Sebening Telaga

Penulis: Haslina Masturo*

Semilir angin mengibas lembut ujung selendang. Diiringi bola mata yang sedang memandang kayu rindang menjulang. Menelisik pada ranting yang akan tumbang. Di ujung ranting terdapat selembar daun kering yang berdendang. Memberontak ingin terlepas dari ranting tumbang. Mencari kebebasan di luar ruang. Daun kering itu pun terlepas. Terbang terombang bersama desir angin sumbang. Melewati kapas-kapas putih luas membentang. Berpapasan dengan asap roket yang memanjang.

Daun kering telah terbang berjam-jam. Lelah. Waktunya mendarat. Di bawah sana terlihat hamparan sungai yang menggiring air mengalir ke hilir. Daun itu kini tiba di daratan. Daratan yang sangat sepi, bersih. Tak ada sekawanannya di sana. Bug…bug…bug…, terdengar suara hentak kaki mendekat pada daun itu. semakin dekat, semakin dekat. Sekarang, kaki yang menopang tubuh tinggi itu berada di hadapannya. Membungkuk, meraihnya. Lalu, tubuh tinggi itu meletakkannya pada sebuah wadah. Tempat sampah.

Srek…srek…srek…, sapu lidi itu terlihat menyapu dedaunan yang gugur. Dikomando oleh para santri yang memegangnya. Halaman luas itu kini telah bersih, tak ada satu pun sampah yang bermain tersapu angin. Sungguh asri.

****

Jejeran gedung-gedung berdiri kokoh mengitari halaman luas tadi. Berpijak di atas tanah seluas puluhan hektar. Pada gedung-gedung yang terdiri dari dua lantai tersebut masing-masing terdapat lima kamar yang terbaris rapi. Kamar-kamar itulah tempat dimana para santri tinggal.

Salah satu dari jejeran gedung-gedung itu terdapat satu gedung yang disebut  ndalem (rumah pengasuh) yang hanya ditempati oleh Kyai dan Bu.Nyai. Di dalam ndalem terdapat ruang tamu yang tidak terlalu luas dengan beberapa kursi dan meja. Di pinggir kanan ruang tamu ada sebuah lemari panjang berisikan kitab-kitab yang tersusun rapi. Mulai dari kitab tafsir, hadits, ushul fiqh serta kitab yang bermacam-macam dan berjilid-jilid lainnya. Pada dindingnya terdapat kaligrafi-kaligrafi, do`a-do`a, kalender dan juga jam dinding yang berada tepat di atas lemari.

Di sebelah selatan ndalem, terdapat koperasi yang menjual beraneka ragam barang. Mulai dari makanan, minuman, serta keperluan yang lain seperti pakaian, alat mandi, alat makan, alat tulis dan juga yang lainnya. Tak jauh dari koperasi, ada beberapa kamar mandi yang lumayan bersih dan air di bak mandinya pun dingin. Di atas kamar mandi terdapat loteng jemuran, dimana para santri menjemur pakaian yang sudah dicuci.

Di sebelah selatan asrama terdapat masjid yang besar dan luas. Masjid tersebut tidak hanya digunakan untuk kegiatan rohani, tapi juga digunakan untuk kegiatan belajar mengajar atau untuk tidur. Semua bangunan itu dibentengi tembok-tembok tinggi di setiap sudutnya yang bersambung dan berujung pada satu gerbang depan.

(baca juga: Akara Akalpa)

Berada di bawah naungan pondok pesantren Al- Mukarromah yang diasuh oleh Kyai.Mustofa dan Nyai. Fatimah, para santri dituntut untuk mematuhi peraturan pondok , menjalankan segala aktivitas yang telah dijadwal. Mulai dari sholat berjama`ah, mengaji, makan, piket serta belajar.

****

Kyai.Mustofa merupakan kyai tersohor di desanya. Kyai yang alim, bijaksana, baik kepada semua masyarakat terutama kepada seluruh santrinya yang berjumlah 3.000 santri. Beliau samgat jeli mengurusi semua santrinya. Namun beliau tak sendiri. Dibantu oleh para ustad serta para pengurus pondok dengan penuh hati. Mengajar, mengimami serta mengayomi itu adalah tugas seorang kyai, dan Kyai.Mustofa telah memenuhi itu semua.

Beliau sangat sederhana. Hampir setiap harinya hanya mengenakan sarung hijau, baju takwa putih dan kopyah putih. Terkadang mengenakan surban. Begitu juga dengan Nyai.Fatimah yang hanya memakai sewek (sampir), baju muslimah tempo dulu, dan kerudung trend dulu pula. Berjalan kaki mengontrol para santri dan keadaan pondok pesantren yang sangat luas.

Dari 3.000 santri, ada satu santri yang menjadi khaddam (pelayan) Kyai. Santri itu bernama Sholeh. Tugas khaddam tidak lain adalah membantu Kyai. Membantu dalam segala hal. Biasanya khaddam dipakon (disuruh) untuk menemani Kyai ketika beliau mios (bepergian). Acapkali khaddam dipakon untuk membersihkan ndalem, mencuci mobil, sepeda, serta mengurus kebun. Hampir sepuluh tahun Sholeh mengabdi di pondok pesantren Al-Mukarromah dan telah menjadi khaddam selama tiga tahun lebih. Dirinya sangat patuh pada pengasuh dan tak sekalipun membantah pakonan beliau.

