Tata Krama kepada Guru (Bagian #3)

Ketiga: Mencari Rida Guru

وَاجْتَنِبَنْ مَـــــا كَانَ عَنْهُ يَرْغَبُ            بَلِ اشْتِغَالُ مَــــا يَسُرُّ وَاجِبُ

Hindari yang menjadikan guru murka

kerjakanlah apa yang gurumu suka

وَاطْلُبْ رِضَـــاهُ أَبَدًا لِتَسْلَمَـــا             طَالِعْ مِرَارًا دَرْسَـــهُ لِتَعْلَمَـــا

Raihlah rida guru agar selamat

baca berulang kitabnya agar ingat

وَاسْأَلْهُ مَــــا أَبْهَمَ مِنْ أَبْــــوَابِ           مُوَقِّرًا لَهُ وَلِلْكِتَــــــــــــابِ 

Yang tak mengerti tanyakan pada guru

 dengan menghormat kitab beserta guru

Syarah:
Rida guru adalah segala-galanya bagi seorang murid sejati. Maka dari itu, semua yang dilakukannya terkait keilmuan tidak lain ialah untuk mencari rida guru. Tata krama apapun yang dilakukan murid di hadapan gurunya tidak lain kecuali untuk mendapat ridanya.

Al-Habib Zain ibn Ibrâhîm ibn Sumaith juga mengutip sebuah ungkapan yang menjelaskan bahwa guru merupakan orang tua yang paling utama diantara tiga macam orang tua yang wajib dihormati, sebagai berikut:

آبَآؤُكَ ثَلاَثَةٌ: أَبُوْكَ الَّذِيْ وَلَدَكَ، وَالَّذِيْ زَوَّجَكَ ابْنَتَهُ، وَالَّذِيْ عَلَّمَكَ وَهُوَ أَفْضَلُهُمْ (المنهج السوي، ص. 218)

Orang tuamu ada tiga: orang tua yang menjadi sebab terlahirnya kamu dan mertuamu , dan gurumu—beliaulah yang paling utama (di antara para orang tua tersebut) (al-Manhaj al-Sawîy, h. 218)

(baca juga: Tradisi Ilmiah di Pesantren)

Syaikh Ibrâhîm ibn Ismâ’îl juga menukil satu cerita tentang Iskandar Dzulqarnain ketika ditanya mengapa ia begitu menghormati guru, dan ia menjawab:

ِلأَنَّ أَبِى أَنْزَلَنِى مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ، وَأُسْتَاذِيْ يَرْفَعُنِى مِنَ اْلأَرْضِ إِلَى السَّمَآءِ (شرح تعليم المتعلم…، ص. 17)

Karena orang tuaku ‘menurunkan’ aku dari langit ke bumi, sementara guruku ‘menaikkan’ aku dari bumi ke langit… (Syarh Ta’lîm al-Muta’allim…, h. 17)

Selanjutnya Syaikh Ibrâhîm ibn Ismâ’îl menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘menurunkan dari langit ke bumi’ ialah bahwa ayah dan ibu merupakan perantara lahirnya seorang anak dari alam ruh ke dunia ini. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘menaikkan dari bumi ke langit’ ialah bahwa guru merupakan perantara naiknya seorang anak menuju keluhuran jiwa melalui ilmu yang diajarkannya.

Karena itulah, posisi guru—dalam konteks pendidikan—melebihi orang tua kandung. Maka tidak aneh, jika rida guru adalah segala-galanya bagi murid sejati. Apalagi yang lebih membahagiakan seorang murid selain membuat gurunya rida, rela, dan senang akan dirinya dan dia wujudkan dalam bentuk mengabdi dengan tulus kepada sang guru, sebagaimana telah banyak diteladankan oleh ulama besar terdahulu yang sukses di dalam menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki berkata:

ثَبَاتُ الْعِلْمِ بِالْمُذَاكَرَةِ, وَبَرَكَتُهُ بِالْخِدْمَةِ, وَنَفْعُهُ بِرِضَا الشَّيخِ

Melekatnya ilmu dapat diperoleh dengan cara banyak mengulang pelajaran,dan berkahnya dapat diraih dengan cara berkhidmat, sedangkan manfaatnya dapat diperoleh dengan adanya restu dari sang guru. (Istihrajul la’ali Wal Almas, Hal 51)

Adapun cara mencari rida guru bisa diupayakan dengan tiga sikap. Pertama, menghindari hal-hal yang tidak disukai guru; serta selalu melakukan hal-hal yang membahagiakan guru. Kedua, mempelajari pelajaran yang sudah disampaikan guru secara berulang. Dan ketiga, bertanya pada guru tentang pelajaran yang belum dipahami sembari memilih waktu yang tidak mengganggu kesibukannya dan jangan sampai meletakan kitab di tempat yang tidak pantas pun menghindari corat-coret kitab dengan tulisan yang tidak perlu.

