Sangkal Pembawa Petaka

Penulis: Siti Lutfiatul Hasanah*

            Aku merasa lelah saat senja telah tiba. Bagaimana tidak lelah aku harus melakukan serangkaian persiapan yang melelahkan. Kegiatan yang sebenarnya membuatku kebingungan sekaligus heran akibat perintah ibu. Perempuan berparas ayu itu menyuruhku memakai bedak yang agak tebal, gincu menyala, dan alis yang dibuat agak tebal.

            Duh! Ingin rasanya menolak, tapi tak mungkin juga aku membantah perempuan yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku.            “Rahayu, majuh dulian!”

            Ibu menyuruhku untuk cepat-cepat dalam bahasa Madura. Aku pun langsung menjawab jika sudah selesai mempersiapkan diri. Selepas itu, ibu bilang bercerita alasan yang membingungkanku tentang persiapan di senja ini. Katanya ada yang menunggu.

             “Tak oning guleh, Buk.” Jawabku benar-benar tidak tahu.

            Kemudian ibu menunjuk ke sebuah arah alias tempat asal orang yang menungguku. Alisku merapat tanda bingung perihal siapa gerangan yang menunggu itu.

            “Marenah empian ngerteh serah se adentek empian[1].”

            Aku semakin bingung sebenarnya mau dipertemukan dengan siapa dan mengapa juga ibu tidak memberi tahu.
           Demi memecah rasa bingung, aku hanya menunggu intruksi Ibu. Hingga kami sampai di sebuah kafe Asmara. Kafe ini beraroma cinta, di mana ada meja tengah yang berbentuk love. Sungguh aku tak habis pikir mengapa Ibu mengajakku ke tempat seperti ini. Memang sih, cafe ini tak jauh dari rumah.

            “Ayu.”
            Sebuah suara memanggilku. Aku tahu persis suara lelaki yang agak berat itu.
            “Cak Burhan?”
            Aku menoleh ke asal suara dan benar prasangkaku ternyata. Hanya saja antara percaya dan tidak percaya. Aku bisa bertemu dengan lelaki berahang gagah itu. Dari sana aku langsung merapatkan pelukan sebab sudah sebulan lamanya kami tak bertemu. Apalagi Cak Burhan bekerja di Tegal Gede. Sebuah tempat yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumah kami. Belum lagi, Cak Burhan tinggal di tempat itu juga. Jadi, rasa rindu benar-benar membuncah!

            Walaupun begitu, aku bingung dengan kedatangan Cak Burhan. Ditambah kehadiran seorang lelaki yang juga berahang gagah lainnya bernama Rahman. Kedatangan lelaki itu langsung disambut dengan jabatan tangan oleh Cak Burhan. Kakakku satu-satunya itu langsung mengenalkan aku dan Ibu.
            Selepas itu, Cak Burhan langsung memesan makanan untuk kami. Sementara Rahman memesan makan sendiri dengan wajah yang murung.

            Ada apa sebenarnya?
            Aku hanya bertanya dalam pikiran. Sebab tak mungkin kalau baru kenal menanyakan itu pada Rahman. Itu kan bukan urusanku!
            Lebih baik aku fokus sama percakapan dengan Cak Burhan. Sekalipun tak banyak percakapan yang kami hasilkan. Kami hanya berfokus sama acara makan yang jarang sekali dilakukan.  Selepas makan pun, Rahman langsung berpamitan ke kost-annya. Sementara aku, Ibu, dan tentu Cak Burhan kembali ke rumah. Di rumah aku langsung menuntaskan rindu pada Cak Burhan.
            Sama seperti biasa. Kami tak hanya ngobrol, tetapi juga merajut tawa hingga tak terasa telah larut malam. Padahal yang kami omongkan sebenarnya tidak terlalu penting juga. Hanya sekadar bertanya kabar, sibuk apa, dan yang terpenting melepas rindu. Itu saja.

