Jika kita melihat gambar para wali, atau ketika kita melihat para masyayikh hampir semua dari mereka menggunakan surban di kepalanya. Dan di antara mereka memiliki ciri khas tersendiri ketika memakai surban. Ada yang hanya dipakaikan di kepala, ada pula yang mengikatnya. Lalu bagaimanakah sesungguhnya hukum memakai surban? Dan bagaimanakah cara memakai surban yang dianjurkan oleh Nabi SAW?
Memakai surban sangat dianjurkan oleh agama. Karena perbuatan itu merupakan kebiasaan para Rasul dan Nabi Allah SWT. Al-Manawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir menyitir perkataan Ibn ‘Arabi:
“Ibn Arabi berkata, “Memakai surban itu merupakan sunnah (kebiasaan) para Rasul, serta kebiasaan para Nabi dan para Sayyid.” (Faidh al-Qadir, juz IV hal 429)
(Baca juga: Bolehkah menerima upah dalam pengobatan alternatif melalui doa?)
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW:
“Dari Ibn Umar, bahwa ketika Rasulullah SAW memakai surban, maka beliau menguraikan surbannya samapai menutupi bahunya.” (Sunan Al Tirmidzi [185])
(Baca juga: Apa hukum berjabat tangan setelah shalat?)
Dari Hadits ini bisa dipahami bahwa memakai surban merupakan perbuatan yang baik. Lalu tentang cara memakainya, Al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi karangan beliau menjelaskan:
“Bahwa Nabi Muhammad SAW itu (kadang-kadang) memakai songkok di bawah surban, memakai kopiyah tanpa memakai surban, memakai surban tanpa menggunakan songkok. Rasulullah SAW juga menggunakan kopiyah yang mempunyai daun telinga ketika beliau pergi berperang. Surban yang sering beliau gunakan adalah yang warna hitam seperti hitamnya benda yang terbakar api. Beliau juga mengikat surban itu di kepala,” (Al-Hawi li Al-Fatawi, Juz 1 hal 97)
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.