Penulis: Alya Latifatul Fitriah*
Embun turun layaknya salju, menutupi langit rapat-rapat hingga siap mengancam jika terik pekik sinar matahari mencoba menerobosnya, semilirnya yang keji menyentuh nadi. Air berwarna biru ini seakan berasal dari Planet Neptunus, jika seseorang mandi pada pukul tiga subuh maka bersiap-siaplah mendapati tubuhnya layaknya es. Argopuro gunung yang masyhur sebagai destinasi wisata alam ini telah membuat warga lokal maupun non lokalnya terkesima, di bawah kaki gunung ini tidak sedikit banyak warga imigran dari berbagai daerah, tempatnya yang asri dan warganya yang ramah itulah menjadi cikal bakal ketertarikan mereka terdapat daerah ini.
(Baca juga: bumi pertiwi)
“ Afif, Fiqur, Mif, Umar, dan Dimas, gimana kalian sudah siap? di acara galeri pandalungan besok lusa?” Ujar Pak Lurah tersenyum simpul sebagaimana ciri khasnya
“Siap pak, kami usahakan semaksimal mungkin” Tukas Afif sebagai seorang pemimpin regu, Pak Lurah tidak salah pilih mengandalkan dia, anak salah seorang seniman tari terkenal yang kematiannya pun di bicarakan dari mulut kemulut, yakni Rahman Fallahi. Mungkin jika di pandang sebelah mata regu yang di beri nama pandawa pandalungan ini tidak akan ternampa kental akan kebudayaannya, bagaimana tidak umar adalah orang asli Madura yang baru pindahan setahun lalu, dan dia juga belum sedikit bisa bahasa keseharian warga sini, Fiqur ia orang bondowoso, namun sejak kecil ia ikut neneknya tinggal di Jember, Mif ibunya orang asli Lumajang tetapi ayahnya adalah orang Jember, dan yang terakhir adalah Dimas orang asli Probolinggo, saat umur sepuluh tahun ayahnya di tugaskan kakeknya untuk mengurus sahamnya yang ada di Jember, sampai saat ini. Jika orang berpikiran seperti itu maka mereka sangatlah salah besar, mereka juga orang asli pandalungan, hanya daerah yang membedakannya, bahasanya pun sedikit banyak sama, karena tak banyak orang mengerti bahwa pandalungan itu hasil asimilasi dari beberapa daerah di Setapal Kuda Jawa Timur.
######
“Ngekkkk” Afif membuka pintu rumahnya, tiap tiap sudut ruangan terus di pandangi Afif, tidak didapati nya apa yang ada di benaknya, Afif terus memandang hanya ada desusan angin di sana.
“Afif,” suara itu begitu parau, terdengarnya di balik badannya, ia langsung membalikkan badannya, tak terhitung berapa detik durasinya kedua tangan ibu pemilik suara itu telah mengepung bahu Afif, pipi ibu itu sengaja beliau tempelkan ke pipi Afif, hingga ia merasakan pilu air mata yng mengalir dari pelupuk mata ibu itu.
“Wes le, cukup bapakmu ae, amu ndak ush melok koyok ngunu.”(Sudah nak,cukup bapakmu saja, kamu tidak usah ikut seperti itu).
Mulut Afif bungkam seakan mulutnya tak berfungsi lagi, sekejap saja badannya serasa mematung, pikirannya tiga ratus enam puluh derajat berputar pada kejadian tiga tahun silam, Afif langsung melepas pelukan ibunya.
“Tapi bu..”
Sesegera mungkin kedua tangan ibunya merampas cepat kostum ditangannya , terdapat sebuah korek api di tangannya ,di nyalakannya dan satu persatu helaian pakaian telah terhabis di lahap api ,semuanya begitu cepat dilakukannya, didepan mata afif yang tak berkudip sekalipun
“Wes to le ,lek di omongi wong tuek iki kudu manut” (sudah nak kalo dikasih tau orang tua itu harus nurut), perkataan itu seakan menampar Afif, dia diam seolah tak ada kata ataupun kalimat yang mampu membalas tangkisan dari ibunya. Afif menatap ibunya, isak tangisnya masih membekas di sela-sela mata beliau yang sipit, kejadian tiga tahun lalu masih membekas menjadi luka di hati ibu. Luka ketika sang tulang punggung keluarga di ambil nyawanya oleh sang Ilahi, rasanya sakit, bak hati tersayati oleh belati.