(baca juga: Sepotong Senja untuk Ayah)

            Pun, keesokan harinya Cak Burhan harus kembali ke tempat kerja. Hari-hari pun berjalan seperti biasa tanpa adanya Cak Burhan. Hingga dua bulan setelah perjumpaan dengan kakakku itu. Aku dikejutkan dengan sebuah ungkapan cinta dari Rahman.
            Lelaki itu benar-benar tangguh dan berani meminta pada Ibu. Tak hanya pada Ibu sebenarnya, tentu lelaki itu telah mengutarahkan niatnya pada Cak Burhan. Dan aku rasa pertemuan kami di kafe itu adalah alibi agar kami bisa bertemu.
            Sungguh, bintang-bintang banyak berkeliaran di kepalaku. Dan aku tak percaya akan rencana Ibu dan Cak Burhan yang sungguh terlalu!
            “Aku tak bisa menjawab sekarang. Beri waktu satu minggu.”
            Aku hanya menjawab itu, setelah itu punggung Rahman pergi dari rumah. Bersamaan kedatangan Cak Burhan yang tiba-tiba.

***

Akhirnya, satu Minggu telah berlalu. Aku pun menolak lamaran Rahman. Sebab memang tidak ada cinta yang tumbuh antara kami. Kabar penolakan itu segera berembus ke penjuru desa. Hingga tiga tahun jelang penolakan itu tak ada yang berani mendekatiku.
            Mengetahui itu, ibu takut jika aku tak menemukan jodoh. Aku hanya bisa menangis mengetahui itu. Apa mungkin karena menolak lamaran dari Rahman membuatku tak menemukan lelaki yang berani melamar.
        Duh!
             “Can oreng nolak lamaran genikah sangkal bisa tak pajuh lakeh![2]
            Jika memang kata itu benar. Bagaimana dengan nasibku? Apa mungkin aku tidak akan menemukan jodoh hingga tua nanti?
            Ah! Duh!
            Percakapan dengan Ibu itu benar-benar membuatku pusing. Kepusingan itu bertambah ketika warga desa Bedadung mencemoohku. Aku baru tahu itu ketika mencoba keluar rumah. Bisik-bisik gosip itu sungguh membuat kupingku panas.
            “Salahnya menolak lamaran Rahman.” Ucap seorang Ibu tanpa tahu jika aku ada di belakangnya.
            “Maaf, Bu. Alangkah lebih baik jika Ibu nggak mengurus hidupku. Bukankah hidup ibu tidak jauh lebih baik dariku?”

            Aku berusaha berani mengatakan itu.
            “Dasar perawan tua! Jangan buat rusak nama desa ini! Kamu harus cepat keluar!”
            Aku tak percaya dengan jawaban itu. Keningku pusing sekali. Apalagi malam harinya seusai mengatakan itu aku dan Ibu diusir dari desa tempat kelahiranku. Selepas pengusiran itu, hanya satu tujuan kami yakni Cak Burhan.

***

Malam ritmis, kami sampai di kost-an Cak Burhan. Kami jalan kaki dari Bedadung hingga sampai Tegal Gede. Cukup jauh dan letih. Tapi, tak ada kendaraan yang lewat.
            Hanya saja sesampainya di kontrakan. Kami bertemu dengan Rahman. Aku sungguh malu ketika bertemu lelaki itu. Apalagi, ia sudah ditemani perempuan berkerudung yang cantik.
            Sekalipun aku malu. Tidak dengan Ibu yang langsung menceritakan alasan kami ke sini tanpa ada yang ditutupi. Duh! Untungnya pembicaraan itu tidak begitu lama.
            “Ayo Ibu dan Ayu masuk!”
            Suara itu langsung menyambut kami. Aku bersyukur atas hal itu. Kami pun langsung beristirahat di kost-an yang berukuran 3 X 3 meter itu.

***

Pagi yang seharusnya indah berubah menjadi petaka. Cak Burhan pergi ke toko tentu untuk bekerja, bukan untuk belanja ya! Rutinitas kerja yang meletihkan itu ditambah dengan omelan seseorang yang mengamuk karena keberadaanku.
            “Ngapain kamu membawa adikmu ke sini!”
            Cak Burhan langsung menjelaskan jika aku diusir.
            “Sudahlah, nggak usah mikirin adikmu. Hidup saja sulit seperti ini!”

            Bos itu menyiram bara ke hati Cak Burhan. Cak Burhan itu langsung murka dan pergi dari toko itu. Aku baru tahu cerita itu selepas Cak Burhan sampai di kost-an.
            Sungguh, aku benar-benar merasa bersalah!
          Untungnya Rahman melampangkan hati Cak Burhan. Dan berkata jika kepercayaan itu lucu sekali! Selain Rahman, aku pun merasakan hal yang sama.
          Tetapi, tetap saja warga memberikan murka yang berlebih. Tepatnya, ketika kost-an Cak Burhan didatangi oleh kerumunan warga. Dan berusaha mengusir kami!
          Mengetahui itu, Rahman dan Cak Burhan langsung memasang badan. Sedang aku dan Ibu masuk ke kamar. Sungguh sampai hati orang-orang memperlakukanku. Padahal, kesalahanku tidak seberapa. Hanya menyakiti satu orang, mereka ikut tersakiti. Sementara yang kusakiti saja sudah merasa biasa saja.

          “Sudah, Cak. Lebih baik aku yang pergi!” putusku setelah melihat debat kusir itu.
          Cak Burhan mencoba menahanku, sementara Ibu langsung histeris melihat keputusanku. Aku memang tak percaya akan ucapan orang-orang, tetapi lebih baik aku mundur dari kerumunan itu dibandingkan orang-orang yang kusayang ikut menjadi korban.

***

10 tahun kemudian

          Aku hidup seorang diri di tempat yang awalnya kuanggap antah berantah. Mengapa aku sebut antah berantah? Karena memang sejak awal aku tak tahu tujuan. Hanya arah kaki saja yang melangkah.
          Dalam 10 tahun itu, aku mencari tempat hidup yang layak. Makanan yang layak. Hingga datang sebuah kesempatan di tempat yang asing itu aku menemukan oase di padang pasir. Sebuah kerinduan yang teramat dalam untuk kedamaian.
          Pun, melihat itu gairah hidup bertambah. Jika dulu Cak Burhan berjualan di toko milik orang. Kini aku memiliki toko sendiri. Pun, uang selalu kuberikan ke Ibu tanpa sepengetahuan perempuan berhati mulya itu dengan cara mentransfer ke Cak Burhan.
          Kepemilikan tokoh ini bermula ketika aku bertemu dengan Rahman. Pria yang kutolak itu bercerita di sebuah pasar jika habis ditipu orang karena tidak bisa umroh. Ia merasa ada memiliki andil terhadap apa yang terjadi padaku.
          Pun, setelah bertemu ia memberikan beberapa puluhan juta untuk kemaslahatan hidup. Hingga aku bisa memiliki toko, lalu tokoh itu perlahan menjadi besar.
          Begitulah hidup. 10 tahun aku memang tidak ada pendamping. Tetapi, kuyakin orang-orang yang mengataiku tidak benar. Bukankah jodoh itu hanya rahasia Allah bukan mitos yang tidak dapat diambil kepercayaannya?
          Masalah yang pelik yang kualami ini kubagikan kepada teman-temanku. Bukan untuk memalukan diri, tetapi sebagai pelajaran diri. Sebab bisa saja, ketika aku berpikir bahwa mitos itu benar. Akan terjadi suatu kebenaran. Juga kisahku bisa jadi pelajaran jika menolak lamaran itu tidak apa-apa jika disertai alasan yang jelas. Apa pun itu, kuharap aku menjadi korban terakhir dalam kepercayaan yang agak tidak logis ini. Semoga kamu tidak menjadi korban selanjutnya! Semoga!

*Penulis merupakan lulusan SMK Nuris Jember tahun 2022


[1] Sebentar lagi kamu akan tahu siapa yang menunggumu.

[2] Menurut orang menolak lamaran bisa membuat tidak laku.

Related Post