Selama dia mengabdi, hatinya selalu bertanya-tanya pada satu hal. Pemuda itu heran, setiapkali membersihkan dhalem, pasti Kyai makon ( menyuruh ) untuk membersihkan seluruh ruangan kecuali bilik beliau. Tak ada seorang pun yang mengetahui isi bilik beliau, terutama Bu.Nyai.

“Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik bilik itu?” gumamnya.

Hingga pada suatu hari, Kyai mios untuk menghadiri undangan pengajian. Beliau menitipkan kunci biliknya kepada Sholeh. Beliau berpesan…

“Nak, Saya titip kunci ini. Jangan sampai ada yang membuka pintu kamar Saya! Terutama Bu.Nyai.”

“Enggeh, Kyai.” Jawab Sholeh paham.

Lalu Kyai pun berangkat. Di saat yang bersamaan, Sholeh didhikani (dipanggil) oleh Bu.Nyai.

“Kulo,Bu.Nyai.”

“Saya minta tolong, ambilkan sandal sucian Saya di kamar Kyai! Soalnya Saya mau sholat.” Pakon Bu.Nyai.

Degg… Sholeh bingung, resah. Tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tak ingin ingkar pada Kyai. Teringat… ketika Sholeh pernah ingkar pada ibunya. Sewaktu dia masih kecil seumuran anak SD. Pada saat itu, Sholeh dan ibunya pergi ke taman. Mereka bersenang-senang. Sang ibu berpesan  kepada Sholeh untuk tidak pergi ke jalan raya selama ibunya ke kamar mandi. Sholeh pun berjanji. Namun, dia ingkar pada  janjinya. Anak kecil itu berlari menghambur ke jalan raya untuk membeli sesuatu de seberang jalan. Sewaktu di tengah jalan raya, mobil melaju kencang dari sisi kanannya. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menangis. Pada saat mobil semakin dekat, ada yang mendorong tubuh mungil Sholeh ke pinggir jalan.

Brakk…..

Suara hantaman itu begitu keras. Menabrak orang yang mendorong Sholeh. Anak kecil itu menoleh ke belakang. Degg… dia mendapati ibunya  telah terkapar tak berdaya, berlumuran darah. Dirinya menjerit memanggil-manggil. Nihil. Ibunya sudah tiada.

“Nak, kenapa masih di sini. Saya tadi nyuruh apa?” Bu.Nyai membuyarkan lamunan Sholeh.   

“Oh…maafkan Saya, Bu.Nyai. Tadi Kyai berpesan kepada Saya untuk tidak memasuki bilik beliau.”

“Tidak apa-apa, Saya yang menyuruhmu. Nanti Saya yang akan bilang kepada Kyai.” Dawuh Bu.Nyai.

Sholeh makin risau. Hatinya kalut. Namun apalah daya, dia tak bisa membantah. Pemuda itu akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Kyai. Mulutnya komat-kamit melafalkan do`a tak henti-henti. Krek…dia membuka pintu itu pelan-pelan… pelan-pelan…dan, lelaki itu tambah bimgung. Tak ada yang mengejutkan di sini. Semua sama seperti biasanya. Ada dipan yang tidak terlalu lebar, lemari, meja kecil di pinggir dipan, pintu menuju kamar mandi, rak buku, kitab dan juga al-qur`an. Tak ada yang aneh.

(baca juga: Pekik Serak Suara Marsinah)

Perlahan Sholeh memasuki bilik itu. Dilihatnya sekitar, benar-benar tak ada yang aneh. Kemudian, dia pun mencari letak sandal itu. Ketemu. Sandal sucian di raih oleh tangan si khaddam. Setelah meraihnya, Sholeh masih terdiam. Memikirkan apa yang telah di sembunyikan oleh Kyai. Tiba-tiba telinganya mendapati suara aliran air yang sangat deras seperti air terjun. Menenangkan. Suara itu berasal dari langit-langit kamar. Lelaki itu langsung mendongakkan kepala. HAH….. tercekat. Badannya kaku seperti sehabis melihat hantu. Matanya membelalak, mulutnya menganga, benar-benar seperti melihat hantu. Tapi bukan hantu yang dia lihat, melainkan……..

****

Dirinya menghambur keluar bilik dan mengunci pintu itu lagi dengan masih tergenggam di tangannya. Tak terasa matanya mengalirkan bulir-bulir air. Dia menangis. Dadanya sesak. Dia menyesal atas semua dosa-dosa yang telah dia lakukan selama ini. Air matanya mengalir lebih deras. Dia tak bisa berkata apa-apa. Sehingga mulutnya bergetar mengatakan sesuatu.

“Tuhan…mengapa harus sekarang. Mengapa harus sekarang Engkau perlihatkan kepada hamba. Hamba belum siap melihat ini semua. Hamba resah, takut apabila hamba tidak bisa mencintai-Mu lebih dalam, hanya karena untuk saat ini hamba telah melihat SURGA-MU.”

ِإِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ ٭ وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم

فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي ٭ فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِيْم

Jember-Oktober

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember, pernah aktif sebagai peserta ekskul penulisan kreatif sastra

Related Post