######
Saat itu hari yang sangat bersejarah bagi Afif, ketika bapak mengajaknya pergi, pergi namun tak kembali. Galeri Pandalungan adalah sebuah panorama terfavorit bagi warga Jember yang di selenggarakan di Alun-alun Kota, setiap tahunnya bapak tak akan melewatkan acara ini. Di mulai dengan alunan musik patrol nan khas pandalungan mulai bersenandung, di dampingi tabuhan bas dan beberapa tepukan dari kentongan, senandungnya amat sangat menarik, perpaduannya menghasilkan bunyian indah yang menambah cita rasa kesenian Indonesia, hingga membuat penarinya sangat berantusias menggerakkan badannya dengan luwes, lemah gemulai mengikuti alunan musiknya dan satu diantara mereka adalah Pak Rahman, seniman sejati yang berasal dari kaki Gunung Argopuro, pertunjukan yang berdurasi lima belas menit ini pasti tak asyik jika tidak di dapati pertunjukan ektrimnya, dan ketika itu juga lah Pak Rahman yang menjadi pelakon aksi menstrim tersebut. Saat semua penari sudah siap, tiap-tiap penari telah membentuk formasi layaknya piramid, Pak Rahman mulai menaiki satu demi satu penari, dan ketika berada di tingkatan terakhir.
(Baca juga: indonesiaku nan merekah)
“Aaaarrrrrgggggg” semua penonton terperjit di dapatinya, mata mereka focus di satu titik itu, piramida itu tak sesempurna tadi, satu persatu penari mulai turun dari formasinya, “bapakkkkk” teriakan Afif dari jarak duapuluh kaki dari area itu, Afif mendekat di lihatnya bapaknya terbaring dia tak sadarkan diri, keadaannya kala itu begitu genting, sekitar beberapa menit kemudian terdengar bunyi siulan ambulan, yang pastinya pihak panitialah yang memanggil mereka Afif tak kuasa melihatnya. Sesampainya di rumah sakit ibu datang dengan terengah-engah, terdengar suara pintu terbuka dokter keluar dari ruangan tersebut dan mereka pun terkejut
“Pak Rahman mengalami patah tulang ekor, sehingga harus di oprasi dan biayanya sekitar lima puluh juta, dan jika tidak segera di tangani maka ia akan meninggal”
“ ta tapi saya tidak punya biaya sebanyak itu dokter”
Tak ada jawaban dari si dokter sesegera mungkin ia meninggalkan Afif dan ibunya, di saat kondisi mereka terjepit oleh waktu mereka hanya bisa pasrah kepada sang kuasa. Ke esokan harinya ibu pun datang dengan membawa pundi-pundi hasil pinjaman dari tetangga sesegera mungkin beliau langsung menghubungi dokter.
“pak ini saya istri dari saudara Rahman, saya punya sedikit uang untuk biaya oprasi bolehkah dia di operasi sekarang” cetusan itu keluar dari mulut si ibu dengan senyumnya yang penuh harap.
“ mohon maaf ibu saya telat ngabarinnya, pada pukul tiga dini hari tadi Pak Rahman sudah tidak dapat tertolong lagi,”
“degggg” beberapa uang di tangan sang ibu jatuh berhamburan memenuhi plesteran rumah sakit, hingga kala itu beliau mengalami depresi yang sangat berat.
######
Derap kakinya mengebu-ngebu, didapati beberapa debu berterbangan, Afif menghentikan langkahnya matanya melihat kesegala arah, sembaring memaparkan kekecewaan.
“rek sepurane aku gak iso melok kesok” (kawan maaf aku gak bisa ikut besok) Afif menundukkan kepalanya, semuanya terdiam mata mereka membelalak, semuanya sunyi hingga satu diantara mereka mulai membuka bicara
“lha lapo kok gak iso, waktune garek kesok lo” (kenapa tidak bisa? waktunya tinggal besok),Mif berkata demikian ,apa daya Afif di sana, kalaupun dia merengek beribu ribu kali pasti teman teman nya tidak akan melepaskan nya begitu saja.
“aku wedi ibukku ngamok ngamok”( aku takut ibuku marah ) suara tegasnya yang khas seakan tidak melekat di tubuhnya lagi nadanya begitu lirih dan parau .
