Penulis: Tasya D. Amalia*
Nyiur melambai di sudut saung dekat selayang panjang sungai. Burung-burung menangis kelelahan kembali pada sarang. Seonggok sinar mentari meliuk, mengibas angin yang melayang. Berpetualang di antara dedaunan, mendobrak masuk kaca jendela kusam.
Sekilas tak begitu nampak bayang seseorang di dalamnya, namun jika kau perhatikan jauh kedalam ruang, ia ada di sana. Berdiri menghadapnya. Untuk kau tahu saja, meski pisau itu telah berhenti menggesek hingga dapat menguraikan isi perutnya. Darah tak hentinya mengalir bagai derasnya pancuran air. Matanya terbelalak menebalkan bagian hitamnya saja. Ia raih kusen meja menjaganya agar tak terjatuh. Tangannya bergetar mengimbangi rasa sakit.
“Ke… kena… pa?” ucapnya akhirnya. Ia tersenyum, “ Kau cantik, aku cemburu kau menjadi milik yang lain,” Ia terperangah.
Aku bodoh, umpatnya dalam hati.
“Tak perlu sedih, tentu semua memang karenamu. Cintaku, cemburuku dan benciku, jadi…”
AAAAA….. jeritnya. Di akhir hidupnya tak ada permintaan terakhir selain penyesalan. Ia tersungkur dengan bermandikan darah.
***
Diterpa sinar lampu jalan, ia berjalan seorang diri di tengah malam. Pandangannya menggerayang sukmanya yang kelaparan. Masih terngiang perkataan kekasihnya yang menghujam, “Sudah berakhir, aku bosan dan aku tak tahan, kau terlalu untukku yang tak tampan.”
Setelahnya ia berlalu meninggalkan sendiri di taman. Indahnya malam berkerlap-kerlip bintang tak mampu mengobati luka yang menganga itu. Bukan perpisahan yang membuatnya merana, melainkan kehadiran wanita lain yang begitu cepat didapatkan kekasihnya, sesaat setelah kata pisah menggema ditelinga. Wanita itu menarik pergi kekasihnya dengan menggaet pinggang lelaki itu. Ia merasa direndahkan, sebagai bunga desa ia telah memendam haraga diri untuk menerima cinta lelaki itu. Ia telan mentah-mentah gunjingan waga yang mengaggapnya bodoh menerima lamaran lelaki jelek itu. Seorang anaka kecil saja pasti menangis jikamelihat wajah lelaki itu meski sekilas. Ia terbuai akan putihnya tutur kata lekai itu yang sebenarnya memiliki hati legam sekeras batu. Bahkan, ia tinggalkan semua kebiasaan merawat diri agar pantas bersanding dengannya.
Pintu berderit, ia pergi ke rumahnya yang dulu. Selama menjadi kekasih lelaki itu tak sekalipun ia jejakan kaki dirumahnya. Air mukanya memerah menahan tangis. Ia masuki kamar tidur yang dirindukannya. Seketika ia disambut debu yang berterbangan menerpa wajahnya. Dilihat dari jaring laba-laba yang membingkai ruang nampak sekali terlalu lama ia pergi. Asa kini menghianati hatinya yang rapuh. Bergetar ia hampiri sebuah benda di sudut ruang kamarnya.
(baca juga: Memeluk Hujan)
Setinggi dua meter benda itu tegap menjulang tak bergeming sedikitpun. Ditariknya kain yang menutupi benda itu. Lantas terlihatlah sebongkah cermin yang berkilau, cermin itu memantulkan bayangnya di mata. Alangkah terkejutnya ia menyadari tak ada gurat yang berubah dari garis wajahnya. Padahal selama menjalin kasih tak pernah ia bersolek untuk menghargai kekasihnya itu. Mungkinkah karena ini lelaki itu pergi. Jengah ia melihat wajahnya sendiri. Malang nasib cermin itu harus retak sebab pukulan amarahnya. Tak sanggup ia berdiri lagi. Menangislah ia sesenggukan di lantai meratapi nestapa yang kian menuankan hidupnya. Ia menangis dan terus menangis, hanya dengan begitu sakitnya aakn berkurang. Berulang kali ia bersumpah serapah. Kau pasti tahu sakitnya ia.
Waktu terus bergulir tanpa henti, kurasa ia mulai bisa mengatur hati. Napasnya naik turun lancar, tak lagi ia mengguncang lantai dengan kepalan tangannya. Wajahnya terdongak memandang cermin bersemi cerah. Tak lama ia tertawa, begitu keras hingga busa putih keluar dari mulutnya. Oh tidak… ia melihatku.
“Hei… Kau! Lihatlah di cermin! Aku cantik bukan?” Sebisa mungkin aku tersenyum.
