Penulis: Tasya D. Amelia*
Berselimut dingin.
Jaket yang kugunakan tak mampu menahan deru kencang angin dimalam hari. Hawa itu menembus,menusuk ruas tulang,aku menggigil. Ketulusuri jalanan komplek. Sepi, kulihat beberapa rumah mematikan lampu. Mereka ingin beristirahat dari rutinitas hari. Sedang aku masih berjuang. Lampu senterku selalu berkedip, hari ini aku lupa mengisi baterainya. Lagi pula, sedari pagi aku sudah berada di jalan. Mengais rezeki melalui sekeping hati para petinggi.
Luka-lukaku belum kering,beruntung tadi aku selamat. Meskipun, sekarang aku harus berjalan terseret. Badanku sedikit ngilu,mobil itu menghantam tubuh sebelah kananku keras. Aku tak habis pikir,orang sekaya itu enggan bertanggung jawab. Tanpa kasihan, ia memakiku habis-habisan. Mengeluh tak guna, hidupku harus tetap berlanjut,tak peduli hujan atau panas, aku pasti berada di jalan.
“Mati kamu!” Kurasakan tubuhku lemas, seseorang mendekap mulutku. Aku tak kuasa bernapas. Pandanganku mengabur, kucoba meronta. Apa daya, tubuhku terlalu lelah. Sedetik kemudian, semua gelap.
***
Embun menerpa wajah. Tak dirasa semut menggigit kulit,badanku mati rasa, Dihiraukan bau busuk menyengat hidung. Perlahan kubuka mata, mentari telah tinggi menyilaukan.
Kusematkan kembali kancing-kancing bajuku. Mencoba berdiri, kucari jaket dibalik semak. Lalu kugunakan menutupi bajuku yang sobek. Tadi malam, rumput bergoyang. Samar-samar kulihat wajah itu. entah kapan dia pergi? Meninggalkanku terkapar diantara tumpukan sampah. Separah itukah aku hingga dia menyamakanku dengan sampah.
(baca juga: Pesan Cinta dari Hotel Yamato)
Kepalaku begitu berat, pandanganku berkunang-kunang. Aku merangkak, berteriak minta tolong. Perih, setiap bergerak. Apa guna suaraku habis digunakan menyanyi kemarin. Saat ini hanya takdir yang menuntunku. Bersamaku Ilahi menanti. Sampailah aku ditepi jalan, disana masih sepi, tiada nampak seseorang. Diujung tanduk, benar-benar tak berdaya, aku melayang.
Dalam sunyi, datang cahaya keemasan. Ia membawaku ke hulu, suatu tempat nun jauh di sana. Aku duduk di singgasana megah layaknya raja. Pakaianku telah berganti. Tak ada noda, tambalan, ataupun darah. Begitu menawan hingga aku tak henti-henti menyentuhnya. Sangat berbeda, wajahku bercahaya, kerudung menutupi rambutku. Ku dengar nyanyian indah menyapa, tak seperti suaraku saat mengamen dulu.
“Oh… iya!! Dimana semua orang? Mengapa mereka tidak datang menikmati keindahan ini? Pohon dengan buah tanpa kulit, jembatan diatas kolam penuh ikan, semerbak harum bunga ditaman. Mungkinkah aku…? atau mereka belum tahu? Sayang sekali mereka. Aku merasa beruntung.”
“ Kau memang beruntung.” Ku dengar suara dari langit.
“Aku rasa! Namun semua ini tidak berarti jika aku menikmatinya sendiri.”
“Kau memang tidak akan menikmatinya sendiri. Nanti disekelilingmu akan penuh dengan kebahagiaan. Tunggu saja!”
“Menunggu di sini?”
“Tidak, kau harus kembali. Aku hanya ingin kau tahu. Air matamu akan menjadi mutiara.”
“Seperti dongeng?”
“Bisa dibilang begitu”
“Lalu, bagaimana caraku kembali?”
“Mudah… pejamkan matamu, kemudian bukalah.”
Menghela napas, aku melihat dinding putih. “kau sudah sadar?” pria itu menghampiriku. Ia duduk disofa dekat ranjangku. Saat berdiri, di sofa meninggalkan bekas.
“Maaf, siapa anda wahai tuan? Dan mengapa saya berada disini?”
“Aku tahu kau terkejut. Aku orang yang membawamu kesini, kau kutemukan tergeletak dipinggir jalan, ku pikir kau sudah mati, mengingat… kondisimu begitu mengenaskan”
Aku hanya diam.
