Adam

Naura Yasmin*

Detik detik waktu terus berjalan. Takdir adalah kejutan dari Tuhan datang bergantian. Sudah seminggu ini aku mempersiapkan diri dan mentalku untuk sebuah takdir kehidupan baru. Semua orang menyemangatiku. Mereka semua mulai mengeluarkan kata kata mutiara agar hatiku semakin yakin dengan pilihan orang tuaku. Malam ini aku menatap lampu kuning hangat di kamarku, kuperhatikan dua cicak yang sedang bersiaga di sekitarnya. Kubuka kelambu jendela sembari mengintip bulan yang seakan akan sedang membaca isi hatiku.

***

Adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari tidur lelapku yang tak disengaja semalam. Satu hal yang samar-samar kuingat adalah suara percakapan ayah dan Ibu yang terdengar menembus tembok kamarku. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak dapat mengambil kembali ingatanku.

“Adam. Sarapan dulu”

Aku berjalan menuju dapur menghampiri ayah yang sedari tadi tersenyum bahagia menatapku. Iya,karena semua ini adalah pilihan seorang ayah yang ingin anaknya menjadi santri. Akupun tak pernah ragu akan keputusan orang tuaku, aku yakin semua akan berjalan seperti biasa bahkan mungkin lebih seru dari hari hari kemarin. Justru aku bersyukur karena dengan keputusan ini, ayah dan Ibu jadi akur kembali. Tak banyak bertengkar seperti sebelumnya.

“Dam ayo makan yang banyak” Ayah menambahkan nasi ke piringku

“Tumben, kenapa? Ayah senang aku akan berangkat ke pondok hari ini, hm?”

“Ya jelas senang karena Ayah yakin setelah menjadi santri kamu akan lebih paham tentang kehidupan”

“Kalau begitu apa hubungannya kalau aku makan banyak hari ini?”

“Maka dari itu, dengarkan dulu kalau ayah berbicara jangan langsung dipotong. Nanti di pesantren kamu akan merindukan masakan Ibumu, meski Ibumu jarang mengganti menu makan di rumah namun di pondok kamu akan jarang menemukan ikan goreng, telur mata sapi, dan masakan khas Ibu lainnya” Tiba-tiba Ibu mendeham keras dari arah dapur. Kami berdua lekas-lekas memperbaiki sikap, khawatir kalau Ibu akan marah.

“Kalau sambal terasi ada nggak  yah?”

“Penasaran kan? Maka dari itu ayah suruh kamu mondok biar kamu gak perlu ngomong sama google, Ok google adakah sambal terasi di pesantren? hahaaa” Ayah tertawa begitu lepas sedangkan aku hanya bisa memasang wajah datar sambil menelan satu per satu sarapanku yang kata ayah nanti akan kurindukan saat di pesantren. Selesai menghabiskan sarapan aku duduk dikursi ruang tamu yang dindingnya penuh dengan puisi hasil dari jemariku yang sudah menganggur 3 bulan karena lIbur panjang sekolah. Entah mengapa rasanya saat ini aku tak sabar untuk cepat cepat sampai ke tujuanku. Mataku menatap jauh ke arah luar, aku sedang mengira-ngira mungkin saat di pondok nanti aku tidak akan lagi melihat perkumpulan Ibu-Ibu komplek yang setia menunggu Pak Amin, pedagang sayur setiap pagi. Merekakah yang akan aku rindukan di pondok?

Suara kemernyit sandal jepit dari kaki Ibu terdengar memecah lamunanku. Aku menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi . Ini berarti kurang 1 jam lagi kami berangkat menuju pesantren. Ayah dan Ibu masih sIbuk berbicara membahas keberangkatanku. Aku yang masih saja termangu, tak tahu apa yang aku khawatirkan. Aku tahu bahwa tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena aku yakin setiap orang mempunyai alasan mengapa dia memilih sesuatu. Begitu pula Ayah, beliau pasti punya alasan sendiri mengapa aku diarahkan agar menjadi santri. Kulihat wajah ayah yang sesekali menoleh ke arahku sembari berbicara dengan Ibu.

“Dam. Ambil kopermu masukkan dalam mobil, jangan lupa bantal dibawa juga Ibu masih mau ganti baju” Ibu tiba-tiba mengagetkanku.

“Tidak boleh bawa guling bu? Kasur Adam gimana?mau dibawa pakai apa mobil kan gak muat”

“Kasur dikamarmu mau kau bawa? Boleh saja, asal pakai gerobak sayur pak Amin” Ibu memasuki kamar sambil tertawa kecil, seakan akan mengejekku yang belum tahu banyak seperti apa kehidupan seorang santri.

