Penulis : Izzah Afkarina Mutmainnah*
Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Sejak kecil Sudirman diasuh oleh seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.
Saat berusia tujuh tahun, Sudirman belajar di sekolah pribumi, Sudirman kemudian dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, beliau pindah ke sekolah Wirotomo.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK Muhamadiyah, Solo, tetapi tidak sampai tamat, tetapi beliau turut mengikuti organisasi Pramuka Hizbul Wathan.
Pada 1936, Sudirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya. Setelah menikah, Sudirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.
(Baca juga: kisah sunan kalijaga menjaga tongkat hingga tiket nonton wayang)
Pada tahun 1936, Sudirman kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah. Selama mengajar, beliau banyak disegani oleh masyarakat.
Pada zaman penjajahan Jepang tepatnya 1944, beliau bergabung dengan tentara pembela tanah air di Bogor. Beliau dijadikan komandan dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama.
Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, beliau berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Kemudian beliau diangkat menjadi komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan pendidikannya.
Setelah proklamasi pada 1945, Jenderal Sudirman pergi ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno. Sang Proklamator menugaskan Jenderal Sudirman untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Ia lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
(Baca juga: puisi sapardi tak pernah selesai digali)
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, beliau terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Sudirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa.
Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang besar pertama yang ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun melantiknya sebagai Jenderal.
Pada 18 Desember 1945, Sudirman resmi diangkat menjadi panglima besar TKR setelah penarikan tentara Inggris lantaran diserang sejumlah pasukan yang diperintahkannya. Selang tiga tahun, Sang Jenderal menjadi saksi kegagalan negosiasi dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Sudirman juga menghadapi upaya kudeta tahta kepemimpinan pada 1948, seperti pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung. Hal itu melemahkan kondisi kesehatan Sudirman. Pada 1948 Sudirman didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC).
Hingga pada November 1948, paru-paru kanannya dikempeskan lantaran ditengarai sudah mengalami infeksi. Sudirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih, Yogyakarta. Ia lalu dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada Desember 1949.
Selang sebulan, tepatnya pada 18.30 tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.
Jenazah Sudirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari. Jenazah Sudirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi di belakang. (izz/jai)
Sumber gambar: merdeka.com
Penulis merupakan siswa aktif di ekstrakurikuler jurnalistik