Penulis: Siti Faizahtul Ummah*
Pendaratan Belanda di wilayah timur pulau Jawa diawali dengan mondar-mandirnya kapal Belanda di dekat pantai Pasir Putih dan Banyuwangi.[1] Pasukan pertahanan yang mengetahui hal tersebut langsung melaporkan ke pusat pertahanan. Seluruh kesatuan pertahanan dan laskar-laskar pejuang mulai bersiaga untuk menyambut serangan dari pasukan Belanda. Komando pasukan pertahanan dipegang oleh Resimen 40 dari Divisi VII/Surapati yang berkedudukan di Jember.
Akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 kapal Belanda mendaratkan pasukannya di Pantai Pasir Putih dan Banyuwangi diiringi dengan tembakan ke segala arah pesisir pantai. Tujuannya agar pendaratan berjalan dengan lancar dan tidak ada serangan dari pihak Indonesia. Tembakan ini menewaskan 6 orang anggota ALRI. Serangan yang tiba-tiba dengan persenjataan lengkap ini membuat pasukan pertahanan tidak sempat melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
(Baca juga: prasasti batu gong peninggalan sejarah kerajaan majapahit di jember)
Mundurnya pasukan pertahanan Indonesia, membuat pasukan Belanda menjadi lebih mudah menguasai kota Besuki, Bondowoso, dan bergerak menuju Jember dengan sangat cepat. Belanda dapat menguasai Kota Besuki pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 16.00 WIB. Sehari kemudian, tepatnya 22 Juli 1947 Belanda berhasil melumpuhkan dan menduduki Kota Bondowoso pukul 13.30 WIB. Dihari yang sama, Belanda melanjutkan serangannya ke Jember dan berhasil menduduki Jember pada pukul 16.00 WIB. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991:137)
Perjanjian Renville, dilaksanakan di kapal perang USS. Renville, milik Amerika Serikat yang berlabuh di teluk Jakarta. Hasil dari Perjanjian Renville agar pemerintah Indonesia mengosongkan kantung – kantung gerilya seperti menarik pasukan bersenjata yang bergerilya beserta unsur atau aparat pemerintah darurat Indonesia di daerah pendudukan Belanda. Maka pasukan dan laskar pejuang Indonesia hijrah dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah Republik Indonesia. Dengan hijrahnya prajurit-prajurit pejuang dari kantung-kantung gerilya, maka pihak Belanda mulai masuk dan menguasai wilayah – wilayah tersebut. Militer Indonesia menjadi semakin terpojok baik strategis maupun taktis. Ruang gerak menjadi terbatas.
(Baca juga: sejarah perkembangan e-sports di dunia)
Di Jawa Timur, sekitar 6000 tentara harus hijrah. Wilayah-wilayah tujuan hijrah di Jawa Timur antara lain Blitar, Kediri, Madiun, Ponorogo, dan daerah sekitarnya. Namun Belanda melanggar perjanjian yang dibuatnya sendiri. Kali ini belanda melanggar dengan melakukan Operatie Kraal (Operasi Gagak) pada malam tanggal 18 menjelang 19 Desember 1948 dengan menyerang ibu kota RI di Yogyakarta. Tujuan dari Operatie Kraal ini adalah penghapusan kepemimpinan politik dan militer Republik Indonesia dan kependudukan berbagai pusat utama pemerintah di Jawa dan Sumatera, termasuk Ibu Kota Republik Indonesia, yaitu Yogyakarta.
Operasi gagak berakhir pada 31 Desember 1948 di daerah Jawa dan Sumatera pada tanggal 5 januari 1949. Agresi Militer II ini berakhir ketika Dewan Keamanan PBB mengecam keras aksi agresi militer tersebut. Belanda menjadi terisolasi secara internasional dan kekuatan militer republik ternyata tetap menjadi satu kesatuan. Karesidenan Besuki di masa Agresi Militer II menjadi wilayah kekuasaan Belanda, termasuk Jember. Pada Agresi Militer II ini, Laskar Islam dan Elang Emas yang di pimpin oleh KH. Chalim shiddiq banyak melakukan perlawanan. Laskar Elang Emas beroperasi di lereng bagian selatan Pegunungan Ijang (ijanggeberte).
Pada Agresi Militer II ini terjadi peristiwa Palagan Jomerto. Peristiwa perjalanan jauh (long march) yang dilakukan pasukan mobile brigade (mobrig) pimimpan AKP Tk l Soekari dari Desa Jarak, Ponorogo menuju Maesan, Bondowoso sebagai markas utama. Ketika perjalanannya sampai di Desa Jumerto, terjadi penyerangan oleh tentara Belanda. Maka terjadilah pertempuran di Desa Jumerto yang menjadi palagan atau pertempuran melawan pasukan Belanda dan KNIL yang bermarkas di jember (sekitar 15 km dari Jumerto). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Februari 1949, tiga hari setelah gugurnya Letkol Moch. Sroedji dan Letkol dr. Soebandi di Karang Kedawung, Mumbulsari tanggal 8 Februari 1949.
Pada waktu subuh, 11 Februari 1949 bertepatan dengan hari kamis dengan weton kliwon, penduduk Jomerto mulai beraktifitas. Tetapi tiba-tiba dikejutkan dengan rentetan tembak-menembak. Pasukan KNIL menyerang pasukan mobile brigade pimpinan Soekari. Pertempuran yang tidak seimbang ini mengakibatkan jatuh korban dari pasukan mobrig dan rakyat. Korban dari pasukan mobrig berjatuhan karena dalam kondisi kelelahan dari perjalanan jauh (long march) dan korban dari rakyat berjatuhan karena pasukan Belanda membabi buta terhadap setiap laki-laki dan langsung ditembak. Tercatat 13 anggota mobile brigade gugur dan 20 rakyat sipil tewas.
Peristiwa penyerangan di Jomerto menjadi berita internasional tatkala Het Parool, sebuah koran di Belanda, pada 4 April 1949 memberitakan adanya laporan pelanggaran perang yang dilakukan Belanda dengan membunuh 20 rakyat sipil di Jumerto, Jember. Voorzitter van het commite voor oorlogsslachtoffer (ketua komite untuk korban perang) di Jember melaporkan kepada Heet Parool, bahwa peristiwa 10 Februari 1949 di Jumerto telah terjadi pelanggaran perang yang dilakukan tentara Belanda dengan menembaki rakyat sipil sehingga menewaskan 20 rakyat sipil.
Penulis merupakan siswa kelas XI IPS SMA Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler karya tulis ilmuah