Dengan penjelasan yang lebih rinci, az-Zarnûjîy menyampaikan beberapa contoh sikap yang bertujuan untuk mendapatkan rida guru:

وَمِنْ تَوْقِيْرِ الْمُعَلِّمِ أَنْ لاَ يَمْشِيَ أَمَامَهُ وَلاَ يَجْلِسَ مَكَانَهُ وَلاَ يَبْتَدِئَ اْلكَلاَمَ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ يَسْأَلَ شَيْئًا عِنْدَ مَلاَلَتِهِ وَيُرَاعِىَ الْوَقْتَ وَلاَ يَدُقَّ الْبَابَ بَلْ يَصْبِرَ حَتَّى يَخْرُجَ… (تعليم المتعلم، ص. 43)

Sebagian bentuk menghormat guru ialah (bahwa seorang murid) tidak berjalan di hadapan guru, tidak duduk di tempat guru, tidak memulai pembicaraan di hadapan guru kecuali sudah diizinkan, tidak bertanya tentang suatu hal ketika (terlihat) kondisi guru sedang lelah, harus tahu waktu: (ketika sowan ke rumah guru), tidak mengetuk pintu rumahnya, namun mesti sabar sampai beliau sendiri keluar (membukakan pintu) (az-Zarnûjîy, Ta’lîm al-Muta’allim…, h. 16)

Petunjuk Syaikh Abdul Qodir Al Jailani di antara tata krama yang harus dilakukan seorang murid kepada gurunya:

قَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ القَادِرِ الجَيْلَانِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَمِنْ آدَابِ الْمُرِيْدِ: أَنْ لَا يَتَكَلَّمَ بَيْنَ يَدَيْ شَيْخِهِ إِلَّا فِي حَالَةِ الضَّرُوْرَةِ, وَاَنْ لاَ يُظْهِرَ شَيْئاً مِنْ مَنَاقِبِ نَفْسِهِ بَيْنَ يَدَيْهِ, اِلَى اَنْ قَالَ…. وَيَحْذَرَ مُخَالَفَتَهُ جِدًّا, لِأَنَّ مُخَالَفَةَ الشُّيُوْخِ سَمٌّ قَاتِلٌ فِيْهَا مَضَرَّةٌ عَامَّةٌ , فَلَا يُخَالِفُهُ بِتَصْرِيْحٍ وَلَا بِتَأْوِيْلٍ (الغنية, ص 167-168)

Kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Ra: diantara tata krama pembelajar kepada guru, adalah jangan berbicara di hadapan guru kecuali diperlukan. Jangan menceritakan sesuatu tentang kebaikan dirinya di hadapan guru. Hindarilah menentang guru, karena sesungguhnya perbuatan tersebut bagaikan racun yang mematikan yang sangat besar bahayanya, dan janganlah bertolak belakang dengan guru baik secara terbuka atau tertutup. (Al-Gunyah, hal 167-168)

Beberapa contoh sikap seorang murid kepada gurunya yang telah diteladankan oleh ulama salaf diantaranya ialah:

قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ذَلَلْتُ طَالِبًا فَعَزَزْتُ مَطْلُوبًا.

Kata Ibnu Abbas Ra: kerendahan hatiku pada saat aku menjadi murid telah menjadikan aku mulia ketika aku menjadi guru. (Al Manhajus Sawi, hal 212)

وَقَدْ كَانَ اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَذْهَبُ اِلَى بَيْتِ أُبَيِّ بْنِ كَعَبٍ فَيَجِدُ بَابَهُ تَارَةً مَفْتُوْحًا فَيَأْذَنُ لَهُ فِي الدُّخُوْلِ سَرِيْعًا, وَتَارَةً مَغْلُوْقًا فَيَسْتَحْيِ اَنْ يَطْرُقَ عَلَيْهِ الْبَابَ, فَيَمْكُثُ حَتَّى رُبَّمَا مَضٰى عَلَيْهِ أَكْثَرُ النَّهَارِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى بَابِ الدَّارِ وَالرِّيْحُ تُسِفُّ عَلَيْهِ التُّرَابُ, إِلَى اَنْ يَصِيْرَ لَا يُعْرَفُ مِنْ كَثْرَةِ الْغُبَارِ الَّذِى عَلِقَ بِبَدَنِهِ وَثِيَابِهِ, فَيَخْرُجُ أُبَيٌّ رَضِيَ الله عَنْهُ فَيَرَاهُ فِي تِلْكَ الْـحَالَةِ, فَيَعْظُمُ عَلَيْهِ, فَيَقُوْلُ: لِمَ لَا اِسْتَأْذَنْتَ؟ فَيَعْتَذِرُ لَهُ بِالْـحَيَاءِ مِنْهُ. انتهى.

