Penulis: Muhammad Qorib Hamdani*
“Bahasa datang, dan kemudian penghancuran. Kini orang bisa dengan mudah menulis atau membaca kata-kata yang agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal di internet. Terutama dalam twitter mungkin semua itu hanya ekspresi tak matang dan gagah-gagahan anak muda.”
Seorang jurnalis dan sastrawan Indonesia terkemuka telah mencatat bahwa bahasa datang akan membawa penghancuran bagi dunia penulisan. Goenawan Soesatyo Mohammad salah seorang pendiri sekaligus pemimpin redaksi Majalah Tempo yang lahir di Batang, 29 Juli 1941. Masa muda yang telah dilaluinya dikenal sebagai seorang penyair. Goenawan juga ikut menandatangani Manifesto kebudayaan 1964 yang membuat karya-karyanya mengakibatkan dilarang menulis di media.
Ia suka menulis sejak menginjak usia 17 tahun dan terus berlanjut menjadi wartawan. Sampai sekarang Goenawan Mohammad menjadi inspirasi wartawan-wartawan muda. Dengan tulisan-tulisannya yang sangat berkualitas Goenawan Mohammad banyak menerbitkan buku, mulai dari sastra, opini, esai, dan lain-lain.
(Baca juga: oki setiana dewi muda bertalenta sosok inspiratif muslimah indonesia)
Dia menjadi pemimpin redaksi dalam jangka waktu 1971 sampai 1992. Kemudian kembali menjabat sebagai posisi yang sama sampai Tempo dibredel pada 1994. Lalu Tempo kembali hadir pada tahun 1998 dan Goenawan Mohammad kembali menjadi pemimpin setelah satu tahu, kemudian jabatannya diserahkan ke Bambang Harymurti. Kala itu Goenawan Mohammad menulis artikel yang mengkritisi tentang rezim orede baru yang di dalamnya dianggap terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ganjarannya pembredelan Tempo karena dianggap dapat merugikan pemerintah.
Goenawan tak hanya diam dan berpangku tangan, namun dia dengan berpikir dan bertindak dengan sekuat tenaga agar Tempo bisa kembali terbit. Dia melakukan tindakan melalui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), namun pada akhirnya upaya yang dilakukannya sia-sia karena PWI sudah terpengaruh oleh rezim Soeharto.
Tak sampai disitu saja, Goenawan Mohammad terus berusaha dengan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dillakukan secara bersama-sama dengan wartawan muda lainnya. Dengan inginnya Goenawan Mohammad berhasil maka didirikannya institusi lagi yang bernama Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumenasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Lembaga ini juga mengayomi bagi para jurnalis dengan melakukan pelatihan tentang cara membuat surat kabar berkuallitas.
(Baca juga: Opick berdakwah melalui lagu religi)
Pada 1998 Goenawan Mohammad berhasil mengaktifkan kembali setelah kekuasaan Soeharto berakhir. Sosok Goenawan yang menerima penghargaan Wertheim Award ini krmbali memimpin Tempo hingga 1999. Namun Goenawan Mohammad masih memiliki amanah sebagai Komisaris Utama PT Tempo Inti Media, Tbk, hingga tahun 2016.
Selain berkecimpungnya dalam dunia jurnalistik, Goenawan Mohamad juga menjadi pengurus komunitas Salihara, sebuah tempat untu mengekpresikan seni di kawasan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebuah tempat yang diurus oleh Goenawan Mohammad tidak jarang digunakan sebagai tempat diskusi dengan mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan sebagainnya.
Sumber gambar: kompassiana.com
Penulis merupakan siswa kelas XII PK A MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik