penulis: Alya Lathifatul F.*
Saat semburat cahaya masih remang-remang, di sebuah bab yang tertera di Kitab Fathul Qorib, seseorang menyalakan sebuah dimar di dalam kamar, terdapat gambar semar. Formasi melingkar di depan meja bundar, tetapi ini bukan acara konferensi meja bundar, dan bukan juga makan-makan nasi telur dadar. Lalu Kiai As’ad merapal doa dan mengucurkan lantunan sholawat kepada Sang Pujangga Kitab. Beliau membacanya dengan penghayatan matang berwarna kentang.
“Dan di dalam bab ini menjelaskan tentang hukum potong kenangan bagi seorang pencuri rindu.”
Lelaki paruh baya dengan peci hitam dan kacamata tebalnya itu mengacungkan tangannya.
“Selama satu tahun aku menjabat sebagai presiden asmara, aku tak habis pikir jika diterapkan di sini.”
“Apakah yang dimaksud di sini itu negeri Indonesia, Gus? Heua heua Aku paham betul tentang masyarakatmu yang rasis, sok kritis padahal hanya modal betis dan sedikit kenangan manis.”
(baca juga: Sajak kepada Guru)
Lelaki berpeci merah putih yang kerap disapa Caknun itu juga ikut melayangkan suara.
“Semisal diterapkan juga tak apa, toh negara ini pemecah rekor negara dengan pengelana terbanyak di dunia, kurang sakral apa negeri ini?”
Tukas Mbah Moen dengan nada sedikit berpikir.
“Bahkan pemecah rekor kantor dengan kandang tikus terganas di Asia dan penyimpan luka sekaligus dendam paling dalam..”
Cetus Cak Nun dengan wajah tanpa dosa.
“Ah aku tetap tidak begitu yakin, mungkin! Coba amati jamaah maiyahku yang begitu santai, waktu dimetaforakan kepada kutu yang diundur-undur melulu.”
Tetuah kita, yakni Hasyim juga melantunkan kalimat dengan nada sendu seperti air mata ibu.
“Benar juga, mungkin seorang MPR pun akan turun kursi jika itu terjadi, sebab gendang telinganya tak mampu menampung ayat-ayat seorang rakyat yang sungguh terhormat. Lagipula, relung terdalam telah dilarung pada samudera kata-kata.” Tukas Gus Dur sembari membetulkan letak kacamatanya.
“Seperti ini saja.”
Lalu seorang kiai muda dengan baju dan kopyah putih, wajah berseri-seri memotong sepotong percakapan yang dihidangkan di sebuah meja bundar.
“Kita menganut komposisi Negeri Kerinduan Rayakan Impresi ketika kita ingin menanamkan sesuatu maka kita juga harus memikirkan porsi yang ada di negri ini.”
Tutur Kiai Haji Muhyiddin itu membungkam seisi ruangan.
“Baiklah mari kita bungkus hasil rapat dan suguhan mata ini, dan kirimkan ke alamat Istana Penyimpan Rasa.”
Oktober 2022
*Penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris tahun 2022