeng. Jika kegiatan itu dikalkulasi sekitar 40-50 acara massal yang dibuka untuk umum di area luar gedung.

(Baca juga: Belajar dari Sri Izzati: Penulis muda yang kaya karya)

Tak puas dengan berbagai aktivitas Cak Nun menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah sebuah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang di bungkus dengan sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan yang digelar tersebut Cak Nun melakukan berbagai dekontruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam forum komunitas Masyarakat Padhang Bulan perbincangan mengenai kontekas pemahaman pluralisme sering kali muncul. Panggilan kiai dari berbagai kalangan membuatnya tuli (menolak) itu meluruskan pemahaman mengenai pluralisme yang disebut dengan keberagaman tersebut.

Dalam rumah tangga Cak Nun adalah anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya bernama Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Cak Nun mengarungi ilmu di bangku sekolahnya SD Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Cak Nun pernah mengeyam pendidikannya di Pondok Modern Gontor Ponorogo, sayangnya menuntut ilmu di pondok pesantren tidak lama ia dikeluarkan akibat melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Akhirnya ia pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta. Lalu menginjakkan kakinya perkuliahan di UGM Fakultas Ekonomi tapi tidak sampai tamat.

 Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Mengawali karirnya sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta, kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta yaitu sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti di Yogyakarta, dan grup musik Kyai Kanjeng sampai saat ini mengabadikan dirinya lewat tulisan (penulis) dan kolumnis di beberapa media.

Sumber gambar: gasbanter.com

Penulis merupakan siswa kelas XI PK MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post