Tawarik Falah

Penulis: Aldhila Ayu Widianingrum*

Awan biru yang menggugurkan halimun yang masih berkeliaran di sela sela kota, dan beberapa saat matahari berhasil mengalir mengusir halimun, menjadikan kota terenyuh sibuk di kiani masing masing. Aku menyapu jalanan menuju kota kecil berisi perlengkapan santri.memasuki toko itu,masih beberapa langkah.

“Hei penyusup, Kamu membawa tas yang berisi bom kan?” Teriakan itu berasal dari kasir yang lumayan tua. Takut kebingungan maksud dari kakek itu apa aku yang membawa bom itu? Aku juga salah memakai baju yang sangat  tidak wajar.memakai celana jeans tidak ketat, dan memasangkan dengan blazer yang berkaos panjang lirs hitam putih, satu lagi aku berkacamata dan memakai masker. Seluruh isi toko mempusatkan durjanya dengan tajam kepadaku.

“Tidak, aku hanya ingin membeli peralatan untuk ke pesantren!” Teriakku.

“Halah, tidak usah banyak alasan Kamu.” Teriak salah satu bapak di toko itu.

“Tangkap.” Ujar kasir itu.

Tanpa kendali yang harus kukendalikan, lari menyusuri pinggiran jalan sang sepanjang jalan yang sudah sengaja disediakan di piring bumi. Hingga jam telah memilih angka berjarum 09.00. Aku belok di rumah yang kelihatannya tak bertuan. Tanpa aku pikir panjang aku memasukinya. Dengan nafas yang belum teratur, aku masih mengawasi bapak bapak yang salah paham itu. Ternyata mereka tidak berhasil menemukanku. Tanda tanda aku aman di sini.

(baca juga: Hujan dan Embun)

Sekarang satu lagi yang berhasil mengofirmasi di pikiranku, sebuah rumah tanpa Nara yang sengaja aku masuki tanpa izin. Segera aku melihat ruangan tanpa Nara itu. Aku mengernyit heran melihat Patung Binara kecil yang kelihatannya mempunyai banyak sejarah dan sebuah buku yang fanatik untuk falsafah bau asa. Aku mendekati Binara itu dengan mengelus-elus, seketika buku di samping Binara mungil itu terbuka pelan-pelan dan terdapat cahaya yang menyilaukan mataku. Muncullah kucing biru itu di atas buku, dengan suara mungil kucing itu berjalan hingga berhenti di depan pintu. Mata kucing itu menatapku berkali-kali, mengisyaratkan agar aku mengikuti kucing kecil itu.

Aku mengikuti kucing biru yang sedang berjalan di depanku. Tak lama kemudian di dalam ruangan itu ada sebuah tombol, kucing itu mmenekannya. Muncullah sebuah lukisan tiga dimensi memenuhi tembok. Ukurannya sangat lah lebar, isi lukisan itu ada seseorang perempuan berlagak santri dengan menggengam pedangnya, menangkis langit berhadap dengan sekumpulan tentara Belanda bersenjata lengkap. Lama-kelamaan lukisan itu bergerak seperti ada alur bersejarah di dalamnya. Aku hanya bisa heran dan bertanya-tanya dengan tanpa ada yang memberikan jawabannya.

“Mustahil kucing bisa jawab, apa sejarah lukisan ini?” Lirihku pelan.

“Lihatlah lukisan itu, dan lakukanlah jika ada yang perlu Kau lakukan!” Ujar seketika kucing itu menatapku dan bersuara selayaknya kucing biasa. Aku tahu halusinasi itu terperangkap di pikiranku.

“Meong…meong…” Suara yang berhasil memecahkan lamunku.

Lukisan itu bergerak banyak. Perempuan pedang itu melawan tentara, hampir sedikit lagi ia kalah. Dan mengucapkan lafaz “laillla ha illallah” selantangnya memecah bumi. Hingga terpungkurnya tentara-tentara itu, pertempuran itu selesai dengan selamat.