“Maafkan aku jika perkataanku menyakitimu.”
“Wahai tuan, tiada sekalipun saya tersakiti. Bagi saya pertolongan tuan telah mengembalikan hidup saya. Diri ini berhutang budi pada tuan. Bagaimana cara membalasnya tuan? Tolong jangan meminta materi, karena saya hanyalah pengamen yang mengiringi nyanyian dengan tepuk tangan.”
“Itu tak perlu. Demi Allah, aku ikhlas membantumu, tak pernah terpikir balasan darimu.”
“Tuan… bukan bermaksud lancang. Tapi, kita baru kenal. Sewajarnya tuan jangan terlalu percaya. Bukan tidak mungkin kemurahan hati tuan saya salah gunakan.”
Sejenak ia termenung, hatiku berdesir. Ia tersenyum mengangguk setuju. Ia biarkan aku bekerja di rumahnya sebagai ganti biaya rumah sakit. Namun ia bebaskan aku. “Kau bisa memulai dan mengakhirinya kapan saja.” Ucapnya sambil berlalu.
***
Petama kalinya, tubuhku tak tersengat terik matahari. Seperti biasa kugunakan jaket dan senter disaku, berjaga-jaga, memang mungkin aku tidak akan pulang larut lagi. Tapi, paling tidak senter ini tetap akan berguna. Rumahnya besar, halaman terhampar luas disertai taman bunga anggrek, di tengahnya kolam air mancur, segar. Ku lihat ia menantiku di ambang pintu.
“Kamu yakin hari ini mau kerja?” mengangguk mantap, kumasuki rumah itu mengekor di belakangnya.
“Di sini sudah banyak pembantu, kerja semampumu saja, dan ingat! Pintu besar disana dilarang untuk dibuka oleh orang selain aku.” Jelasnya.
(baca juga: Sumpah Pemuda Milenial)
“Kenapa tuan?” tanyaku.
“Di sanalah kamar mendiang orang tuaku. Aku tidak ingin satu barangpun berpindah. Dengan begitu aku selalu bisa mengenang mereka.”
Mentari merangsek, langit kelabu, bulir-bulir bening bertaburan, tak deras. Sepanjang hari aku bekerja tanpa kenal penat. Aku pamit padanya.
“Di luar hujan, diamlah disini sebentar. Jika kau takut untuk pulang malam, aku akan mengantarmu?”
“Tuan… di luar hanya gerimis. Tak usah risau, saya terbiasa sendiri.”
“Takkan kubiarkan kau sendiri lagi!”
“Permisi tuan, esok saya kembali, InsyaAllah.”
Berbalik arah, kuhiraukan dia. berjalan menjauh, melewati terpaan hujan dan angin. Suasana temaram dibimbing sinar rembulan,
***
Terhitung tiga bulan sudah aku bekerja di rumahnya. Seiring berjalannya waktu kami semakin dekat. Tak jarang kami bertukar pikiran satu sama lain, duduk di teras dan bersenda gurau.
“Kau tahu Maryam, dirimu begitu manis saat tersenyum. Kurasa… kau telah mencuri sekeping hatiku.”
Pipiku memerah. Entah karena merasa terhina atau tersanjung? Namun, tak kusadari. kedekatan kami membuat iri pembantunya yang lain. mereka menyimpan dendam berkesumat.
“Heh… Maryam, kau jangan lupa diri! Berani-beraninya kau bersama tuan. Kami heran, bukankah kau bekerja untuk membayar hutang. Bagaimana bisa gajimu lebih besar daripada kami? sedang kau tidak ada beda sama sekali dengan kami. mungkinkah kau menjual diri?” menghantam ulu hati, aku menangis di dalam. Lidahku kelu.
“Benar… lihatlah perutnya membesar! Kalau bukan cacingan pasti dia hamil!” aku terpojok. Aku terlalu bahagia tanpa menyadari perubahan tubuhku. Tak kusangkal, perutku memang membesar.
“Kenapa kalian tak hentinya mengganggu dia?”
Kami menoleh. Ia sudah berada di sampingku, berdiri berkaca pinggang. Semua membisu , kutundukkan kepala, mencoba menahan air yang berkubang di pelupuk mata. “ Pantaskah kalian seperti itu pada calon istriku?” lanjutnya.
Terbelalak, hatiku menjerijit tak percaya. Bahkan aku yakin mereka sama. Tangiskupun pecah, aliran itu begitu deras membasahi pipi. Aku terisak, tak kusangka pria ini begitu baik. demi membelaku ia rela berbohong. Memang hanya sementara. Namun, jujur sekeping hatiku telah tercuri.