“Sudah selesai semua kan? ayo yah kita berangkat”

“Ayo, Adam juga sudah siap. Tuh keliatan dari tampangnya mirip tentara mau perang” Ayah menjawab perkataan Ibu dengan tawa renyah.

“Adam Surya Pamungkas. Asal kamu tau, Nak. Tidak ada orang tua yang merasa senang apabila jauh dari anaknya” Ibu merangkulku erat seraya mengelus kepalaku. Kalimat Ibu saat itu begitu menusuk membuat bulir air mataku menetes hangat di kedua pipiku. Ibu langsung menghapus air mataku, aku pun hanya diam, rasanya memang berat meninggalkan sebuah keluarga kecilku ini. Selepas pelukan hangat itu, aku langsung berjalan menuju mobil mengangkat barang-barangku sendiri. Dengan semangat belajar yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam jiwaku, aku bertekad tidak akan mengecewakan keluarga yang selama ini telah menyayangiku semenjak kecil. Harapan ayah dan Ibu tak boleh pupus oleh kegagalanku. Aku harus berani dan berhasil.

“Ayah, Ibu, ayo!” aku menatap wajah mereka masing masing yang hanya memperhatikanku dari dalam rumah. Ayah dan Ibu saling memandang seakan mengerti apa yang aku rasakan, aku memang sudah berusaha sebisa mungkin agar membuat kedua orang tuaku senang ketika anaknya sudah menemukan jalan yang lebih baik. Kulihat senyum penuh harapan memancar dari kedua wajah orang tuaku.

***

Beberapa jam perjalanan menuju pesantren membuatku mengantuk. Adikpun sudah tidur sejak awal perjalanan. Aku tak pernah mengira bahwa aku akan berpisah sejauh ini dengan orang tuaku. Satu persatu kulihat pohon-pohon yang seolah menyapaku. Ini sudah di luar kota tempat kami tinggal. Pastinya mereka menyapaku, si orang baru ini.

Ayah memutar setir mobil ke arah kanan, dan terlihat jelas tulisan Pondok Pesantren Ar-Rahman. Keadaan begitu ramai namun tak berisik, aku melihat banyak santri baru yang berdatangan dengan ekspresi wajah yang berbeda – beda. Ayah memarkirkan mobil di dekat koperasi pesantren. Aku turun terlebih dahulu sambil menurunkan barang – barang. Kuperhatikan suasana dengan langit mendung saat itu, rasanya begitu damai melihat para santri yang mungkin sudah cukup lama menikmati masa-masa sarungan mereka. Namun aku juga melihat banyak calon santri dengan mata sembab mereka, bahkan orang tu pun ada yang sampai menangis histeris karena pastinya melepas dan jauh dari anak bukanlah hal yang mudah.

***

Beberapa bulan berlalu, aku telah resmi menjadi penghuni pesantren yang telah berumur hampir seabad. Sore itu, selesai sholat ashar dan masih di masjid yang penuh ketenangan, kulihat ayah yang berada di shaf paling depan, beliau mengangkat kedua tangannya seraya menundukkan kepalanya. Entahlah, mungkin ayah menangis. Kuperhatikan punggung yang terlihat begitu kuat, disitu aku termenung sambil menerka mungkin dibalik kehumorisan dan ketegasan ayah selama ini beliau juga meneteskan air matanya ketika menyebut nama keluarga di dalam doanya. Memikirkan hal itu akupun bersujud memohon pada sang Kuasa agar hati, jiwa, dan tubuhku betah berada di sini agar aku tak mengecewakan dua malaikat tak bersayap yang selalu berjuang untukku. Selesai dari sujudku, akupun kembali ke kamar menghampiri ayah sembari kulontarkan pertanyaan yang mengganjal khusuknya sholatku tadi.

 “Yah, Ibu mana?”

“Ibu sudah ke mobil duluan” Ayah menjawab singkat  seperti terburu-buru untuk pulang. Aku tak berani meneruskan pertanyaan. Aku memilih untuk diam, sebelum ditanya oleh Ayah. Pertanyaan cukup satu kali, selebihnya adalah menunduk ta’dzim kepada Ayah. Itu yang aku tunjukkan kepada Ayah sebagai hasil belajarku di pesantren. Selain itu, Ayah juga tampaknya tak begitu bergairah. Apakah Ayah dan Ibu kembali bertengkar di rumah? Kecurigaanku segera kuhapus, kuganti dengan doa semoga ayah dan Ibu baik-baik saja. Kalaupun benar bertengkar, aku harap mereka segera baikan. Kunjunganku berakhir dengan mencium tangan Ayah dengan kedua tanganku. Kuhirup dalam-dalam, berharap keridhoan Ayah. Oh. Andai saja Ibu tak marah kepada Ayah. Tentu aku juga dapat dengan harunya mencium kedua tangannya.