(baca juga: Bilangan Mencintai)

Perempuan pedang itu pulang ke rumah orang tuanya, diakui perempuan pedang itu anak yang durhaka kepada orang tuanya karena anaknya sangat susah dinasihati, disepakati untuk diserahkan pada pesantren. Tetapi, ia tidak menyetujui kesepakatan orang tuanya, akhirnya ia kabur dari rumah dan menginap di kosan dan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia sangatlah nakal dan sering ia harus menerima amarah orang tuanya semenjak ia kabur. Tiada satupun yang memedulikannya saat di kota tiga dimensi itu dikenai sedang ramainya dijelajahi tentara Belanda. Ia tak menghiraukan hal itu. Hingga ia keluar dari kosan dan terjadilah kejadian itu menghadangnya.

Ia menyesal hingga akhirnya meminta maaf kepada orang tuanya dan menuruti kata orang tuanya untuk memasuki ke pesantren yang sudah didaftarkan pada perempuan pedang itu. Sudah tiga tahun lamanya, ia lulus dan menjadi perempuan yang sukses di antara seluruh keluarganya. Banggalah  kedua orang tua perempuan berpedang itu.

Lukisan tiga dimensi itu berubah menjadi buram dan hingga kembali asal menjadi tembok putih yang sangat polos dan tidak sedikit pun sejarah yang terlihat. Kucing biru itu mengajakku untuk kembali ke buku di samping Binara itu. Aku mengekori kucing itu. Saat aku berjalan menuju Binara itu.

“Lakukanlah seperti perempuan pedang itu, karena aku tahu posisimu berada perempuan pedang itu hingga saat ini. berubahlah jika kau ingin selamat dan jadilah seorang santri.” Kata kucing itu hingga aku heran apakah aku berhalusinasi mendengar suara kucing itu dengan jelas.

“Meong, meong….” Suara kucing itu memusatkanku pada buku di samping Binara.

Aku mengerti hingga aku mengembalikan kucing biru di atas buku itu.

“Terima kasih untuk hari ini  kucing imut, Kamu kelihatannya tidak ada yang memelihara?” Ujarku.

Aku melangkah pergi tak kusangka kucing biru tadi di atas buku sekarang hilang tak berjejak hingga aku tak melihat buku dan Binara itu.

“Aneh sekali sih rumah ini, sampai aku  tidak melihat ada satu pun orang.” Lirihku pelan.

Aku keluar dari rumah tanpa Nara yang sunyi, tak sengaja aku menyenggol seorang nenek hingga nenek itu terjatuh.

“Maaf, Nek.“ Kataku.

“Tak apa apa Nak, cepatlah pulang ke rumah orang tuamu. Mereka menunggumu!” Ujar nenek berambut putih salju.

Aku segera pergi meninggalkan rumah itu dan terburu-buru menuju ke rumah ayah ibu sesampainya aku meminta maaf  dan mengikuti apa kata-kata ayah ibu.

“Aku merindukanmu.” Ujar ayah.

Keputusan ke pesantren itu aku lakukan.

Interval, hingga 3 tahun kemudian…

Aku lulus dan alhamdulialah  jadi santri terbaik dengan perubahan diri dengan usaha yang tak sia-sia. Aku kuliah di universitas terpilih dengan mendapatkan beasiswa hingga S-2. Tetap aku jalani membanggakan orang tua. Di universitas kini terdapat mahasiswa terbaik di akhir tahun, yang tak kusangka di salah satunya terdapat namaku terucap di mikrofon rektor.

Aku pulang dengan sangat berhasil membanggakan orang tua. Pada saat aku memasuki rumah, suasananya  sangatlah ramai, aku tidak mengetahui hal ini. Jika akhirnya ayah pergi meninggalkanku selamamya tanpa kendali, rasa yang kini aku rasakan hilang tanpa diketahui. Hidupku selanjutnya seperti yang lalu hingga bau asa tercium lagi di pikiranku. Saat inilah jika apa yang ingin terjadi semua tersusun di suratan hidup. Tanpa siapa pun yang tak bisa mencoba untuk mengintip takdir itu.[]

*Penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris tahun 2022

Related Post