Ibnu Abbas Ra (saudara sepupu Rasulullah Saw) ketika belajar ke rumah Ubai bin Ka’ab Ra (seorang sahabat ahli al Qur’an) kadang dia menemukan pintu rumah Ubai Ra sedang terbuka yang berarti dia diperkenankan untuk segera masuk. Kadang kala dia menemukan pintu rumah Ubai Ra tertutup, maka dia segan untuk mengetuknya. Ibnu Abbas Ra menunggu seharian sembari duduk di depan pintu sementara angin yang membawa debu berhembus mengenai badan dan pakaian Ibn Abbas, sehingga Ibnu Abbas Ra tidak bisa dikenali karena badan dan bajunya berlumur debu. Pada saat keluar dari rumahnya, Ubai RA terheran-heran karena melihat Ibnu Abbas RA badan dan bajunya bergelimang dengan debu sembari berkata: “mengapa kamu tidak minta izin untuk masuk?” Ibnu Abbas Ra minta maaf dan merasa malu kepada Ubai Ra. (Al Manhajus Sawi, hal 212-213)

Teladan yang lain dari salah seorang imam mazhab yang empat, yaitu Imam Syafi’i Ra

قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِي رَحِمَهُ الله تَعَالَى: كُنْتُ أَتَصَفَّحُ الوَرَقَةَ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ رَحِمَهُ الله صَفْحًا رَقِيْقًا هَيْبَةً لَهُ لِئَلَّا يَسْمَعُ وَقْعَهَا

Kata Imam Syafi’i Ra, ketika aku membuka lembaran-lembaran kitab dihadapan guruku Imam Malik, aku lakukan dengan pelan-pelan agar beliau tidak mendengar bunyinya karena hormat kepada beliau. (Al Manhajus Sawi, Hal 219)

(baca juga: Seri 1, Ngaji Risalah Antara Sunah dan Bid’ah)

Sikap sopan Imam Syafii Ra diteladani oleh murid beliau yang bernama Imam ar-Robi’ saat berada dihadapan imam Syafi’i:

قَالَ الرَّبِيْعُ صَاحِبُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ الله عَنْهُمَا: مَا اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ

Kata al-Robi’ (murid Imam Syafi’i) aku tidak berani minum air dihadapan guruku Imam Syafi’i pada saat beliau melihat aku, karena aku hormat pada beliau. (Al Manhajus Sawi, Hal 219)

Begitulah suri teladan dari para ulama salaf ketika berinteraksi dengan para guru mereka, sangat berhati-hati dan menjaga perasaan sang guru agar tidak terganggu oleh sikap dan tingkah laku muridnya. Dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa Ibnu Abbas Ra, Imam Syafi’i, al-Robi’ dan lain sebagainya merupakan ulama yang cemerlang, ilmunya sejak lebih dari seribu tahun yang lalu sampai saat ini di kaji dan menjadi rujukan utama umat Islam di seluruh dunia, sebagai bukti bahwa ilmu mereka barokah dan manfaat.

Sedemikian berhati-hati ulama zaman dahulu di dalam menjaga hubungannya dengan guru agar meraih ridanya, sehingga mereka tidak ingin tahu tentang persoalan pribadi sang guru sebagaimana dicontohkan oleh Imam Sya’roni, seorang ulama sufi kenamaan:

كَانَ الاِمَامُ الشَعْرَانِي رَحِمَهُ اللهُ إِذَا خَرَجَ لِلدَّرْسِ لِيَقْرَأَ عَلَى شَيْخِهِ يَتَصَدَّقُ عَنْهُ فيِ الطَّرِيْقِ بِمَا تَيَسَّرَ, وَيَقُوْلُ: اللهم اسْتُرْ عَنِّي عَيْبَ مُعَلِّمِي حَتىَّ لاَ تَقَعَ عَيْنِي لَهُ عَلىَ نَقِيْصَةٍ وَلاَ يُبَلِّغَنِي ذَلِكَ عَنْهُ أَحَدٌ (المنهج السوي, ص 220)

Ketika Imam Al-Sya’rani Rahimahullah akan berangkat belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah semampunya di jalan yang dilewatinya, sembari berdoa: “Ya Allah, Jangan perlihatkan kepadaku kelemahan guruku sehingga mataku tidak melihat kekurangannya dan jangan sampai ada seorang pun yang memberitahu tentang cela guruku” (Al-Manhaj al-Sawi, hal 220([AF.Editor]

*terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad

Related Post