“Sekarang kalian bubar! Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan? Jadi, jangan sampai saya mendengar sesuatu tentang masalah ini lagi.”Satu persatu mereka meninggalkan kami. kuusap airmataku, beranikan diri menegakkan kepala. Kemudian menyusul mereka.
“Mau kemana Maryam? Tempatmu bukan bersama mereka lagi. Sudah cukup, apa yang kau dengar tadi benar adanya. Sungguh Maryam, telah lama kuberikan sekeping hatiku padamu. Jangan tanya, tapi aku sudah tahu. Aku terima semua kekuranganmu. Kini kuharap kau meraihnya dengan sepenuh hati. Namun kumohon, jika kau tidak sudi, cukuplah kau letakkan kembali sekeping hati itu. jangan kau hempas. Aku tak tahu bagaimana nanti diriku?”
***
Masih ingat malam itu, dimana puncak kesabaranku di uji. Bertubi-tubu ujian mendera. Hingga Allah mengirim mas Imam, suami terkasihku. Menjadi malaikat tanpa sayap, meraihku dalam naungannya. Memoriku merekam jelas, pelukannya padaku menenangkan sekaligus meyakinkanku, bahwa cintanya begitu tulus. Bukan sekeping hati yang ia berikan, melainkan seluruh hatinya. Tak peduli aku telah berbadan dua, ia melayaniku layaknya ratu. Pernikahan kami begitu khidmat. Aku mendapat gaun seperti dimimpi, menawan hati yang memandang. Kini akupun menutup tubuh sepenuhnya. Kuserahkan semua untuknya tak akan kuperlihatkan lagi.
Mas Imam tak pernah menyinggung perasaanku, memasuki enam bulan pernikahan kami, belum sekalipun ia menjamahku. “ Adik, kasihku. Kau kelelahan?” aku menggeleng, sepanjang perjalanan ia genggam tanganku erat. “ bagaimana dengan jagoan kecil kita? Nak, apakah kau lelah? Tenang nak. Sekarang kita sudah sampai.” Kucubit perutnya, ia sedikit meringis. Kemudian kami turun dari mobil.
“Mas, kenapa berhenti di rumah sakit jiwa?”
“Kita akan mengunjungi saudara dekat.”
Kurapatkan diriku padanya. Disekelilingku penuh dengan orang gila. Kulihat mereka tertawa sendiri, terkadang mereka mendekat atau menarik ujung kerudungku. Seketika, suamiku merangkulku menjadi tameng bagiku. Seseorang suster membimbing kami kesuatu ruangan. Disana terdapat seorang pria melamun di pojok dinding. Kami hampiri dia. “ Kasihan sekali dia,” ucapku lirih.
“Dia adalah suami yang baik. usianya masih muda namun ia mencintai wanita lebih tua dua puluh tahun darinya. Entah bagaimana, suatu ketika ia bertengkar hebat dengan istrinya saat mengendarai mobil. Bahkan menabrak orang. Dalam perjalanan pulang pertengkaran masih berlanjut. Malang, mobil kehilangan kendali. Dan akhirnya, istrinya tiada.” Jelas suamiku.
“Itukah sebabnya ia jadi seperti ini, mas?”
“Bukan hanya itu. Ia melakukan dosa lain, ia tidak terima istrinya pergi. Hari itu juga ia mencari penyebabnya. Ia tidak mau disalahkan. Ia perlu pelampiasan.”
“Apakah benar dosa itu mas? Mana mungkin pria sebaik dia melakukan hal buruk. Sedang cinta untuk istrinya sangatlah dalam.”
“Aku juga tidak percaya, darahku mendidih setiap mengingatnya. Dan… tahukah kau istriku?”ia menghela napas berat. “ Dialah orangnya. Laki-laki dimalam itu… yang merenggut kehormatanmu. Menyakitimu tanpa perasaan. Dialah penjahatnya, ayah tiriku.”
Aku terpaku. Tiba-tiba perutku melilit. Kurasakan benar. Haruskah kuambil lagi sekeping hatiku walau terlanjur kuterima seluruh hatinya? Aku seorang istri. Mengandung adik suamiku.
Selesai, Jum’at 28 April 2017; 12.09
Mesir 1, Daltim.
P.P. Nuris Jember.
*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember berprestasi nasional bidang literasi, saat ini sedang menempuh studi sarjana di Universitas Negeri Malang