***

Hari-hari terus berganti, aku kian menikmati kehidupanku di pesantren. Setiap hafalan yang berhasil kutancapkan dalam-dalam ke lubuk hati semakin meyakinkanku akan kebaikan yang akan kudapatkan kelak.Tak lupa kudoakan Ayah dan Ibu di rumah agar senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.

(baca juga: Sangkal Pembawa Petaka)

Di sela-sela pembelajaran Amtsilati, sebuah metode pembelajaran Bahasa Arab, kudengar sebuah gosip dari teman yang berjaga di pos kunjung. Katanya ayah menitip pesan kepada ustad bahwa besok beliau dan adik akan kesini esok pagi. Aku semakin bersemangat mengingat ada banyak hal yang ingin kusampaikan kepada ayah dan Ibu tentang hal hal seru yang kudapat selama beberapa bulan ini.

Tepat pukul 9 pagi mobil hitam milik keluargaku terlihat jelas mamasuki gerbang pondok, ayah keluar dari mobil dan disusul adik. Tak menunggu lama aku mendapatkan izin dari guru kelas dan langsung menghampiri mobil keluargaku.

“Mas adam…!!” adikku berlari memelukku akupun membalas pelukannya dengan erat. Tubuhku memang  sedang memeluk Zaka adik tercintaku, namun mataku masih tertuju ke arah mobil yang kulihat sudah dikunci oleh ayah.

“Ibu mana yah?”

“Ibu lagi sIbuk masak dirumah, ada arisan keluarga dirumah jadinya rame”

“Kalo arisan keluarga kenapa ayah gak ikut?”

“Ayah kangen pengen lihat anak ayah pake sarung sama kopiah kayaknya makin ganteng” aku hanya membalas senyum dan langsung  mengajak ke tempat pengiriman. Ayah merangkulku dan menggandeng adik. Ada rasa senang saat itu namun kecewa juga ikut datang bersamaan. Namun rasanya tak pantas aku mengungkapkan rasa kecewa ini pada ayah yang sudah berusaha untuk tetap datang mengunjungiku, lagipula aku tahu meski Ibu tidak ikut aku yakin doa-doa dari Ibu tak akan pernah berhenti untuk anaknya.

***

“Ini nasinya gak bawa dari rumah, tadi beli di warung deket deket sini soalnya keburu buru tadi pagi jadinya ketinggalan di meja teras”

“Oh. Iya gak papa, Yah. Yang penting ayah bawanya nasi bukan beras” aku berusaha menghIbur hatiku sendiri, dan seperti biasa ayah yang selalu senang jika diajak bercanda. Disitu rindu akan tawa dari seorang ayah sudah terbayar, tetapi rindu tentang masakan seorang Ibu rasanya sudah tak dapat dilukiskan lagi dengan kata-kata.

 “Dam, nenek sakit  sudah 5 hari,sekarang ada di Rumah sakit umum. Ayah sudah izinkan kamu ke ustad untuk pulang menjenguk nenek dulu” aku langsung mengiyakan perkataan ayahku. Kami pun langsung berangkat menuju kota Malang yang sering kurindukan. Aku berusaha menahan pikiranku, karena Ibu lagi-lagi tak ikut mengunjungiku.

***

“Nak ayo bangun dulu sudah sampai”

“Loh, kita langsung ke rumah sakit? Gak pulang dulu? Ibu dimana? Nanti Ibu berangkat sama siapa?” pertanyaanku tak lagi dapat dibendung.

“Ibu udah disini”

Aku sedikit bingung dengan perkataan ayah. Namun ya sudahlah yang penting aku bertemu Ibu hari ini.

“Sana ke nenek dulu diruang mawar 3, ayah masih mau kesana bentar”

Aku memasuki ruang mawar 3 , kulihat nenek yang masih tertidur dan aku tak ingin menggangu tidurnya.

“Dam. Keluar dulu ikut ayah. Perawat rumah sakit datang memeriksa nenek”, aku dan ayah menunggu diluar.

“Oh ya, Ibu mana yah?” tiba tiba ayah langsung merangkulku

“Ibu lagi istirahat sekarang” Aku diam, pikiranku berjalan mundur mengingat wajah Ibu yang begitu lemas dan pucat pada saat itu. Saat Ibu terakhir memelukku dan menyuruhku bersemangat untuk belajar di pondok pesantren. Juga saat ayah dan adik mengunjungiku. Tak pernah Ibu datang mengunjungiku. Kurasakan kedua lututku mulai gemetar.