“ayo wes mosok amu gak gelem melestarikan budaya tradisional le awak dewe”(ayo dah masak kamu gak mau melestarikan budaya tradisionalnya kita ) Dimas memaksanya, mungkin mereka terlalu berantusias untuk megikuti acara ini, hinga mereka tidak mau kehilangan satu personilpun dari mereka.
######
Pagi ini mungkin tak ada lagi mendung, di sekeliling awan tak didapati awan berwarna gelap kali ini, sekarang cahaya matahari bebas menerobos masuk menuju bumi, dan kemungkinan besar tak ada hambatan diacara Galeri Pandalungan nanti, Afif membuka pintu kamarnya, “ngekkkkk” dia terperjit ibunya yang mungkin sedari tadi berdiri di sana menatap nya lekat-lekat, mata ibu yang sipit ini seakan berubah belo bak ikan mas koki, sangat menakutkan.
“Ape neng ndi amu le? wes gak usah nengndi ndi nengkene ae”(wes jangan kemana mana kamu di sini aja ) ujar ibu Afif seolah olah ia mengetahui semuanya
“Aku gak nengndi ndi buk emang aku nengndi “(aku gak mau kemana mana buk ,emang aku mau kemana) Afif berkata demikian, mukanya di perlihatkan tidak begitu pasti akan jawabannya.
“Ibu weroh amu de’ingi omong opo mbek koncomu ,amu di pekso melok kan mbek koncomu”( ibu tau kemaren kamu bicara apa sama temenmu, kamu di paksakan ikut kan sama temenmu).
Lantas saja Afif menundukkan kepala, tak ada sepenggal katapun terlontar di mulutnya, dia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya . hatinya meronta ronta ,kobaran api seakan melahap habis hatinya.dia hanya termenung dalam kesunyian
“Afif, hoy… Fif” suaranya lirih didapatinya dua sosok bayangan laki laki di balik kaca jendela, Fiqur dan Mif tidak salah lagi itu mereka mata Afif membelalak, mulutnya tercengang
“ayo cepat kemasi atributnya “ sesegera mungkin tangan Afif bersikeras meraba raba tempat bawah kasur, terdapat sebuah peti tua disana dan jika dibuka, itu adalah kostum milik almarhum bapaknya di ikatnya sebuah udong berwarna coklat di kepalanya dan sesegera mungkin meninggalkan kamarnya melewati jendela hingga menghasilkan suara tabrakan antar dua kayu jendela.
###
Senandungnya mulai bergemuruh, lantunan irama seakan manari nari di angkasa, hasil buah tabuhan campur antara beberapa kentongan seakan menguasai pelesteran Alun-alun Kota. Penari yang ahli telah menari mengikuti irama, di sana beberapa penari ada yang mulai menyusun sebuah formasi layaknya piramid, satu demi satu barisan anak tangga mulai terpenuhi dan akhirnya barisan arikmetika itu terasa begitu sempurna setelah didapati Afif mengisi formasi paling atas, semuanya terlihat takjub
“Afiff……”terdengar begitu lantang, hingga berhasil menghentikan beberapa tabuhan kentongan, matanya menyala nyala reka, seakan telah menumpas beberapa tawanan penjara, giginya menggeretak keras hingga menghasilkan bunyi.
“Ibuuu” Afif terkejut
“arrgggggggg”Afif terjatuh dari formasinya, sesegera mungkin sang ibu tergesa gesa berlari menemui anak tercintanya,umar memegang tangan Afif, nadinya masih berdetak, dia masih hidup. Dengan segera iapun dilarikan ke rumah sakit.
Di dalam ketidaksadarannya Afif tersenyum ia bangga telah menjadi pewaris Pandawa Pandalungan. Pewaris budaya kebanggaan almarhum bapaknya, kini ia tau betapa Sang Budayawan rela terlunta dengan hanya makan nasi jagung, namun hidup penuh suka cita, karena mereka bangga dan cinta dapat menjadi dan melestarikan budaya.
Dalam ketidaksadarannya Afif tersenyum, entah ia tak lagi bernafas atau masih saja berharap pada restu ibunya, baginya ia telah melaksanakan titah ayahanda.
Sumber gambar: ruangnegeri.com
Penulis merupakan siswa kelas X MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler penulisan kreatif sastra