Penulis: Amiroh Hilmi Wasalma*
Kicauan burung terus berbunyi hingga menghilang. Munculnya matahari hingga terbenam. Terlahir seorang aku di bumi. Tanggal 23 September 2001. Pertumbuhan di tubuhku mulai terlihat dengan baik, tanpa geajala yang menghadang.
Kakiku menapak di permukaan bumi hingga sekarang. Masa kecilku sudah terlewati. Saatnya masa dewasa tumbuh pada diriku, yang semuanya kukerjakan dengan sendirinya. Awal masa kecilku dipenuhi dengan permainann yang seru, penuh kasih sayang, dan penuh kebahagiaan yang lain. Kini dewasaku tidak lain sama seperti itu, satu hal yang kurang ketika aku dewasa. Kasih sayang kini pudar.
***
Aku memilki seorang kakak yang baik, cantik, perhatian, dan pintar. Ada satu kekurangan yang ada pada dirinya. Cuek. Dirinya terkenal sangat cuek pada orang yang tak ia kenal, sedang pada orang yang ia kenal, ia sangat akrab. Tapi pada diriku, aku merasa aku bukanlah orang yang ia kenal, bahkan buan siapa-siapa, walau sebenarnya aku adalah adik kandungnya. Aku dilahirkan pada Rahim yang sama sepertinya. Aku merasa sedih karena diperlakukan seperti itu. Di Pondok Pesantren Gontor, Ngawi. Acel. Nama yang dibuat oleh papa dan mama untuk dirinya.
***
Guyuran air terus memukuli permukaan bumi, hingga lumpuh. Rumahku bersuasana hening, semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ketika bagian keluargaku sudah berkumpul, keadaan tak bia berubah, selalu hening. Aku bosan dengan hal itu, aku ingin bercanda tawa bersama, bukan sibuk dengan sendiriya. Jarum jam terus berputar, hingga kak Acel memecahkan keheningan itu.
“Ma, aku lulus tes dan mendapat beasiswa terbaik di Universitas Gadjah Mada, dengan jurusan yang aku inginkan.” Kak Acel merasa sangat senang dan merasa dirinya telah menggapai semua bintang.
“Alhamdulilah, semoga impianmu bisa terwujud!” Tanggapan mama penuh kebanggaan. Jelas, mana ada orang tua yang nggak bangga dengan kesuksesan anaknya. Mereka merasa sudah berhasil mendidiknya.
Aku hanya dudu termangu menatap kesana-kemari mendengarkan gubrisan dari Acel dan mama. Aku turut menarik sudut bibir ketika kak Acel sedang bercerita. Walau sebenarnya, perasaanku bergemuruh seperti ada sesuatu yang membuatku jengkel. Aku memikirkan hal itu.
“Kenapa aku merasa sangat berbeda dari mama Viona dan kak Acel ya? Apa sebenarnya yang membuat aku merasa dibedakan?” Aku terus melamun dan mekanjutkan, “Apa karena prestasi? Kecantikan? Atau apa? Aku tidak mengerti!” perasaan kesal, ketidaksukaanku merajalela di pikiranku.
MTS aku memang sangat berbeda dari segi prestasi, kepintaran, kecantikan, atau yang lain, intinya sangat berbeda dengan kak Acel. Pikiran dan hatiku dipenuhi dengan permasalahan tersebut, ingin rasanya kumemuntahkannya.
***
Jarum jam terus berputar. Matahari bergantian dengan bulan. Hari bergantian sampai tujuh kali. Pondok Pesantren Gontor, yang bertempat di Ngawi. Pada hari minggu, di mana para santri bertemu kangen dengan keluarganya. Banyak dari beberapa santri yang sudah dipanggil namanya, hingga namaku dipanggil, mendengar itu aku merasa senang dan bahagia.
Semua rasa rinduku tercurahkan dengan berkumpulnya keluarga, seperti biasa kami makan bersama terlebih dahulu, kebiasaan keluargaku dari dulu. Selesai menyantap makan masing-masing, kami sibuk dengan yang diperbuat. Mama dengan kak Acel sibuk bercerita, berswafoto, dan bergurau, papa seperti biasa. Selalu sibuk dengan ponselnya, entah apa yang papa lihat. Berbeda dengan diriku, papa dan mama lupa membawakanku telepon genggam, jadi aku bingung aku harus melakukan apa. Serasa keheningan turun di tubuhku. Hanya tubuhku. Garing. Suasana panas telah membuat amarahku memuncak. Tak lama kemudian…
“Ming, gimana belajarnya?” Mama bertanya itu karena merasa kasihan padaku yang sudah dari tadi hanya bengong. Mama selalu bertanya tentang belajarku, seolah-olah ingin membedakanku dengan kak Acel.