“Jangan pernah berhenti berdoa buat Ibu. 1 jam perjalanan keluar dari pondok saat mengeantarkan Adam, kami kecelakaan dengan sepeda motor yang menyerempet mobil ayah karena memaksa menyalip dari kiri. Ayah dan adik baik baik saja, Ibu yang terluka. Kaki dan tangannya terkena pecahan kaca jendela yang pecah. Salah ayah pada saat itu karena tidak langsung mebawa Ibu kerumah sakit, karena ayh pikir lukanya bisa diobati dan dibersihkan di runah saja. Namun beberapa hari kemudian Ibu sering pusing hingga kejang kejang. Ternyata setelah diperiksa Ibu sudah mengindap penyakit tetanus yang kata dokter bisa mematikan jika dibiarkan. Akhirnya Ibu dirawat dirumah sakit, ayah takut semakin parah maka dari itu Ibu tidak ikut mengirim ke pondok saat itu.”

 Aku tak dapat berkata apa-apa.

“Ayo ayah antar bertemu Ibu” Air mataku menetes, aku tahu ayah juga sedang menahan tangisnya. Aku langsung beranjak dari tempat duduk menarik tangan ayah yang kekar namun rasanya tak ada lagi semangat yang seperti biasanya.

***

Ruang Melati 1.

Disitu orang yang paling kucintai terbaring lemas tak sadarkan diri setelah setiap hari menahan sakit karena gejala dari penyakit yang diindapnya. Aku berteriak dalam hati, air mataku memberontak ingin keluar namun kutahan karena aku tahu bukan menangis yang harus kulakukan. Kugenggam tangan dan kucium dahi Ibu kubiarkan setetes air mataku membasahi pipinya. Waktu sholat ashar sudah tiba, langsung kuambil wudhu dan sholat disebelah Ibu. Aku memohon agar Ibu cepat sadar dan sembuh tapi disatu sisi aku juga harus pasrah dengan takdir Tuhan.

“Adam” diakhir doaku terdengar suara lembut menggetarkan hatiku. kuakhiri doaku, terlihat Ibu sedang tersenyum dengan air mata kerinduannya. Langsung kugenggam tangan Ibu yang masih lemas selama mungkin.

“Senang ya di pondok? Coba ayo cerita sama Ibu”

“Senang sekali bu, ada banyak perubahan yang Adam rasakan”

Aku terus melanjutkan percakapan sore itu, kuceritakan semua rasa bahagia dan kisah seruku di pesantren. Hingga tak terasa adzan magrib berkumandang, kami dikejutkan oleh Ayah yang masuk ruangan Ibu. Terpancar wajah bahagia dari Ayah mengetahui Ibu sudah siuman. Ayah mengajakku sholat berjamaah di masjid namun aku menolak karena tak ada yang menjaga Ibu. Akhirnya aku dan ayah sholat berjamaah tepat disamping Ibu. Selesai sholat aku dan ayah duduk disebelah Ibu, tiba-tiba nafas Ibu semakin cepat dan perutnya terasa kaku. Ayah menggenggam tangan Ibu sangat erat. Aku mengelus kepala Ibu yang dipenuhi keringat. Air mataku sudah mengambang di pelupuk mata, tapi ini bukan saatnya. Aku memanggil dokter, dan Ibu langsung ditangani.

“Bagaimana jika Ibu seperti ini terus?” Ayah mengeluh tertunduk lemas.

“Bergantunglah hanya kepada Allah, dan jangan kau gantungkan harapanmu pada manusia yang binasa.karena Jika kau gantungkan sebuah harapan pada seseorang dan saat orang itu mati , maka harapanmu juga ikut mati. Namun jikau letakkan harapanmu kepada Allah , harapan itu tak akan pernah mati karena Allah Maha Kekal. Bahkan harapan harapan itu akan Allah jawab asal kau bayar dengan sabar, ikhlas, dan taqwamu. Adam selalu mengingat perkataan Kyai saat mengisi pengajian malam di masjid pesantren. Tidak perlu resah yah, Adam akan selalu berdoa untuk Ibu dan ayah. Allah selalu bersama kita.”

***

Pagi itu langit cerah-cerah kelabu. Sedikit gerimis membuat pagi itu begitu nyaman untuk beristirahat. Semua orang meletakkan pekerjaan mereka. Ada satu hal yang wajib mereka lakukan. Kifayah hukumnya. Tapi satu yang membuat prosesi pemakaman hari itu sedikit lebih ramai dari pemakaman umumnya. Adam Surya Pamungkas, anak Ibu Syahida tak meneteskan air mata sedikitpun di pemakaman Ibunya.Jember, 5 Nopember  2018

*Penulis adalah lulusan SMK NURIS Jember yang kini melanjutkan studi sarjana di Polije

Related Post