Penulis: Iffah Nurul Hidayah*
resin damar mengeras, sehabis tersayat
dua bulatan merah muda duduk di samping duri
diam memukul gendang bintang, merayu menenggelamkan
hari ini aku tak ingin menjadi putri malu melayu
meski malu, setidaknya bisakah diganti ratu?
(Baca juga: keyakinan muara)
mungkin saja damar akan meraihku,
mengaitkan duriku di diameter batangnya
tapi
mengapa ia mengapi – api daunku yang malu?
aku
tak bisa ke sana.
dipukul mundur
seranting damar merobohkan nasti damaiku
mencabik badanku yang sebenarnya telah tercabik
tak ada yang meminta duri ini merasuk hingga menembus tubuhku
di mana letaknya denai itu, aku cari sampai ujung keheningan akar
tapi ketika sedikit saja mendekat, damar padam pada malam
(Baca juga: anugrah Tuhan)
aku ia buat mengatup lagi, membuatku tak
berani
mengapa
ia menghina – hina duri malang yang berusaha kucabut?
damar
semakin mengeras, dahan – dahannya menjatuhkanku
dua kuncup bungaku memberi sarapan
trauma ricuh
dilema, aku tetap diam meski duriku tergagap
gagap mengindah sepasang bungaku menggugu ragu di tanjakan lagu
lugu membantah dungu yang bahkan telah menguasai tabu beku
aku dipeluk manut, dicekik takut
cinta
ini mendasar hingga lenyap separuh malu
damar
tetap damar yang benderang
menjauh,
ia dorong duri lagi. mendekat, hangus sekejab raga ini
Jember, 15 Oktober 2020
Sumber gambar: cyberfdakwah.com
Penulis merupakan siswa MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler penulisan kreatif sastra