“Ming, kenapa kenapa gak dijawab kalau mama lagi ngomong?” Tanya mama dengan nada tinggi. Aku hanya melengos kesal. Lalu aku berajak dari dudukku dan pergi dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirku.
Aku hanya bisa menghujankan tetes-tetesan darah dari dari mataku dan menyendiri.” Sebenarnya kesalahan itu ada pada diriku, tapi seandainya mama tidak membedakan antara aku dan kak Acel, semua tidak akan seperti ini.”
Waktu telah berlalu dengan desiran angin yang menemaniku dalam kesendirian, aku ta henti memikirkan hal tersebut, sebelum pekan tiba, aku terus berpikir, sesuatu apa yang bisa menghubungi mama dan aku bisa meminta maaf padanya.
“Bagaimana dengan meminjam Hp?” Itulah kalimat yang akan menolongku untung membawa kata maaf pada mamaku.
Lalu aku menekan nomor yang akan aku tuju. Memanggil_berdering_menghubungkan…lalu kuangkat dan mulai mengeluarkan suara.
(baca juga: Ibu Kasihmu Menggenangiku)
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam. Kenapa Ming? Ada apa?” Dua lontaran pertanyaan itu muncul dari balik Hp.
“Mama, Iming minta maaf tentang masalah minggu kemarin. Iming kabur dari kiriman dan nggak jawab pertanyaan mama, karena Iming kemarin merasa nggak dianggap. Iming hanya bisu melihat Mama dan kak Acel saja yang bergurau. Dari situ Iming merasa dibedakan sama Mama, Iming sama Kak Acel memang beda, tapi kan sama-sama dilahirin dari rahim yang sama?” Panjang lebar aku ceritakan isi hatiku kepada mama dengan tangisan yang keras.
“Mama tahu, bukannya mama membeda-bedakan kamu sama Kak Acel, mungkin Kamu kurang berkomunikasi dengan mama, Kamu hanya diam saat itu. Waktu mama tanya, Iming malah nggak jawab.”
“Karena Iming sudah gak bisa nahan amarah yang sudah ada di pucuk. Jadi, Iming terpaksa untu kabur. Sebenarnya bukan cuma Kak Acel yang ingin bercerita. Iming juga ingin sharing-sharinng ke Mama!!” Isakan tangisku semakin kencang, aku sudah tidak bisa menahannya. Kumatikan hubungan itu dengan menekan tombol merah, ya…walaupun perbincangan itu bel selesai.
Dua pekan telah tiba. Tiba waktunya aku dikirim lagi. Aku bingung, takut, gelisah, berpikir entah apa yang aku harus aku lakukan nanti. Di saat aku melamun…..
“Iming Kamu dikunjungi, tuh ditunggu di depan sama mamamu, dari tadi lo…” Lesi. Salah seorang temanku memberi tahu padaku. Aku hanya bingung menemui atau tidak. Setelah berpikir lama…akhirnya aku memutuskan untuk menemui mereka.
Tiba di lokasi kunjungan, aku melihat masing-masing punggung dari mereka. Ketika mereka melihatku, turut aku menyalami punggung tangan mereka satu persatu. Sambil aku mengucapkan…
“Papa, mama, kakak, Iming minta maaf soal dua minggu yang lalu.” Perasaanku dipenuhi rasa malu, takut, gengsi, dan ingin mengeluarkan air mata.
“Iya, kita juga minta maaf.” Serentak jawaban mereka sama.
“Terima kasih langit dengan ini aku bisa bercanda tawa dengan mereka. Hari ini ku ungkapkan pada udara yang telah menemaniku, kala aku sendiri tak ada yang menemaniku untuk ku lampiaskan amarah ini, namun terima kasih telah menjaga mulutku untuk tidak mengungkapkan kata atau kalimat yang tidak pantas diuatarakan pada orang tua.”
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember tahun 2021