“Sungguh merugi orang yang mencampakanku. Aku saja dapat jatuh cinta pada diriku sendiri jika aku mau. Benar kan?” Aku kembali mengangguk, semakin terasa aura yang mengutuk dari tubuhnya. Ia terdiam, nampak seperti menimbang-nimbang.
“Bodohnya aku! Kenapa tidak dari dulu? Seharusnya kulakukan saja waktu itu. Ha… ha… ha… Kau dengar! Aku sudah menemukan kekasih baru.”
Sesuatu yang salah terjadi padanya. Wanita malang, akalnya menyempit terdorong nafsu balas dendam yang membara. Tak mampu kuberkata bahwa tindakannya telah melewati batas. Kuingin ia sadar. Aku ikut senang melihatnya tersenyum memandang pantulan wajahnya sendiri di cermin itu. Lukanya adalah lukaku, sungguh nista orang-orang yang berani menyakitinya. Kudengar ia bergumam, jantungku berpacu.
“Terimakasih telah menerimaku, kau selayaknya sinar mentari pengawal hidupku yang baru. Tak perlu kucari yang lain. Dengarlah isi hatiku! Kau, aku mencintaimu. Diriku.” Ucapnya dengan terus memandang bingkai wajahnya di cermin. Siapapun tolong aku, kau yang diluar masuklah. Saat ini aku tidak hanya takut tapi hatiku juga gusar. Firasatku mengatakan usiaku takkan lama lagi.
***
Debu terbang menghantuiku. Wanita itu tak hiraukan siapapun selain bingkai wajahnya di cermin itu. Setidaknya debu mendengar panggilanku, namun mengapa ia ajak seluruh temannya kemari. Tempat ini sudah sangat pengap dengan dilema wanita itu, kulihat ia kesulitan bernapas. Tak ada yang ia lakukan selain duduk menatap cermin. Badannya menjadi begitu kurus tanpa asupan energi yang masuk. Hanya senyum yang tak henti mengembang di bibirnya. Ia terjebak dalam alam hayal bersama dirinya yang berada di cermin itu. Seolah dirinya yang di cermin memadu kasih dengannya. Bersuka cita dan tak lupa membagi luka bersama. Wajah cantiknya berangsur keriput menyusut menjadi sangat menakutkan. Sebenarnya aku ingin lari namun aku terikat olehnya.
Aku mundur beberapa langkah saat tiba-tiba ia berdiri berkaca pinggang menghadap cermin. Sedetik kemudian ia berlari, secepat mungkin kuikuti ia, tak boleh aku lengah sedikitpun.
(baca juga: Menghitung 6666 Sajak Langit)
Ia telah kembali, berhenti tepat di depan cermin. Tersenyum sekali lagi, seketika suatu kilat menyilaukan mataku. Mengerjapku beberapa kali. Begitu berhasil kukendalikan diri betapa terkejut kumelihatnya. Ia bergetar bersandar pada kusen meja, sedang perutnya sendiri telah robek menganga mengeluarkan isi perutnya dengan sebilah pisau menancap di sana. Darah keluar layaknya air terjun abadi yang tak pernah surut. Ia kesakitan,
“Ke… kena… pa?” Kurasa ia benar-benar kehilangan akal, kini ia bertanya pada cermin.
“Kau cantik, aku cemburu kau menjadi milik yang lain,” Tak salah dengar aku. Astaga, dirinya yang di cermin berbicara.
“Aku bodoh!” Sumpah serapahnya didalam hati.
“Tak perlu sedih! Tentu semua memang karenamu. Cintaku, cemburuku dan benciku, jadi…” dirinya yang di cermin mengangkat tangan. Iapun sama mengangkat tangan. Dunia terbalik di hadapanku. Dirinya yang di cermin seolah bercermin padanya, ia mengikuti gerakan dirinya yang di cermin selayaknya cermin.
Aaaaa… dengan cepat dirinya yang di cermin menggenggam pisau itu dan menancapkannya semakin dalam. Pisau itu melanggar batas ruhnya dengan menusuk semua organ dalamnya. Diakhir hidupnya tak ada permintaan terakhir selain penyesalan.
Ia tumbang, tubuhnya menggeliat seperti ikan yang diletakkan pada daratan. Aku tak tahu harus bagaimana, sebagai bayangnya aku mulai memudar. Aku akan pergi bersamanya sebab aku terikat dengannya. Barang kali ini yang terbaik. Semua jasad takkan memiliki bayang, bukan? Begitulah aku saat ini, bayang terikat pada sukma tuannya. Dan pada akhirnya kami pergi meninggalkan cermin bingkai disana. Sendirian. Hingga debu waktu memakannya.
Cermin bingkai, bayang selamat tinggal….
Rabu, 04 April 2018
Di ujung ruang tanpa cermin bayang
*penulis adalah alumni SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, dan kini sedang studi sarjana di Universitas Negeri Malang