Penulis: Muhammad Ivan Rafael*
Fenomena pasar muamalah di Depok masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Sebab keberadaan pasar muamalah ini menuai pro kontra. Alhasil pasar ini telah resmi disegel oleh polisi.
Pasar yang mirip bazar ini digelar secara berkala sejak 2001 di Depok atas prakarsa Zaim Saidi. Penyebabnya, penggunaan koin dinar dan dirham dalam transaksi jual beli di pasar tersebut dianggap melanggar UU Mata Uang.
(Baca juga:filosofi menarik gamelan jawa)
Sebagaimana yang dituturkan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Zaim dianggap melanggar undang-undang dan dijerat dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 33 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
Berikut bunyi Pasal tersebut :
Pasal 33 poin 1a Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang.
Setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dapat dikenakan pidana. Hukumanya antara lain berupa kurungan penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Pasal 9 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum pidana
Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang ketas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.
Sebelumnya, pasar muamalah ini memiliki beberapa cabang. Namun yang pertama kali viral adalah cabang Depok. Lokasinya berada di depan sebuah ruko di Jalan Tanah Baru, RT 3 RW 4, Kecamatan Beji, Kota Depok. Ruko itu milik Zaim pribadi.
Mirip dengan pasar kaget, pasar muamalah ini tidak buka setiap hari. Namun, pasar hanya buka dua pekan sekali. Selain itu, lokasinya juga terbatas yaitu hanya menempati tempat parkir di depan ruko.
Dalam beberapa video di YouTube tentang Pasar Muamalah ditampilkan bagaimana praktik jual-beli yang terjadi di sana. Tampak dari luar tidak ada yang berbeda dari pasar umumnya. Mereka menjual barang dari kebutuhan pokok, baju dan juga kebutuhan rumah tangga. Selain menggunakan koin dinar dan dirham, mereka juga memperbolehkan bertukar barang atau barter. Jika tidak memiliki koin tersebut pembeli bisa membayar dengan rupiah atau barter dengan komoditas yang dimiliki, asal pembeli dan penjual bersepakat.
(Baca juga: bulan yang di muliakan Allah swt)
Bagi pengunjung yang ingin membeli atau sekedar mengoleksi koin emas dan perak (dinar-dirham), bisa juga membeli di pasar itu. Tentu saja membelinya dengan rupiah atau bisa juga barter sesuai dengan kesepakatan.
Bagi pedagang yang ingin berjualan, tidak perlu membayar sewa tempat, sebab lapak yang disediakan bisa di gunakan oleh siapa saja. Pedagang yang paling datang lebih awal boleh menggunakan tempat tersebut. Jadi siapa cepat dia dapat. Barang yang di jual dan sistem jual beli juga harus hala, artinya tidak menjual barang haram ataupun melakukan riba.
Tak hanya transaksi jual-beli, Pasar Muamalah juga kerap mengumpulkan zakat dari pedagang setiap hari Jum’at. Masyarakat yang ingin membayar zakat juga diperkenankan menggunakan koin emas atau perak. Penerima zakat bisa membelanjakan koin yang mereka terima di Pasar Muamalah. Banyak masyarakat kecil yang merasa tertolong dengan adanya kegiatan di pasar tersebut.
Lalu apa sebenarnya makna Muamalah itu, istilah umum dalam dunia Islam, yang dipakai sebagai nama pasar tersebut?
Berikut adalah penjelasan Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Cholil Nafis.
Cholil menjelaskan, muamalah secara bahasa artinya hubungan manusia dalam interaksi sosial, di dalamnya termasuk pernikahan, jual beli, dan lainya yang menyangkut interaksi antarmanusia
Menurut Cholil, bila dilihat dari sisi pandangan Islam, transaksi jual-beli yang dilakukan dalam Pasar Muamalah besutan Zaim Saidi sejatinya tidak bermasalah.
“Selama barang yang diperjualbelikan itu memiliki kepastian dalam transaksi, ada ijab dan kabul serta kepastian harga barang itu sendiri, dibayar dengan uang baik itu instrinsik maupun noninstrinsik, tidak masalah,”kata Cholil mengutip kepada Kumparan.
Kendati dalam Islam sebenarnya tidak ada masalah, namun persoalannya adalah hukum di negara Indonesia tidak memperbolehkan adanya transaksi yang menggunakan mata uang selain rupiah seperti yang tercantum dalam undang-undang.
Lalu bagaimanakah sebaiknya kita dalam memandang fenomena pasar muamalah tersebut?
Penulis merupakan siswa kelas X PK 2 MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik